Allah SWT menciptakan makhluk dan memberinya kecenderungan
sosial dan fitrah dasar agar saling memiliki keterikatan di antara mereka.
Atas dasar kecenderungan dan fitrah tersebut, manusia tidak
dapat "hidup" kecuali dengan berkelompok agar kebutuhan dan
kepentingan mereka saling terlindungi, terselamatkan, saling bantu dalam
kebaikan dan bekerjasama dalam menciptakan kepentingan bersama/umum.
Atas dasar itu pula, Allah SWT memerintahkan manusia untuk
taat kepada pemimpin yang telah dipilih di antara mereka.
Hal tersebut karena jika manusia tidak memiliki ikatan atau
aturan (rabithah) kepemimpinan dalam suatu kelompok sebagai pedoman dan
kesepakatan bersama, maka kepentingan umum tidak akan terealisasi dengan baik
dan tidaklah ada bedanya sifat manusia dengan binatang.
Allah SWT menciptakan manusia, menangguhkan balasan dosa
besar umat Muhammad SAW, dan memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya.
Pemuliaan tersebut nyata dengan penganugerahan akal yang berfungsi sebagai
pembeda antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta manfaat
dan bahaya.
Allah SWT bahkan menambah anugerah akal itu dengan luapan
kasih sayang-Nya yang tak terbatas melalui pengutusan para rasul dan Alquran.
Allah memerintahkan kepada manusia: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan)
di antara kamu.” (QS. An-Nisa': 59).
Mengapa Allah memerintahkan kita taat kepada pemimpin? Kalau
taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah jelas, karena Rasullah yang menyampaikan
pesan-pesan (risalah) Allah. Adapun pemimpin, apa gerangan alasan kita untuk
taat?
Tidak lain karena ketaatan kita kepada pemimpin memiliki
arti kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan; kebahagiaan dan persatuan;
keselamatan dan kebersamaan; kerjasama dan persaudaraan, serta keteraturan dan
ketaatan.
Sementara menentang pemimpin berarti perpecahan,
penyempalan, pembolehan larangan, pertumpahan darah, penghalalan yang haram,
bagaikan binatang ternak tanpa penggembala atau berjalan tanpa petunjuk.
Tentu ketaatan kepada pemimpin bukan berarti taat tanpa
reserve dan sikap kritis karena Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin
dalam melanggar perintah-Nya. Pemimpin tidak lain merupakan representasi wakil
Allah dalam urusan duniawi agar visi memakmurkan bumi dan penduduknya dapat
dilakukan melalui sistem yang teratur, tertib, berkeadilan dan ketaatan.
Maka pemimpin dengan segala nilai kekurangan dan
kelebihannya harus didukung karena sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang
siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa
taat (kepada) pimpinan, maka berarti telah taat kepadaku.” (HR. Muslim).
Pengaitan ketaatan kepada pemimpin dengan ketaatan kepada
Allah dan Rasulnya sebagaimana disebutkan di dalam hadis tersebut mengandung
rahasia kepentingan dan kemaslahatan bersama. Lebih dari dari itu, Allah SWT
memerintahkan manusia bersatu dan melarang bercerai berai. (QS.
Ali Imran: 103).
Bukankah srigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan
diri? Demikianlah kiranya jika manusia tidak bersatu, maka akan mudah
dihancurkan oleh lawan. Dan bukankah perselisihan di dalam sejarahnya telah
banyak memakan korban dan mengakibatkan bencana yang menimpa umat manusia,
disamping memperlambat laju kemajuan serta kemakmuran. Wallahu a'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar