Apakah doa-doa kita telah cukup
untuk mengantar anak-anak menuju masa depan yang menenteramkan? Apakah
nasehat-nasehat yang kita berikan telah cukup untuk membawa mereka pada
kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru merasa telah cukup memberi bekal
kepada anak-anak kita dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan
fasilitas yang lengkap? Kita telah merasa sempurna sebagai orangtua karena
bekal ilmu telah melekat kuat dalam diri kita.
Hari-hari ini, ada yang perlu kita
renungkan. Betapa banyak ahli ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada
Allah ‘Azza wa Jalla. Tak ada anak yang mendoakannya sesudah kematian datang.
Begitu pula, alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya
dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam diri
anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa memberi
nasehat.
Ah, rasanya kita masih banyak
menemukan paradoks yang susah untuk dibantah. Ada orang-orang yang tampaknya
kurang sekali kemampuannya dalam memilih kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan
nasehatnya dengan segenap rasa hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa
kurang ilmunya dalam pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya
menuju masa depan yang terarah dan bahagia.
Tak ada yang ia miliki selain
pengharapan yang besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla, seraya harap-harap cemas
dikarenakan kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada
orangtua yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada
yang bisa ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa, kecuali kenangan masa
kecilnya yang lucu menggemaskan.
Agaknya, ada yang perlu kita tengok
kembali dalam diri kita, sudahkah kita memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak
itu menuju masa dewasa? Tanpa menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam
mengasuh anak, terutama yang berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak
firman Allah Ta’ala:
“Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(An-Nisaa’ [4]: 9)
Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan permintaan Sa’ad bin Abi Waqash tatkala sedang
sakit keras. Pada saat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam datang
menjenguk, Sa’ad berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak memiliki ahli waris kecuali
seorang anak perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua pertiga dari
hartaku?”
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.”
“Separo, ya Rasul?”
“Tidak,” jawab Rasul lagi.
“Jika sepertiga, ya Rasul?”
Rasul mengizinkan, “Ya, sepertiga
juga sudah banyak.” Rasulullah kemudian bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan
ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang
meminta-minta kepada orang lain.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Berpijak pada ayat ini, ada tiga
pelajaran penting yang perlu kita catat. Betapa pun inginnya kita membelanjakan
sebagian besar harta kita untuk kepentingan dakwah ilallah, ada yang harus kita
perhatikan atas anak-anak kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk
menghabiskan umur di jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan
anak-anak dan keluarga kita.
Sangat berbeda keluarga Umar bin
Khaththab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhuma dengan keluarga
sebagian sahabat Nabi lainnya. Umar menyedekahkan separo dari hartanya,
sedangkan Abu Bakar tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Allah dan
Rasul-Nya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Dan Rasulullah mengizinkan
sekaligus menyambut baik amal shaleh keduanya.
Lalu, bagaimanakah dengan keluarga
kita?Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita
miliki dalam mengasuh anak-anak kita.
Pertama, rasa takut terhadap masa
depan mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi
generasi yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian
dari hidup mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di masa
mendatang.
Sesungguhnya, di antara penyebab
kelalaian kita menjaga mereka adalah rasa aman. Kita tidak mengkhawatirkan
mereka sedikit pun, sehingga mudah sekali kita mengizinkan mereka untuk
asyik-masyuk dengan TV atau hiburan lainnya. Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya
dibutuhkan oleh mereka yang telah penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan
hanyalah untuk menjaga agar tidak mengalami kejenuhan.
Hari ini, banyak orang berhibur
bahkan ketika belum mengerjakan sesuatu yang produktif. Sama sekali!
Kedua, takwa kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Andaikata tak ada bekal pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana
mengasuh anak-anak kita, maka sungguh cukuplah ketakwaan itu mengendalikan diri
kita. Berbekal takwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak
melampaui batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah
luluh kalau jika ia bertakwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia
amat takut kepada Allah Ta’ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah
dan rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar
larangan-larangan-Nya.
Ingin sekali saya berbincang
tentang perkara takwa, tetapi saya tidak sanggup memberanikan diri karena saya
melihat masih amat jauh diri saya dari derajat takwa. Karena itu, saya
mencukupi pembicaraan tentang takwa sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala
menolong kita dan memasukkan kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam
golongan orang-orang yang bertakwa. Allahumma amin.
Ketiga, berbicara dengan perkataan
yang benar (qaulan sadidan). Boleh jadi banyak kebiasaan yang masih mengenaskan
dalam diri kita. Tetapi berbekal takwa, berbicara dengan perkataan yang benar
akan mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi takwa dan
berbicara dengan perkataan yang benar, dapat menjadikan diri kita terbiasa
mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih permisif
terhadapnya. Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang patut.
Karenanya, dua hal ini harus kita
perjuangkan agar melekat dalam diri kita. Dua perkara ini, takwa dan berbicara
dengan perkataan yang benar kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke
waktu. Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri
kita dan amal-amal kita.
Allah Ta’ala berfirman,“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab [33]:
70-71)
Marilah kita untuk selalu tafakur
ilallah agar kita selalu dalam hidayah-Nya.
Mohammad Fauzil
0 komentar:
Posting Komentar