Shalat arbain (40 kali) di Masjid Nabawi merupakan salah
satu kegiatan yang ditradisikan oleh sebagian besar umat Islam di dunia.
Dalam melaksanakan shalat arbain, jamaah praktis harus
tinggal di Madinah minimal selama delapan hari.
Kegiatan tersebut didasarkan pada hadis riwayat Anas bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Barang siapa shalat di masjidku (nabawi) empat
puluh kali shalat yang tidak terputus, maka ia akan ditulis terbebas dari
neraka, selamat dari siksa dan terbebas dari sifat munafik." (HR. Ahmad dan Tabrani).
Dalam hadis lain riwayat Anas, Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa shalat empat puluh hari dengan berjamaan dan mendapati
takbiratul ihramnya imam, maka ia akan ditulis terbebas dari dua perkara; bebas
dari neraka dan sifat munafik." (HR.
Tirmidzi).
Nasiruddin Al Al-Bani memasukkan hadis pertama dalam daftar
hadis dhaif, karena hanya diriwayatkan oleh satu perawi (nabiith). Sedangkan
hadis kedua dinilainya shahih.
Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Syekh Abdul Aziz bin
Baz. Menurutnya, ziarah Masjid Nabawi tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
Apalagi adanya anggapan harus tinggal di Madinah selama delapan hari guna
mengejar shalat Arbain. Ziarah Masjid
Nabawi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Ia boleh dilakukan sesaat, sehari, dua
hari atau lebih dari itu.
Yang menarik adalah apa yang dilakukan oleh Dr Arif Syekh
yang menggabungkan dua hadis tersebut. Ia memandang penggabungan dua hadis di
atas memungkinkan karena hadis yang kedua bernilai shahih, yang substansinya
menegaskan keutamaan pembiasaan diri shalat berjamaan fardu empat puluh hari di
masjid manapun.
Jika masjid yang digunakan dalam shalat Arbain itu Masjid
Nabawi, maka tentu keutamannya akan lebih besar, sebab dalam hadis shahih lain
Rasulullah SAW bersabda, "Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih
utama seribu kali shalat dibanding masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram.
Adapun shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu shalat dibandingkan
dengan shalat di masjid lainnya." (HR.
Muslim).
Dari sini jelas bahwa keutamaan shalat di Masjid Nabawi
sangatlah besar, namun tidak berarti lebih besar dari Masjidil Haram. Logikanya
kemudian, harusnya shalat Arbain di Masjidil Haram lebih ditekankan dan
ditradisikan sebab keutamaannya jauh lebih besar di banding Masjid Nabawi atau
masjid manapun.
Namun kenyataannya tidak demikian, karena tidak ada bab
shalat Arbain yang berkaitan dengan Masjidil Haram yang disepakati oleh ulama
hadis di dalam enam kitab hadis utama (kutubus sittah).
Jika demikian adanya, maka kalau kita hendak meletakkan dan
meraih keutamaan yang lebih besar, hendaknya peletakan strata prioritasnya
tepat dan benar. Masjidil Haram dengan segala keutamaannya jauh lebih tepat dan
benar untuk lebih banyak disinggahi dan shalat di dalamnya di banding Masjid
Nabawi atau masjid manapun.
Maka, dengan tanpa menghilangkan kebiasaan kita memperbanyak
shalat fardu di Masjid Nabawi, orientasi tempat ibadah kita seyogianya mulai
dirubah untuk lebih banyak lagi dilakerjakan di Masjidil Haram.
Memang Masjid Nabawi memiliki kesyahduan tersendiri yang
berbeda auranya dengan Masjidil Haram. Hal itu tidak kita mungkiri karena di
Masjid Nabawi terdapat maqam Rasulullah SAW dan sahabat serta Raudah. Kota
Madinah sendiri memiliki tekstur dan suasana kota yang terasa lebih
"ramah" dan nyantai di banding Makkah.
Di dalamnya dengan puas dan lega, kita dapat menyampaikan
salam kepada junjungan kita dan serasa kita berada di taman surga-Nya. Namun
dalam kaitannya dengan keutamaan, harusnya kita tidak menyandarkan diri pada
perasaan, melainkan pada dalil naqli Alquran dan as-Sunnah sebagaimana yang
telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar