Nyekar (ziarah kubur) sebenarnya bukan tradisi
khusus menjelang bulan Ramadhan. Ia dapat dilakukan kapan saja dengan tujuan
untuk mengingatkan peziarah terhadap kematian dan akhirat.
Agar kegiatan
nyekar proporsional tampaknya penting untuk membekali pengetahuan seputar
ziarah kubur.
Pertama, nyekar hukumnya sunah. Rasulullah SAW memperbolehkan kaum
Muslimin ziarah kubur, setelah pada awal perkembangan Islam sempat melarangnya
dengan alasan kekhawatiran terjatuh pada kemusyrikan.
Rasulullah SAW bersabda, “Dahulu aku melarang kalian ziarah kubur,
namun (Allah) telah memberi izin kepada Muhammad untuk melakukannya sehingga
dapat menziarahi makam ibunya. Berziarah kuburlah kalian karena akan menjadikan
kalian mengingat akhirat.” (HR. Muslim).
Kedua, alam barzah (kubur)
merupakan alam penantian panjang bagi manusia yang meninggal dunia sejak zaman
Nabi Adam AS hingga datangnya hari kiamat.
Mereka “hidup” di
alam itu, “mendapatkan rezeki”, “bergembira” dengan nikmat dan karunia Allah,
roh mereka “saling bertemu dan memberi kabar gembira” satu sama lain (khusus
bagi hamba yang saleh), dan dapat “melihat” orang yang menziarahinya,
sebagaimana pensifatan yang diberikan Alquran dan hadis. (QS. Ali Imran:
169-171). Untuk itu, bagian dari etika ziarah makam adalah mengucap salam dan
mendoakan kerahmatan.
Ketiga, berdoa di pemakaman agar yang meninggal
dirahmati Allah dan diampuni dosa-dosanya, karena selain doa kita, hanya amal jariyah dan
ilmu bermanfaat yang pahalanya terus mengalir kepadanya.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasul SAW bersabda, “Apabila anak manusia meninggal dunia,
maka amal kebaikannya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (yang
mengalir), ilmu bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kepadanya.” (HR. Muslim).
Keempat, tidak perlu tabur bunga di
atas makam atau menyirami makam dengan air dan menumbuhkan pepohonan di sekitar
makam dengan alasan bunga segar maupun pepohonan tersebut bertasbih memintakan
ampun kepada penghuni kubur.
Hal tersebut
karena kisah mengenai dua makam yang penghuninya diampuni Allah SWT sebelum
kedua pelepah kurma basah yang diletakkan Rasul di atas makamnya kering
bukanlah sebab diampuninya dosa, melainkan menurut Sayyid Sabiq adalah karena
doa dari Rasul SAW.
Tradisi tabur
bunga di atas makam bukanlah syariat Islam, sebab tidak memberikan manfaat bagi
yang meninggal, di samping hanya menghambur-hamburkan harta kekayaan.
Kelima, tidak perlu membangun dan
mempercantik makam, apalagi menuliskan ayat Alquran di tempat pemakamannya. Rasul SAW hanya memberikan pengajaran
dengan menjadikan gundukan tanah atau batu pada dua sisi makam atau meninggikan
gundukan makam dari tanah sekitar sebagaimana yang diperbolehkan oleh jumhur
ulama.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW meletakkan batu
dengan tangannya yang mulia di atas kuburan Utsman bin Madghun dan bersabda, “Dengan ini aku mengetahui kuburan
saudaraku dan memakamkan orang-orang yang meninggal dari keluargaku.”
Berbaktinya anak
terhadap orang tua setelah mereka meninggal adalah dengan mendoakannya,
bersedekah dengan diniatkan untuk orang tua, tetap menjalin hubungan baik
terhadap sahabat orang tua yang masih hidup dan menjalankan wasiat yang baik
dari orang tua. Membangun makam dengan biaya besar apalagi di tengah kaum
miskin yang kesulitan membangun rumah adalah bertentangan dengan
prinsip-prinsip agama.
Keenam, tidak diperkenankan duduk
di atas makam sebagai bentuk penghormatan terhadap penghuninya dan makruh melaksanakan
shalat di pemakaman. Rasul SAW bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kubur nabi-nabi
mereka sebagai tempat ibadah.”
0 komentar:
Posting Komentar