Apa yang salah pada Nabi Nuh
‘Alaihissalam (AS)? Ia seorang Nabi sekaligus utusan Allah ‘Azza wa Jalla.
Imannya jangan ditanya, sudah tentu sangat terjaga. Tidak mungkin ada Nabi yang
imannya meragukan. Hidupnya selalu dalam petunjuk karena Allah Ta’ala sendiri
yang membimbingnya. Akhlaknya? Pasti mulia.
Seorang Nabi sudah jelas amat kuat
penjagaannya dari hal-hal yang meragukan (syubhat). Apalagi dari yang haram.
Tetapi apakah semua kemuliaan itu menjadikan anaknya berada dalam barisan
orang-orang yang beriman? Tidak. Justru sebaliknya, putra Nabi Nuh menjadi
pendurhaka. Hingga detik-detik terakhir hidupnya, ia masih diseru oleh ayahnya
–Nabi Nuh—untuk masuk dalam barisan orang beriman. Tetapi ia menolak.
Marilah kita kenang percakapan Nabi
Nuh dengan putranya sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an: “Dan bahtera itu
berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil
anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku,
naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang
yang kafir.’
“Anaknya menjawab: ‘Aku akan
mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh
berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah
(saja) Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya;
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud [11]:
42-43).
Apa yang bisa kita renungkan dari
ayat tersebut? Banyak hal. Salah satunya adalah pelajaran berharga betapa kita
tidak kuasa untuk menggenggam jiwa anak-anak kita sendiri. Betapa pun amat
besar keinginan kita untuk menjadikan anak-anak kita termasuk golongan orang
beriman, tetapi kita tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa mereka. Kita
hanya bisa mempengaruhi mereka, mendorong mereka dan menyeru mereka kepada
kebaikan. Kita hanya dapat bermunajat kepada Allah Ta’ala yang jiwa mereka
dalam genggaman-Nya.
Dari ayat ini kita juga belajar
tentang tulusnya cinta seorang ayah kepada anak. Betapa pun anaknya telah
melakukan kedurhakaan yang nyata, seorang ayah tetap masih memiliki tabungan
harapan yang sangat besar agar anaknya kembali kepada jalan takwa. Betapa pun
tampaknya sudah hampir tak mungkin, seorang ayah masih akan berusaha
memanfaatkan detik-detik terakhir kesempatannya untuk mengingatkan, menasehati,
dan menyelamatkan anaknya. Meskipun telah jelas kekufuran melekat kuat pada
anaknya, masih ada harapan yang besar agar ia kembali ke jalan Allah. Masih ada
doa-doa yang terucap untuk memohon pertolongan-Nya.
Ada yang perlu kita renungkan. Ada
yang perlu kita telusuri untuk menemukan jawaban.
Siapkan Calon Ibu Saleh
Lalu
apa sebabnya iman tercerabut dari rumah utusan Allah ini? Istri yang tidak
memiliki kendali iman dalam dirinya. Allah Ta’ala jadikan istri Nabi Nuh (juga
istri Nabi Luth) sebagai contoh bahwa iman tak bisa ditegakkan, anak-anak tak
bisa diharapkan, kebaikan tak bisa hadir di rumah kita jika istri rapuh imannya
dan lemah pendiriannya. Segigih apa pun kita mendidik anak, awalnya harus
menyiapkan istri kita untuk mampu menjadi ibu yang belaian tangannya dipenuhi
pengharapan terhadap pahala dari Allah Ta’ala; yang tutur katanya dipenuhi
keinginan untuk menjadikan anak-anak mencintai dien; yang doanya menembus
kegelapan malam demi mengharap pertolongan Allah Ta’ala agar hati anak-anaknya
diterangi oleh iman yang kuat di atas akidah yang lurus.
Karenanya, kunci pertama melahirkan
anak-anak saleh adalah menyiapkan calon ibu bagi anak-anak kita. Kunci untuk
mencetak generasi yang beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah dengan
mencintai istri kita sepenuh hati. Sebab dialah yang akan menjadi madrasah
pertama bagi anak-anak kita. Bukan sekadar sebagai ibu kandung yang melahirkan
dan sesudah itu orang lain yang mengurus anak-anaknya.
Sesungguhnya, setiap anak kita
memerlukan ‘tiga ibu’. Setiap bapak harus menjamin bahwa anak-anaknya memiliki
tiga ibu, yakni ibu kandung, ibu susu yang memberi makan kepada bayinya dengan
air susunya sendiri (bukan susu sapi), dan ibu asuh yang menjadi madrasah
pertama bagi anak kita. Seyogyanya, tiga fungsi ibu ini berada dalam satu
pribadi, yakni istri yang melahirkan anak-anak kita. Tetapi sekiranya tidak
bisa, masih ada jalan yang Allah Ta’ala berikan, yakni mengangkat ibu susuan
dengan segala kehormatannya. Adapun pengasuhan, ada berbagai kewajiban yang
harus kita tunaikan.
‘Alaa kulli haal, mari kita
renungkan kembali bahwa berpayah-payah dalam berdakwah tidak cukup untuk
mengantarkan anak-anak kita agar memiliki iman yang kuat dan Akidah yang lurus.
Khusyuknya doa kita tidak cukup untuk menjadikan anak kita ahli ibadah.
Penuhnya luka di sekujur badan karena memperjuangkan agama Allah ‘Azza wa
Jalla, yakni al-Islam ini, tidak cukup untuk melahirkan generasi mujahid yang
siap mengorbankan hidup dan hartanya untuk menolong agama Allah. Begitu pula
banyaknya ilmu yang kita dapat melalui usaha sungguh-sungguh, tidak cukup untuk
membawa anak kita dekat dengan agama. Apalagi jika bekal kita sekedar power
point. Bukan ilmu yang dikejar dengan penuh kesungguhan.
Lalu apa yang menjadikan cukup?
Istri kita; apakah hatinya dipenuhi iman atau disesaki keinginan mengejar
dunia? Istri kita; apakah orientasi hidupnya untuk mengejar akhirat ataukah
mendesak-desak kita untuk bersibuk mendakwahkan agama demi merebut dunia? Jika
hidup kita dipenuhi kegelisahan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi,
tetapi istri terlepas dari iman, maka sulit bagi kita untuk berharap akan
lahirnya anak-anak saleh yang mendoakan sesudah kita tiada. Mungkin ada yang
mengundang orang untuk mendoakan kita, tetapi mereka tidak ikut berdoa.
Sementara kesalehan tidak melekat dalam diri mereka. Na’udzubillahi min
dzaalik.
Mari kita ingat firman Allah Ta’ala
tentang istri yang durhaka, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan
bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada
kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun
dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka
bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (At-Tahriim [66]: 10)
Dalam keadaan berselisih iman, bisa
saja istri tetap cinta sepenuh hati. Bukankah sudah banyak contoh seorang istri
yang tetap setia kepada suami meskipun telah nyata durhakanya kepada Allah? Ini
berarti cinta saja tidak cukup.
Nah, sudahkah Anda memberi nasehat
kepada istri Anda hari ini?*
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar