Syekh Al-Azhar Al-Syarief, Dr Ahmad Al-Tayyib, mengatakan
damai dan perdamaian merupakan produk peradaban Islam sejak masa permulaan
(kerasulan).
Oleh karenanya, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim
tecermin dalam satu kata kunci, yaitu mengenal pihak lain (saling mengenal).
Hal tersebut karena pemikiran filsafat Islam dalam kaitannya dengan hubungan
antara Muslim dan non-Muslim didasari pada dua kenyataan (hakikat).
Pertama,
kenyataan bahwa perbedaan (al-ikhtilaf) merupakan hukum alam (sunnatullah) yang
ditetapkan Allah SWT. Dia menciptakan manusia dengan perbedaan warna kulit,
bahasa, agama, tradisi dan tabiat.
Memang, seandainya Allah berkehendak, maka tidak sulit
bagi-Nya menjadikan manusia sebagai satu umat yang sama dalam segala hal.
Namun, hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, malahan “perbedaanlah” yang
dikehendaki-Nya dan atas sebab perbedaan itulah manusia diciptakan.
Allah SWT berfirman, "Dan jika Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih,
kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah
menciptakan mereka." (QS. Hud:
118-119).
Penggunaan isim isyarah "dzalika" pada kalimat
tersebut menurut para ahli tafsir merujuk pada kata "wa la yazalu
mukhtalifiin", sehingga maknanya atas sunnatullah berupa perbedaan
keyakinan, pemikiran, rasa, tabiat dan kecenderungan yang terdapat pada manusia
itulah maka manusia itu diciptakan.
Kedua, kenyataan
bahwa manusia diciptakan dengan hukum alam untuk saling mengenal antara yang
satu dengan yang lain. Dengan kata lain, manusia diciptakan untuk saling menjalin
"ukhuwah insaniyah" (QS.
Al-Hujurat: 13).
Dua kenyataan tersebut, mau tidak mau harus dicarikan solusi
dan tata kelolanya oleh manusia. Dan Rasulullah SAW telah menunjukkan melalui
perjalanan hidupnya bahwa damai dan perdamaian merupakan jalan terbaik untuk
mengkompromikan perbedaan dan upaya untuk saling mengenal antarmanusia.
Perhatikanlah berbagai pendekatan yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya di Makkah dan Madinah. Perhatikan
pula berbagai perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah SAW dengan kaum Anshar,
kaum Yahudi di Madinah, dan kaum kafir Quraisy yang kesemuanya menunjukkan
upaya-upaya serius menciptakan perdamaian dalam rangka mencari tata kelola yang
baik demi keberlangsungan kehidupan.
Perhatikan lebih detail lagi syariat peperangan dalam Islam
yang tidak lain merupakan situasi pengecualian dalam rangka menghapus
kezaliman, menegakkan kebenaran, menafikan kebatilan, menegakkan kedamaian,
keamanan dan ketenangan, mempertahankan agama, negara, jiwa, harta, benda, kebebasan
beragama dan kemanusiaan.
Allah SWT berfirman, "Diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh,
Allah Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari
kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan
kami ialah Allah’.”
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah, Allah pasti akan menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah Mahakuat, Mahaperkasa." (QS. Al-Hajj: 39-40).
Maka, jika pada saat ini terdapat sekelompok orang yang
mengatasnamakan diri sebagai kelompok Islam dengan kebiasaan melakukan
kekerasan, kejahatan, teror dan mengganggu ketentraman masyarakat, dapat
dipastikan bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan syariat Islam. Dan mereka
perlu belajar Islam langsung melalui teks aslinya, bukan dari para
ideolog-ideolog yang salah dalam memahami ajaran Islam yang damai. Wallahu
a'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar