Inilah
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu. Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini suatu ketika bertutur, “Tidak ada satu orang pun yang lebih para sahabat
cintai daripada Rasulullah SAW. Namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak
berdiri untuk menyambutnya, karena mereka mengetahui ketidaksukaan beliau
terhadap hal itu.” (Riwayat At-Tirmidzi dalam Kitab Al-Adab dan dia berkata,
“Ini adalah Hadits hasan shahih gharib dari jalur ini.”)
Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang menyukai manusia berdiri memberi penghormatan
kepadanya, hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Riwayat Ahmad, Abu
Dawud & At-Tirmidzi)
Di
negeri tempat kita berpijak ini, sulit membayangkan ada seorang pemimpin yang
kuat pengaruhnya, besar wibawanya, ditaati perintahnya dengan ringan hati, dan
dinanti tutur katanya. Aparat negara hingga pimpinan sekolah banyak yang justru
secara sengaja menciptakan budaya penghormatan demi terbentuknya apa yang
diangankan sebagai karakter dan patriotisme. Hari ini anak-anak kita dididik
untuk berdiri menghormat kepada orang-orang yang disebut pemimpin; inspektur
upacara bendera dan bahkan kepada kepala desa yang datang menghadiri sebuah
perhelatan. Tetapi hari ini kita melihat, tak ada ketaatan –apalagi
kecintaan—yang tumbuh dengan kuat dalam diri anak-anak kita kepada para
pemimpin.
Lalu
apa yang melahirkan kecintaan besar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
ajma’in kepada Rasulullah? Kita bisa menjawab keteladanan. Tetapi keteladanan
seperti apa yang melahirkan kecintaan begitu besar dan ketaatan yang sedemikian
kuat?
Mari
kita simak firman Allah Ta’ala berikut ini, “Sesungguhnya telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas-kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah [9]: 128)
Apa
yang bisa kita petik dari pribadi Rasulullah? Bukan sekedar manusia yang
memiliki budi pekerti luhur. Pada dirinya ada kecintaan dan empati yang luar
biasa, sedemikian besarnya kecintaan itu sehingga penderitaan kita adalah
penderitaannya. Ia turut merasakan penderitaan kita yang banyak. Ada keinginan
yang sangat kuat untuk mengantarkan kita pada keselamatan, dan tidak ada
keselamatan tanpa iman. Dan tidak bernilai iman jika tidak berpijak pada aqidah
yang lurus dan agama yang benar sehingga tidaklah kita berserah diri kecuali
kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Amat besar keinginannya agar kita meraih
keselamatan dan kemuliaan, bahkan meskipun untuk itu ia dimusuhi dan disakiti.
Ia
melakukan semua itu bukan untuk meraih dunia –yang ia tidak perlu
berlelah-lelah untuk meraihnya, andaikata ia menghendaki. Ia juga bukan
mengejar kekuasaan dan mahkota. Tetapi ia berbuat dengan tulus, melayani, penuh
kecintaan, berjuang dengan sungguh-sungguh demi membaguskan kita. Bukan
meninggikan kedudukannya. Dan justru karena itulah, kita merasakan
keagungannya. Dunia mengakui kemuliaannya. Bahkan Allah Ta’ala dan para
malaikat pun bershalawat untuknya.
Terasa
betul betapa berbedanya dengan apa yang kita jumpai hari ini. Atas nama dakwah
dan muru’ah (kehormatan), banyak orang yang berburu gelar ustadz dan
menyandangi dirinya dengan berbagai kemewahan. Kenapa? Karena ada persangkaan
bahwa dengan itu kita akan dihormati, dengan kekayaan itu kita dimuliakan dan
nasehatnya didengar. Tetapi tidak. Mereka berceramah, manusia tertawa dan
mengelu-elukan, sesudah itu tak ada lagi yang berbekas.
Jika
agama hanya menjadi penghibur jiwa, maka sulit membayangkan terjadi perubahan
mendasar pada mereka yang mendengar dan belajar. Jika para penyeru agama telah
silau hatinya kepada kedudukan, gelar yang berderet, sebutan yang terucap, maka
nyaris tak mungkin rasanya budaya karakter akan tumbuh. Kebanggaan pada
sebutan, simbol, dan yang semacamnya lahir dari budaya prestasi dimana prestise
lebih berharga daripada keringat dan kesungguhan. Sementara budaya karakter
menyibukkan diri dengan sikap, usaha dan perjuangan, kejujuran, pelayanan
kepada orang lain, ketulusan, dan yang serupa dengan itu. Tatkala karakter yang
menjadi kegelisahan utama, prestasi akan menyertai. Prestasi muncul sebagai
akibat. Bukan tujuan.
Sehingga
tak berharga sebuah prestasi, yang paling memukau sekalipun, jika diraih dengan
menciderai keyakinan, keimanan, dan kejujuran.
Khusus
mengenai budaya prestasi dan budaya karakter, saya berharap dapat membahas
lebih lanjut pada lain kesempatan. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk
kembali melihat betapa berbedanya antara apa yang kita sebut sebagai pendidikan
karakter dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW sehingga melahirkan
manusia-manusia dengan karakter mulia yang luar biasa.
Sesungguhnya,
tidaklah Rasulullah SAW diutus kecuali untuk membentuk akhlak mulia (akhlaqul
kariimah). Tetapi mari kita periksa perjalanan sejarah Nabi SAW? Apakah yang
beliau lakukan di awal-awal masa kenabian? Apakah beliau melakukan serangkaian
pembiasaan berkait dengan budi pekerti? Sepanjang yang saya pahami, bukan itu
yang dilakukan oleh Nabi SAW. Masa-masa awal dakwah, titik tekan utamanya
adalah pada penanaman keyakinan yang kuat kepada Allah Ta’ala dan tidak
mempersekutukan-Nya, membangun aqidah yang lurus, menempa mereka untuk memiliki
ketundukan yang total kepada Allah Ta’ala melalui qiyamul-lail yang panjang dan
menafikan sesembahan selain Allah Ta’ala. Ketika itu, jilbab belum
diperintahkan, minum khamr belum dicegah dan banyak hal lainnya yang masih
dibiarkan.
Ini
memberi pelajaran berharga bagi kita. Kelak kita tahu dalam sejarah betapa
tinggi kemuliaan akhlak para sahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in, tabi’in,
tabi’it tabi’in, maupun para salafush-shalih. Tetapi kemuliaan akhlak itu bukan
semata-mata akibat dari pembiasaan, melainkan tumbuh di atas keyakinan yang
kuat dan keimanan yang benar.
Sangat
berbeda kebiasaan yang muncul semata-mata sebagai hasil pembiasaan dengan
kebiasaan yang lahir dari keyakinan yang kuat. Yang pertama akan mudah luntur
oleh situasi, sedangkan yang kedua cenderung mewarnai dan membawa pengaruh
tatkala kita berada pada lingkungan yang sangat berbeda.
Serupa
dengan itu, sangat berbeda kaya sebagai tujuan dan kaya sebagai akibat. Berbeda
juga kaya sebagai jalan. Kita kerahkan seluruh kemampuan untuk mengejar
kekayaan, lalu menyiapkan sejumlah kemuliaan sebagai alasan. Bahwa jika kaya,
kita mampu beramal, meniru para shahabat Radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan alasan
lain yang serupa. Tetapi tatkala kaya sebagai jalan, kita sangat berkeinginan
untuk melakukan amal mulia dan untuk itu kita siapkan bekal. Kerinduannya
terletak pada amal. Bukan kekayaan.
Jika
dunia yang menjadi tujuan, maka dien akan menjadi alat. Jika kaya yang menjadi
impian, maka surga yang menjadi agunan. Jika menolong agama Allah yang menjadi
kegelisahan dan tekad kuat kita, maka kita akan siap berletih-letih untuk
berjuang, termasuk mengumpulkan harta yang banyak agar dapat mengongkosi
perjuangan dan dakwah kita fillah, lillah, ilallah.
Nah,
semoga ada yang bisa kita renungkan.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar