Mengajarkan kepada anak untuk
berpikir, bersikap dan berperilaku baik tidak cukup untuk melahirkan anak-anak
yang baik. Apalagi sekadar membiasakan anak dengan kebaikan, tidak cukup untuk
menjadikan sebuah sekolah dianggap sebagai sekolah yang baik.
Ada hal lain yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan di sekolah. Ada budaya sekolah,
iklim kelas yang mendukung anak untuk senantiasa berpikir, bersikap dan
berperilaku baik, guru-guru yang memiliki perhatian total serta kecintaan
terhadap tugas mendidik, dan orangtua yang memiliki kepercayaan tinggi (trust)
terhadap sekolah.
Khususnya poin terakhir, ini
menuntut sekolah untuk mampu menjadi lembaga yang memiliki tingkat kelayakan
untuk dipercaya yang sangat kuat. Tanpa itu, tidak bisa membangun kepercayaan
dari orangtua meskipun sekolah sudah berkali-kali menyelenggarakan acara untuk
meningkatkan reputasi sekolah di mata orangtua.
Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.
Sangat berbeda antara meningkatkan derajat kelayakan lembaga untuk dipercaya dengan meminta orangtua untuk percaya penuh. Hal ini menuntut sekolah agar terus berbenah dan berusaha dengan sungguh-sungguh menjaga amanah yang diberikan oleh orangtua terhadap sekolah, yakni berusaha memberikan pendidikan terbaik, mengarahkan anak didik agar senantiasa lurus dalam berpikir dan benar dalam berkeyakinan, serta membuka diri untuk menerima masukan dari orangtua.
Sekolah merasa senang terhadap niat
baik orangtua meskipun boleh jadi apa yang disampaikan orangtua tidak tepat.
Sekolah merasa senang karena melihat iktikad baik orangtua, sehingga sekolah
tidak sibuk membela diri.
Sesungguhnya lembaga yang memiliki
integritas sangat tinggi lebih mencintai kebaikan –termasuk di dalamnya niat
baik orangtua—sekaligus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya di
sekolah. Ia lebih suka untuk menambah kesempatan berbenah. Sebaliknya, sekolah
yang kehilangan visi akan sibuk membangun reputasi. Caranya dengan menciptakan
prestasi, pengakuan dan rekam jejak yang positif.
Di luar itu, ada sekolah-sekolah
yang buruk, meskipun di luar tampak sangat baik. Sekolah jenis ini bukan
membangun reputasi, tetapi melakukan pencitraan melalui prestasi yang tampaknya
memukau. Padahal prestasi tersebut bukan merupakan hasil jerih-payah sekolah,
atau prestasi tersebut tidak menggambarkan kualitas inti sekolah, yakni
pendidikan. Bukan tidak boleh berprestasi dalam bidang olahraga dan seni.
Tetapi tanpa prestasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok sekolah, berbagai
gelar tersebut tak ada nilainya.
Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?
Pertanyaannya, apa yang bisa mengantarkan sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dan memiliki integritas tinggi?
Pertama, kualitas kepemimpinan
kepala sekolah dan wakil-wakilnya (prinsipalship) beserta lembaga yang
mengelola. Kedua, totalitas mendidik dari para pengajar. Ini tampak dari tinggi
rendahnya passion (kegairahan mengajar yang sangat tinggi) dari para guru yang
meliputi kecintaannya terhadap profesi sebagai guru, kecintaan yang sangat
besar terhadap anak didik, obsesi yang sangat tinggi untuk mendidik para
siswanya menjadi manusia ideal dan terikat secara emosi dengan cita-cita
tersebut, memiliki kesediaan meluangkan waktu untuk memperhatikan para siswanya
dan sekaligus memiliki kemauan belajar dengan sungguh-sungguh untuk
meningkatkan kemampuan maupun kualitasnya sebagai guru.
Sesungguhnya, unsur yang ada pada
passion antara lain mencakup obsesi, antusiasme dan ikatan emosi yang kuat
sehingga bersemangat (zeal) dengan apa yang digeluti. Jika tiga hal tersebut
tidak ada, hampir pasti guru tidak memiliki kegairahan (passion) sebagai
pendidik.
Tetapi, tanpa kesediaan untuk
belajar, guru akan jumud atau bahkan frustasi meskipun ia memiliki obsesi,
entusiasme dan semangat yang menyala-nyala (zeal) disebabkan adanya ikatan
emosi yang kuat.
Masalahnya adalah, guru-guru
semacam itu sulit sekali kita peroleh melalui proses rekrutmen terbuka. Yang
paling memungkinkan adalah melalui proses pencarian dan pendekatan kepada
orang-orang yang memenuhi kriteria agar mereka bersedia menjadi guru.
Masing-masing membawa konsekuensi bagi sekolah.
Nah.
Kemitraan Sekolah dan Orangtua
Sekolah
yang baik tidak bisa dibeli karena ia berdiri untuk sebuah prinsip. Ia
memperjuangkan idealisme. Ia sedang ingin mewujudkan sebuah cita-cita mulia.
Cukuplah kita merasa khawatir jika sekolah lebih banyak menonjolkan
kegiatan-kegiatan populis untuk mengambil hati orangtua daripada melakukan
upaya berkesinambungan agar orangtua turut memperjuangkan idealisme tersebut,
sekurangnya bersikap hormat terhadap idealisme sekolah serta prinsip-prinsip
yang ditegakkan oleh lembaga.
Sekolah yang mudah ikut arus,
menuruti kemauan “pasar” dan larut dalam trend, hampir pasti merupakan lembaga
yang missi ideologisnya lemah dan visinya tidak jelas.
Ini bukan berarti sekolah
mengabaikan peran orangtua. Tanpa ada komitmen orangtua untuk berubah, maka pengajaran,
pembiasaan dan pendidikan yang dilakukan oleh sekolah bisa mentah. Tetapi
sekolah yang baik tetap bertumpu pada proses yang terencana di sekolah. Sekolah
tidak bisa mengandalkan orangtua karena meskipun sama-sama memiliki komitmen
yang sangat tinggi, wujud komitmen itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kemampuan orangtua.
Disamping itu, sekolah juga harus
menyadari bahwa tidak mungkin menyamakan cara orangtua mengasuh anak secara
total. Ada banyak hal yang menyebabkan para orangtua –termasuk guru—secara
alamiah berbeda satu sama lain, bahkan di antara orang-orang yang memiliki cara
pandang sama. Tak ada keraguan sedikit pun bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar
bin Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhum
ajma’in merupakan Sahabat utama yang penuh kemuliaan, dan khalifah yang
mendapat petunjuk (khulafaur rasyidin). Tetapi mereka masing-masing memiliki
kepribadian yang unik dan temperamen yang berbeda.
Itu Sahabat utama radhiyallahu
‘anhum. Mereka jauh lebih utama dibanding kita yang hidup sekarang ini. Maka,
bagaimana mungkin kita secara total menyamakan cara orangtua murid mengasuh
anak dengan cara guru mendidik (atau mengajar?) di sekolah. Jenjang pendidikan
berbeda-beda, kemampuan memahami bertingkat-tingkat dan latar belakang sekolah
sangat beragam. Padahal, sudah paham sangat berbeda dengan mampu menerapkan
dengan baik. Selain itu, mereka menjadi orangtua bukan karena menempuh
pendidikan khusus tentang bagaimana menjadi orangtua, tetapi karena mereka sudah
punya anak.
Orangtua tidak memiliki persiapan
khusus dalam mendidik anak, kecuali orang-orang tertentu saja. Gurulah yang
memang sedari awal –seharusnya—mempersiapkan diri bagaimana mendidik para
murid, termasuk menghadapi mereka yang bermasalah perilakunya. Apalagi jika
kita perhatikan bahwa waktu efektif anak di sekolah jauh lebih banyak dibanding
di rumah, maka seharusnya sekolah menjadi koreksi atas apa yang terjadi di
rumah.
Lalu apa harus sama antara sekolah
dan rumah? Nilai-nilai dasar yang harus ditegakkan. Ini merupakan tugas sekolah
untuk secara berkesinambungan melaksanakan pendidikan bagi orangtua agar
bersama-sama anak menghormati, memuliakan dan merasa bangga dengan nilai-nilai
itu sehingga amat besar keinginan dari setiap pihak untuk mewujudkan nilai
tersebut dimana pun mereka berada. Sekadar paham tak akan membuat mereka
bangga. Wallahu a’lam bish-shawab.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar