Membaca dua kalimat syahadat merupakan rukun Islam yang
pertama. Kalimat tersebut bukan hanya pembuka bagi pelaksanaan rukun Islam yang
lima, melainkan sekaligus pernyataan ketundukan seseorang terhadap semua aturan
ketuhanan.
Jika seseorang telah membaca Syahadat Allah (kesaksian akan
adanya Allah SWT), maka secara langsung pada dirinya sedang terjadi tiga
perubahan. Pertama, penegasian semua
bentuk kepercayaan dan keyakinan yang dipercayai sebelumnya. Atas dasar
pandangan inilah kaum kafir Quraish memusuhi Rasulullah SAW, karena mereka sadar
betul bahwa ketika ketauhidan menancap di dalam hati sanubari seseorang, maka
tuhan-tuhan nenek moyang mereka berupa Latta, Uzza, Manat, Qattan, dan
semacamnya bakal luluh lantak oleh pandangan ketauhidan.
Sehingga pertentangan kaum kafir Quraish terhadap Rasulullah
SAW beserta pengikutnya pada hakekatnya bukanlah pertentangan pribadi,
melainkan pertentangan keimanan, sehingga ke mana pun kaum muslimin berhijrah
(Habasyah, Thaif, Madinah) intimidasi, gangguan, dan peperangan tetap mereka
kobarkan.
Kedua, penetapan
bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, sehingga konsekuensi dari penetapan
tersebut berupa ketundukan pada semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Oleh karenanya seseorang yang bersyahadat Allah bukan hanya akan meninggalkan
kemusyrikan, melainkan juga memberangus "anak, cucu dan cicit" kemusyrikan
yang berupa, kezaliman, korupsi, riba, berzina, berkata bohong, perampokan, dan
semua perbuatan buruk lainnya. Singkat kata seseorang yang tauhidnya benar dan
kuat, tidak akan terjerumus ke dalam dosa, kezaliman, dan kemungkaran.
Ketiga, pengisian
lembaran baru kehidupan dengan segala bentuk kebajikan, sebagaimana kebajikan
yang telah direpresentasikan oleh Tuhannya dalam kehidupan dan nama baiknya
dalam Al-Asmaul Husna.
Hidup seorang yang beriman pada hakekatnya hanya untuk
kebajikan, sebab kebajikan bernilai positif bagi kemanusiaan dan ketuhanan. Dan
Demikianlah daur kehidupan orang yang beriman. Allah SWT berfirman: "Maka
barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
balasannya." (QS. Az-Zalzalah: 7).
Jika ketiga perubahan tersebut mewarnai diri seorang muslim
dalam kehidupan keseharian, maka syahadatnya kepada Allah telah mencapai
syahadat Haqqul Yakin (yang ditandai dengan pewarnaan hidayah keimanan dalam setiap
langkah kehidupan); bukan syahadat keimanan biasa (yang dinyatakan dengan
keimanan di lisan dan hati dengan perbuatan yang terkadang kurang konsisten);
maupun syahadat Ahlul Ilmi (yang percaya kepada Allah melalui penelitian
ilmiahnya).
Sedemikian dalam makna syahadat Allah dan besar pengaruhnya
pada diri pribadi seseorang, yang dalam konteks tertentu dapat memicu langkah
revolusioner maupun evolusiner, sampai-sampai Allah SWT bersaksi atas diri-Nya
sendiri untuk menegaskan keberadaannya sebagai Tuhan yang satu.
Allah SWT berfirman: "Allah bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang-orang berilmu yang
menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa,
Mahabijaksana (QS. Ali 'Imran: 18).
Namun demikian Allah SWT masih memberi ruang bagi
penelitian, pemikiran dan kontemplasi manusia agar akal budinya dapat menemukan
hakekat ketuhanan dan pengakuan Allah sebagai Tuhan seluruh alam dengan
memikirkan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Allah SWT berfirman: "Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu benar. Tidak
cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?" (QS. Fussilat: 53).
Maka, jika dalam memperkenalkan eksistensinya sebagai Tuhan
yang satu, Allah SWT masih menggunakan dua cara agar akal manusia dengan mudah
dapat menemukan-Nya, seharusnya seorang muslim tidak kehabisan cara dalam
memperdalam keimanannya, sehingga semakin banyak kebajikan yang dapat disemai
di bumi sebagai buah dari kesaksian akan ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahu
A'lam.
Muhammad Hariyadi,
0 komentar:
Posting Komentar