Manusia dilahirkan ke dunia dengan nilai subyektivitas yang
dibawa oleh alam pikirannya. Subyektivitas tersebut muncul dari cara berpikir
manusia yang diproses oleh akalnya.
Mereka yang menggeluti dunia hukum memiliki kerangka
berpikir dan pola subyektivitas yang berbeda dengan yang mendalami bidang
agama. Maka wajarlah jika subyektivitas ternyata bertingkat, yang dibuktikan
dengan subyektifitas anak memiliki nilai yang berbeda dengan subyektifitas
orang dewasa dan subyektifitas dalam filsafat tidak sama dengan subyektifitas
dalam ilmu pengetahuan.
Perbedaan kadar dan tingkat subyektivitas tersebut
mengisyaratkan kepada kita agar memberikan penyadaran sepenuhnya bahwa
kebenaran akal adalah kebenaran nisbi. Namun demikian bukan berarti kebenaran
akal tersebut tidak bernilai, melainkan menjadi sebuah terminal kebenaran yang
mengantarkan kepada terminal kebenaran lain yang sama-sama nisbi.
Atas dasar kebenaran yang nisbi tersebut, maka Rasulullah
SAW mengajarkan kepada kita agar tidak menghakimi seseorang hanya didasarkan
pada subyektifitas diri, melainkan perlu mempertimbangkan pengakuan,
subyektivitas pihak lain dan saksi-saksi karena hakekat kebenaran yang
sebenarnya berada di sisi Allah SWT.
Perhatikanlah ketika sahabat dari kaum Anshar Al-Barra bin
Ma'rur telah mendahului Rasulullah SAW dalam melaksanakan shalat dengan
menghadap ke Ka'bah sebelum Rasulullah SAW resmi diperintah untuk shalat dengan
menghadap ke Ka'bah. Rasulullah SAW yang dilapori oleh salah seorang sahabat,
sama sekali tidak menyalahkan Al Barra yang kala itu telah meninggal dan
dishalat ghaibkan oleh Rasul bersama para sahabat, melainkan dengan tenang
Rasulullah berkata kepada sahabat yang melaporinya: "Engkau juga akan
shalat menghadap ke Ka'bah jika engkau bersabar menunggunya."
Pada saat yang sama, ketika seseorang mempertahankan dan
melaksanakan subyektivitas akalnya, maka hendaknya didasari oleh data, fakta,
pengakuan dan saksi yang kuat, sehingga jika benar pelaksanaan yang dilakukan
tersebut, maka ijtihadnya menjadi bernilai dua pahala. Sedangkan jika salah,
maka ijtihad tersebut bernilai satu.
Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa berijtihad dan
ijtihadnya benar maka baginya dua pahala. Dan barang siapa berijtihad sedangkan
ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala pahala." (HR. Bukhari).
Subyektivitas akal dengan demikian merupakan kebenaran
permulaan yang memiliki nilai positif dan ia menjadi perangkat penetapan
kebenaran di dalam kehidupan. Namun subyektivitas akal menjadi tidak bernilai
pada saat menguasai subyektivitas pihak lain atau mengklaim sebagai
subyektivitas yang paling benar dan yang lain salah.
Imam Syafi'i mengajarkan kepada kita untuk menjaga
nilai-nilai subyektivitas agar tetap eksis dalam subyektivitasnya tanpa
melampaui wilayah di luar dirinya dengan mengatakan: "Pandangan kita benar
namun mengandung kesalahan dan pandangan pihak lain salah tetapi mengandung
kebenaran."
Subyektivitas dengan demikian merupakan kebenaran kecil yang
harus dikovergensikan dengan subyektivitas lain agar menjadi kebenaran besar.
Sementara kebenaran besar akan menjadi kebenaran sejati jika ia berkesesuaian
dengan prinsip-prinsip kebenaran ilahi.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar