Jika diruntut berdasarkan pengalaman sejarah, dipastikan
usia suap-menyuap (rasuwah) setua usia peradaban manusia. Secara alamiah
manusia akan menggunakan berbagai kemampuan, pengaruh, pendekatan, dan cara
yang dimilikinya.
Dalam konteks tersebut, hanya jiwa-jiwa yang terpelihara,
menjaga kemuliaan, keadilan, dan membebaskan diri dari kepentingan duniawi yang
akan mampu konsisten menghindari penyuapan apapun bentuk dan betapapun
kecilnya.
Semakin besar jabatan seseorang, maka semakin besar pula
nilai penyuapan yang dilakukan atau diterimanya. Demikian pula sebaliknya.
Tidak mungkin menyuap pejabat tinggi dengan nilai suap pejabat rendah.
Sedangkan menyuap pejabat rendah dengan nilai suap pejabat tinggi, hanya akan
menjadi tertawaan logika. Nilai penyuapan dengan demikian berkaitan erat dengan
status sosial, peringkat jabatan, besarnya wewenang, dan hebatnya pengaruh.
Di zaman jahiliah, penyuapan merupakan salah satu upaya
pendekatan (lobi) dalam mencapai tujuan. Suap, zina, merampok, minuman keras,
mengganggu tetangga, memutus silaturahim, memeras kelompok lemah merupakan
beberapa tradisi dan pemandangan sehari-hari kaum jahiliah.
Penyuapan yang paling terkenal dilakukan oleh kaum Quraish
terhadap Raja Al-Najasyi (Ashamah bin Abjar) dengan tujuan mengusir kaum
Muslimin yang hijrah ke Habasyah (Etiopia).
Kala itu, kaum kafir Quraish mengutus Amr bin Al-Ash dan
Abdullah bin Abu Rabi'ah untuk menemui Raja Najasyi, Pejabat Tinggi Habasyah,
dan pemuka agamanya dengan membawa suap istimewa yang dibungkus dengan nama
hadiah dari Makkah. Keduanya menghadap Al-Najasyi yang didampingi oleh para
pejabat tinggi dan pemuka agama, seraya berkata:
"Wahai Paduka Yang Mulia! sungguh, sekelompok orang
bodoh telah memasuki wilayahmu, mereka meninggalkan agama kaumnya dan tidak
masuk agamamu. Mereka datang dengan agama baru, yang kami, Paduka dan kita
semua tidak tahu asal-usulnya. Kami telah diutus oleh kaum kami yang mulia agar
Paduka dapat mengusir mereka dan mengembalikannya kepada kaumnya. Kaumnya lah
yang lebih tahu akan keadaan mereka."
Perkataan Amr bin Al-Ash didukung oleh para pejabat tinggi
dan tokoh agama Kerajaan Habasyah, sebab mereka telah tergiur dengan suap yang
dibawa dua utusan dari Makkah. Namun, Najasyi tidak serta-merta mempercayai
perkataan Amr bin Al-Ash, tetapi memberi hak bicara kepada kaum Muslimin. Kaum
Muslimin mempercayakan Ja'far bin Abu Thalib menjadi jubir mereka.
Ja'far berkata, "Wahai Paduka Raja. Dulu kami hidup
dalam kejahilan, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perzinaan,
memutuskan silaturahim, mengganggu tetangga, yang kuat memeras yang lemah.
Kondisi ini terjadi hingga Allah mengutus Rasul dari golongan kami, yang kami
kenal kemuliaan nasabnya, kejujurannya, keterpercayaannya, dan kesuciannya. Dia
mengajak kami menyembah Allah, tidak mempersekutukannya, meninggalkan tradisi
nenek moyang seperti menyembah berhala, batu, dan lain sebagainya."
Najasyi bertanya, "Apakah kalian memiliki sesuatu yang
dapat diperdengarkan yang berasal dari Tuhan kalian?" Ja'far menjawab,
"Tentu". Lalu, ia membaca permulaan dari surah Maryam.
Raja Najasyi menangis hingga air matanya membasahi
janggutnya dan berkata, "Sungguh, ini dan apa yang dibawa Isa muncul dari
tempat/sumber (misykah) yang sama. Pergilah kalian berdua dan aku tidak akan
mengusir mereka."
Hari berikutnya, Amr bin Ash masih belum menyerah dan melobi
Raja Najasyi dengan mempermasalahkan pandangan kaum Muslimin terhadap Isa bin
Maryam. Lagi-lagi Najasyi memanggil Ja'far bin Abu Thalib dan meminta
konfirmasinya.
Setelah dijelaskan sedemikian rupa, Najasyi menyuruh para
pejabatnya mengembalikan suap yang diberikan kepada mereka, mengusir kedua
utusan Quraish, dan memberi jaminan keamanan bagi kaum muhajirin Makkah. Wallahu
A'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar