Syariat Islam memperkenalkan dua bentuk sedekah. Pertama, sedekah wajib meliputi zakat
harta, zakat fitrah, dan kafaraat (kafaraat pembunuhan, zihar, berbuka puasa
dengan sengaja di siang Ramadhan dan sumpah).
Sedekah wajib ini telah ditentukan ukuran dan waktunya serta
disebutkan dengan jelas di dalam Alquran dan As-sunnah.
Kedua, sedekah
sunah meliputi infak dan sedekah serta semua bentuk sedekah di luar kategori
sedekah wajib. Sedekah kategori sunah ini tidak ditentukan ukuran dan waktunya
serta dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Catatannya,
jika sedekah sunah tersebut dilakukan di bulan Ramadhan, maka pelakunya akan
mendapat pahala berlipat ganda karena kemuliaan bulan Ramadhan.
Allah SWT mewajibkan zakat fitrah pada dua hari sebelum Idul
Fitri tahun kedua Hijriyah kepada kaum Muslimin baik anak-anak maupun dewasa
dan diberikan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.
Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa "Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitrah berupa satu sak kurma atau gandum kepada kaum Muslimin:
hamba sahaya maupun orang merdeka; laki-laki maupun perempuan; kecil maupun
besar, dan pelaksanaannya dilakukan sebelum orang-orang keluar shalat Idul
Fitri." (HR. Bukhari-Muslim).
Disebut zakat karena sifatnya yang membersihkan, dan disebut
fitrah karena berkaitan dengan futur (buka puasa). Dengan demikian selain berfungsi
untuk membersihkan perkataan kotor dan tidak berguna dari orang yang berpuasa,
zakat fitrah juga bertujuan untuk membantu kebutuhan konsumsi kaum fakir miskin
dan memasukkan kegembiraan ke hati mereka agar di hari raya mereka turut
bergembira tanpa memikirkan masalah dapur mereka.
Dari Ibnu Abbas RA, bahwa "Rasulullah SAW mewajibkan
zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan
tidak berguna dan memberikan santunan kepada fakir-miskin." (HR. Abu Daud).
Adapun patokan waktu pengeluaran zakat fitrah dapat
dikeluarkan sejak hari pertama Ramadhan hingga sebelum pelaksanaan shalat Idul
Fitri. Namun, utamanya zakat fitrah dilakukan pada waktu terbenam matahari
malam Idul Fitri atau akhir Ramadhan karena waktu tersebut menjadi waktu futur
(berbuka) terakhir dari seluruh rangkaian buka puasa di dalam bulan Ramadhan.
Sedangkan berhubungan dengan jenis makanan yang dipergunakan
dalam berzakat, kendati terdapat berbagai pendapat menurut ulama madzhab, namun
umumnya para ulama membolehkan ditunaikan dalam bentuk makanan pokok
masing-masing negara sebab letak persoalannya bukan pada jenis makanan yang
disebutkan di dalam hadis, melainkan yang menguatkan perut manusia (makanan
pokok dan vital) sesuai dengan kawasan masing-masing.
Sementara itu Madzhab Hanafi dengan pandangan yang lebih
futuristik memperbolehkan penggantian bahan makanan dengan nilai atau harga
dalam bentuk uang karena dianggap lebih fleksibel dan mudah ditasarufkan sesuai
dengan kebutuhan si penerima, di samping lebih memudahkan bagi orang yang
memberi.
Pandangan Madzhab Hanafi tersebut cukup kuat karena
didasarkan pada hadis Muadz bin Jabal yang menggantikan zakat fitrah masyarakat
Yaman dengan ghamis yang sangat diperlukan bagi penduduk Madinah kala itu atau
dengan istilah lain pengkiasan zakat fitrah pada zakat harta.
Dari pengkayaan pendapat para ulama madzhab terhadap zakat
fitrah, sebenarnya yang penting bagi kita adalah menyegerakan penunaian zakat fitrah agar dapat
segera di tangan penerima. Hal tersebut dimaksudkan agar kebutuhan pokok
(pangan) penerima zakat terjamin karena sifat zakat fitrah pada dasarnya
berfungsi sebagai back up kebutuhan konsumsi penerimanya.
Selebihnya, si penerima dapat memenuhi kebutuhan pokok lain
berupa pakaian dan kebutuhan konsumsi lainnya agar tujuan memasukkan
kegembiraan di dalam hatinya pada saat Idul fitri benar-benar terlaksana.
Wallahua'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar