Harus ada keyakinan kuat yang mereka
pegangi agar bisa tegak kepalanya, mantap langkahnya, jelas tujuannya, dan ada
alasan yang kuat untuk bertindak dan bekerja keras. Keyakinan kuat kepada Allah
Yang Maha Menciptakan hampir tidak ada artinya jika tidak ada petunjuk yang
pasti benarnya untuk hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya. Tidak ada artinya
pula jika petunjuk itu berubah-ubah tanpa kepastian. Ringkasnya, petunjuk itu
harus pasti dan meyakinkan. Betul-betul petunjuk dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Bukan rekaan. Dan al-Qur’an adalah kitab yang sempurna. Dan di bulan Ramadhan
ini selalu di-taddarus dan amalkan.
Tak kalah pentingnya untuk
diperhatikan, petunjuk itu haruslah menjadi pijakan dalam bertindak serta acuan
dalam berpikir dan bersikap. Mengacu pada petunjuk, kita mengarahkan pikiran,
sikap, keinginan dan tindakan kita. Berpijak pada petunjuk, kita membangkitkan
mimpi-mimpi dalam diri kita untuk meraihnya sekaligus memperoleh kebaikan dari
usaha maupun hasilnya. Petunjuk menjadi daya penggerak (driving force) untuk
bertindak, berjuang, bersungguh-sungguh dan berkorban untuk menjalani serta
mewujudkan cita-cita yang bersifat moralistik-idealistik.
Apakah petunjuk yang pasti benarnya
itu? Al-Qur’an. Allah Ta’ala menjamin, “Alif Laam Miim. Kitab (al-Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada
Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”
(Al-Baqarah [2]: 1-4).
Tetapi…
Al-Qur’an tidak memberi manfaat jika
kita menggunakannya sebagai pembenaran atas pendapat dan keinginan kita, bukan
sebagai sumber kebenaran. Kita kehilangan petunjuk. Pada saat yang sama, sikap
itu membuat anak-anak kehilangan kepercayaan terhadap al-Qur’an, meski secara
kognitif mengakuinya sebagai kitab suci. Hilangnya kepercayaan itu secara pasti
akan menyebabkan anak kehilangan rasa hormat terhadap kesucian agama sehingga
hampir tidak mungkin menjadikannya sebagai pembentuk sikap hidup yang kokoh.
Maka, kita perlu menghidupkan budaya
mengambil petunjuk dari al-Qur’an semenjak anak-anak masih amat belia. Kita
mengakrabkan mereka dengan kebiasaan mengenali bagaimana kemauan al-Qur’an
dalam setiap urusan sekaligus membuktikan kebenaran al-Qur’an. Kita membiasakan
mereka untuk mencerna ayat al-Qur’an, lalu mengajak mereka menemukan apa yang
harus mereka kerjakan berdasarkan ayat-ayat tersebut.
Ini berarti, kita memperkenalkan
tradisi mendeduksikan pesan-pesan al-Qur’an dalam pemahaman. Artinya, bermula
dari ayat al-Qur’an kita belajar merumuskan sikap dan tindakan. Bermula dari
al-Qur’an, kita mengarahkan perasaan dan pikiran kita. Berpijak pada al-Qur’an,
kita menilai segala sesuatu. Dalam hal ini, al-Qur’an menjadi penilai, penjelas
dan pembeda.
Cara memperkenalkan al-Qur’an yang
semacam ini akan lebih sempurna jika orangtua maupun guru memiliki kecakapan
untuk memahami “maksud al-Qur’an yang sebenarnya,” sebelum mengeksplorasi lebih
jauh. Hal ini kita lakukan dengan membiasakan anak memahami maksud tiap ayat
berdasarkan tafsir yang otoritatif, yakni tafsir baku yang semua mufassir terpercaya
menerimanya. Sebab tidak mungkin kita mengambil petunjuk dari sesuatu kecuali
dengan memahami maksud yang sebenarnya. Tanpa memahami maksud yang sebenarnya,
kita bukannya mengambil petunjuk dari al-Qur’an, tetapi menjadikan al-Qur’an
sebagai penguat dari pendapat kita tanpa kita menyadari.
Ambillah contoh sederhana. Dalam
al-Qur’an, Allah Subhanahu WaTta’ala (SWT) berfirman, “….Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri…..” (Ar-Ra’d [13]: 11).
Penggalan ayat ini sering menjadi
argumentasi mereka yang sedang meyakinkan saudara-saudaranya untuk melakukan
perubahan nasib. Padahal, ayat ini sebenarnya menunjukkan bahwa pada dasarnya
Allah Ta’ala limpahkan kebaikan dan kemuliaan kepada kita sampai jiwa kita
berubah. Jika iman sudah bertukar dengan kekufuran dan taat berganti dengan
kemaksiatan, maka Allah ‘Azza wa Jalla akan mencabut kenikmatan tersebut dari
suatu kaum.
Nah. Contoh sederhana ini
menunjukkan betapa pentingnya kita menghidupkan budaya mengambil petunjuk
secara tepat. Sebab, salah dalam mengambil petunjuk –meski sumber petunjuknya
benar—akan salah pula tindakan yang kita ambil, sehingga akibat berikutnya pun
akan salah.
Di sini kita perlu berhati-hati.
Pemahaman, perasaan, sikap, keyakinan dan tidak terkecuali tindakan, banyak
berawal dari perkataan. Cara kita mengungkapkan, sangat berpengaruh terhadap
pemahaman, penghayatan dan keyakinan. Sangat berbeda akibatnya bagi keyakinan
anak terhadap al-Qur’an. Salah cara kita berbicara, salah pula sikap anak
terhadap al-Qur’an sebagai petunjuk untuk masa-masa selanjutnya.
Sangat berbeda pengaruhnya bagi
pikiran ketika kita berkata, “Begitulah Allah Ta’ala berfirman. Karena itu…,
kita perlu berusaha dengan sungguh-sungguh agar bisa lebih banyak bersedekah.”
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Qur’an adalah sumber petunjuk dan inspirasi
tindakan. Sedangkan kalimat berikut, melemahkan keyakinan anak terhadap
al-Qur’an karena terasa sebagai pembenaran. Bukan sumber kebenaran. Sainslah
yang menjadi sumber kebenaran manakala kalimat kita berbunyi, “Berdasarkan
penemuan mutakhir tadi kita bisa melihat bahwa sikap kita bisa mempengaruhi
alam semesta, meskipun kelihatannya tidak merusak. Karena itu…, tidak heran
kalau Allah Ta’ala berfirman….”
Agar anak semakin percaya kepada
al-Qur’an, suasana yang menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan acuan dalam
bertindak perlu dihidupkan. Ini menuntut budaya pembelajaran yang kontekstual.
Seorang guru al-Qur’an adalah guru yang kemana pun ia pergi, ia akan
menunjukkan kepada murid-muridnya bagaimana al-Qur’an berbicara. Melalui cara
ini anak memperoleh pengalaman mental bahwa al-Qur’an melingkupi seluruh aspek
kehidupan, sehingga anak semakin dekat hatinya kepada petunjuk. Selengkapnya, pembicaraan
tentang ini akan kita lanjutkan pada edisi mendatang.
Anak-anak juga perlu memperoleh
pengalaman iman dan sekaligus intelektual bahwa al-Qur’an merupakan penimbang,
penilai dan pemberi kata putus tentang benar tidaknya sebuah pendapat, bahkan
penemuan yang dianggap ilmiah sekalipun. Bukan sebaliknya, menakar kebenaran
al-Qur’an dari sains. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki wawasan luas,
meski yang diajarkan di sekolah hanya satu mata pelajaran: tahfidz. Menghafal
al-Qur’an. Tujuannya, agar murid tidak hanya hafal di otak, tetapi lebih
penting lagi meyakini di hati.
Selebihnya, tidak bisa tidak, modal
yakin dan tidak ragu sama sekali terhadap al-Qur’an adalah dengan mengenal dan
mengimani sumber al-Qur’an, yakni Allah Ta’ala dan proses turunnya.
Ringkasnya, ternyata untuk mengajak
anak-anak meyakini al-Qur’an, guru tidak cukup sekedar bisa membaca. Hanya
dengan meyakini secara total sehingga tidak ada keraguan di dalamnya, al-Qur’an
bisa menjadi daya penggerak untuk bertindak. Dengan demikian, mereka tidak
sekedar hafal. Lebih dari itu, hidup jiwanya dan kuat keyakinannya dalam
memegangi prinsip.
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar