Adab pilarnya, aqidah landasannya. Kuatnya
fondasi memudahkan kita membangun apa saja, setinggi apa pun di atasnya.
Tegaknya pilar mengokohkan bangunan yang kita dirikan, baik melebar maupun
meninggi, tanpa menjadikannya retak, rapuh, dan goyah. Lemah pilar tapi kuat
fondasi, menyebabkan sulitnya kita membangun sesuai harapan. Fondasi tetap ada,
tetapi makin tinggi makin berat beban yang harus ditanggung.
Maka pilar dan fondasi harus
sama-sama kita perhatikan dengan baik. Kuat pilar lemah fondasi, menjadikan
mereka tahu dan bersemangat terhadap kebaikan, tetapi mereka sulit mewujudkan
apa yang menjadi keyakinannya. Kuat pilar lemah fondasi menjadikan perilaku
mereka tampak baik, sikap mereka mengagumkan, tetapi ia sesungguhnya lemah.
Mudah merobohkan apa yang telah ada. Jika pun kebaikan itu tetap mereka
kerjakan, boleh jadi tak bernilai karena berbagai kebaikan itu tanpa niat yang
lurus semata-mata untuk Allah Ta’ala dan karena Allah Ta’ala.
Karenanya, ta’dib (proses
pembentukan adab) di sekolah menjadi keharusan, sebagaimana tidak adanya tawar
menawar dalam masalah penanaman aqidah. Dan yang paling mendesak sekaligus
mendasar untuk dibangun adalah tauhid dan niat.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin?
Bukankah anak-anak usia TK dan SD kelas bawah merupakan usia bermain? Jawabnya,
jika anak telah memiliki antusiasme belajar, punya gairah bersekolah yang
sangat tinggi, apakah belajar menjadi beban baginya? Lihatlah, adakah anak-anak
mengeluh ketika mereka menirukan orang dewasa berdemonstrasi atau melakukan
long march? Tidak. Kenapa? Karena mereka bersemangat.
Mari kita ingat sejenak nasehat
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Dalam Tuhfat al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud mengatakan,
“Diawal waktu, ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada
mereka kalimat laa ilaha illa llah muhammadurrasulullah, dan hendaknya sesuatu
yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah
(mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya. Juga ajarkan kepada mereka bahwa Allah
bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat dan mendengar perkataaan
mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.”
Catatan penting, menanamkan tauhid
dan membangun niat yang lurus dan kokoh pada anak bukan berarti penyampaian
secara kognitif agar mereka memahami dengan baik. Pada usia TK dan SD kelas bawah,
belum saatnya memberi pembelajaran aqidah dengan penekanan secara kognitif.
Yang mereka perlukan adalah dorongan, motivasi, dan sentuhan hati agar mereka
mengingini, mencintai dan bersemangat memegangi sekaligus melakukan apa-apa
yang diserukan oleh agama. Ini yang paling pokok.
Mari kita ingat ketika Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam menasehati Ibnu Abbas RA yang ketika itu masih
kecil. Apa hal pokok yang beliau tanamkan ke dalam dada Ibnu Abbas? Tauhid.
Keyakinan yang kuat bahwa tidak ada yang dapat memberikan maslahat dan madharat
kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Ini pula yang seharusnya kita bekalkan kepada
anak-anak kita. Di sekolah, guru-guru TK dan SD paling bertanggung-jawab dalam
menumbuhkan keyakinan –bukan hanya pemahaman—tentang kekuasaan Allah Ta’ala
yang tiada sekutu baginya.
Mari kita renungi pesan Rasulullah
kepada Ibnu Abbas, “Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa
kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti
akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah
akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada
Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan pada
Allah.
Ketahuilah bahwa apabila seluruh
umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu
melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu
itu.Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya
mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah.
Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (Riwayat At-Tirmidzi).
Apa yang dapat kita petik?
Keyakinan kepada Allah Ta’ala, menyandarkan diri hanya kepada Allah sehingga
tidak merasa lemah di hadapan manusia, serta mengikatkan diri kepada Allah
sebagai penentu takdir.
Pada jenjang selanjutnya,
pembelajaran secara kognitif untuk memahamkan mereka tentang tauhid dan niat
mulai perlu kita berikan. Tetapi kita harus tetap ingat bahwa ta’lim itu bukan
hanya memahamkan secara kognitif dan memberi gambaran yang jelas kepada anak.
Kita harus ingat bahwa ‘alim adalah seorang yang apabila semakin bertambah
ilmunya, semakin bertambah pula rasa takut sekaligus kecintaannya kepada Allah.
Ini berarti, ta’lim itu merupakan paket yang memuat pembelajaran secara
kognitif, tadabbur untuk menyadari dan menghayati kebesaran serta nikmat Allah,
sekaligus nashihah agar mereka merasa takut kepada Allah dan mencintainya
dengan penuh keimanan.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” ( Al-Faathir {35}: 28).
Ini berarti, harus ada langkah
penting dalam mendidik anak-anak kita di sekolah. Sekadar perubahan pada mata
pelajaran, tak berpengaruh besar pada diri murid. Tanpa guru-guru yang terasah
imannya, pelajaran aqidah hanya akan bersifat kognitif saja. Dan ini tidak
dapat menjadi landasan yang kokoh bagi proses ta’dib.
Maka, kita memerlukan guru-guru
yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan guru yang
meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan penentu
apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita terima,
harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya,
menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien
ini.
Jika kita sudah menanamkan tauhid
dan membangun niat yang lurus dan kokoh, barulah kita berbincang tentang ruang
lingkup adab. Kita melakukan ta’dib sembari terus memberi pendidikan (tarbiyah)
untuk masalah tauhid dan niat ini.
Lalu apa saja ruang lingkup yang
harus kita perhatikan? Secara sederhana, kita memberikan ta’dib yang mencakup
seluruh adab (manner & etiquettes) yang dituntunkan oleh dien ini. Tetapi
pada saat awal, yang pertama kali kita tumbuhkan adalah adab terhadap guru,
orangtua, orang yang lebih dewasa serta terhadap teman sebaya. Adapun dalam hal
apa saja adab harus bangun, salah satu hal pokok adalah adab menuntut ilmu.
Semoga dengan ini, bekal sukses
sebagai murid dapat mereka miliki, yakni percaya kepada guru, menghormati
(memuliakan) guru serta memiliki ikatan emosi yang sangat kuat terhadap guru.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Insert teks: Kita memerlukan
guru-guru yang mencintai dien ini dan bersemangat belajar dien. Kita memerlukan
guru yang meyakini dien ini dan menjadikannya sebagai penimbang, penakar dan
penentu apakah gagasan, teori maupun metode yang muncul belakangan dapat kita
terima, harus kita tolak seluruhnya atau kita ambil sebagian. Bukan sebaliknya,
menakjubi segala hal yang tampak hebat, lalu mencari pembenarannya dalam dien
ini.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar