Sebagian Masyarakat Muslim memiliki pandangan bahwa menikah
di bulan Muharam hukumnya haram atau makruh.
Mereka yang menghindari prosesi pernikahan di bulan tersebut
berkeyakinan bahwa Muharam adalah bulan kesedihan, mengingat banyaknya musibah
besar di dunia yang terjadi pada bulan tersebut.
Bahkan, bukan hanya Muharam saja, sebagaian masyarakat yang
lain juga memiliki anggapan serupa dengan bulan Syawal dan Shafar.
Padahal pandangan dan anggapan tersebut keliru karena hanya
didasarkan pada perangkaian beberapa peristiwa sedih, tidak memasukkan
peristiwa bahagia dan tidak didasarkan pada dalil Alquran dan sunah.
Pandangan seperti ini biasanya disebut dengan istilah
tahayul atau khurafat. Jika ditelusuri secara ilmiah, maka pandangan tersebut
tidak memiliki asal muasal yang jelas dan menyebar dari generasi ke generasi
tanpa ada sikap kritis dan upaya mengkritisi terhadap kebenaran anggapan
dimaksud.
Jika kita kembalikan pada Alquran dan sunah, maka kita akan
mendapati pengetahuan yang 180 derajat
bertolak belakang dengan pandangan tersebut.
Pertama, Muharam
bukanlah bulan kesedihan, melainkan justru bulan kegembiraan. Buktinya, Allah
SWT mengagungkan bulan tersebut dan memasukkannya sebagai salah satu bulan yang
di dalamnya kita diharamkan melakukan peperangan.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya jumlah bulan menurut
Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram." (QS. At-Taubah: 36).
Kedua, Rasulullah
SAW menjadikan tanggal ke-9 dan 10 Muharam sebagai hari bersyukur kepada Allah
SWT dengan diawali kegiatan berpuasa di kedua hari tersebut.
Rasulullah SAW menyatakan kaum Muslimin lebih berhak
mensyukuri peristiwa diselamatkannya Musa AS oleh Allah SWT dibanding kaum
Yahudi karena kedekatan akidah, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan kaum
Muslimin berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharam untuk membedakannya dari tradisi
puasa kaum Yahudi.
Ketiga,
pernikahan merupakan sunah para Rasul dan barang siapa yang telah menikah
berarti telah menyempurnakan separuh dari urusan agamanya. Maka bagaimana
mungkin ada hari tertentu yang di dalamnya diharamkan atau dimakruhkan
melakukan pernikahan?
Yang akan berarti kontradiktif dengan sunah para Rasul
tersebut. Sementara semua hari dan bulan adalah milik Allah (QS. At-Taubah: 36) dan tidak ada satu
ayat pun yang menegaskan pelarangan nikah pada hari tertentu.
Keempat,
peristiwa Aisyah yang dinikahi Rasulullah SAW pada bulan Syawal menegaskan
tidak ada kekhawatiran menikah di bulan tersebut. Demikian pula Ali bin Abu
Thalib dengan Fathimah yang disinyalir terjadi pada bulan Shafar. Dari Aisyah
RA, ia berkata, "Rasulullah SAW menikahiku dan membangun rumah tangga
denganku pada bulan Syawal." (HR.
Bukhari).
Kelima, dewasa
ini dengan jumlah penduduk yang sangat besar, maka jumlah mereka yang
menyelenggarakan resepsi pernikahan sangatlah banyak. Bahkan untuk memesan
tempat pernikahan diperlukan waktu dua sampai tiga bulan sebelum pelaksanaan.
Bayangkan jika terdapat hari-hari yang tidak diperbolehkan
nikah di dalamnya, betapa akan bertambah sulit menentukan hari pernikahan.
Padahal prinsip Islam senantiasa memberikan jalan kemudahan dan bukan
kesulitan. Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS.
Al-Baqarah: 185).
Demikianlah, Allah SWT menciptakan hari-hari dalam setahun
agar kita dapat memanfaatkannya dengan baik dan maksimal untuk kebajikan demi
melestarikan sunah Rasul yang sekaligus merupakan sunah-Nya dan perintah-Nya.
Wallahu a'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar