Bukan merupakan suatu kebetulan jika surah Al-Hajj di dalam
Alqur'an memiliki kaitan erat dengan ibadah haji.
Kendati perintah ibadah haji terdapat di dalam surah
Al-Baqarah: 196, namun surah Al-Hajj secara keseluruhan membicarakan mengenai
masalah tauhid dan ancaman bagi mereka yang menyembah selain Allah SWT yang
merupakan titik inti pelaksanaan seluruh ibadah haji.
Permulaan surat Al-Hajj diawali dengan pembicaraan mengenai
hari kiamat, riuh-rendah suasana hari kebangkitan di alam kubur dan semua
manusia menuju pada satu tempat yang sama dengan pakaian sama di bawah terik matahari
yang menyengat.
Suasana tersebut tidak jauh berbeda dengan suasana di
Arafah, lalu berangkat menuju Mina dengan menginap di Muzdalifah. Suasana hari
kebangkitan serupa dengan suasana bermalam di Muzdalifah yang bangun dari tidur
setelah wukuf arafah dalam suasana lelah, sesak, dan berdebu.
Kemudian datang ayat-ayat yang membicarakan mengenai masalah
perjuangan (jihad) setelah ritual haji, sebab pada dasarnya pelaksanaan ibadah
haji merupakan pelatihan kegiatan jihad dengan tipe kegiatan yang berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain, kelelahan dan kecapaian, konsistensi pada
waktu dan penegakan syiar yang diperintahkan Allah SWT.
Selanjutnya surah Al-Hajj membericarakan mengenai
penyembahan kepada Allah SWT dengan landasan sifat ihlas sebab semua manusia di
dalam ibadah haji hanya menyembah kepada Tuhan yang Esa. Bahkan semua makhluk
yang ada di langit dan bumi, tidak terkecuali pepohonan, bintang, bulan,
matahari dan hewan melata kesemuanya menyembah dan bertasbih kepada Allah SWT.
Satu-satunya surah yang di dalamnya terdapat dua (2) sujud
tilawah ini seakan merupakan isyarat ilahi tersambungnya sujud sebagai lambang
ibadah secara keseluruhan dengan ibadah sempurna (jihad) dan paripurna (haji).
Pantaslah saat Sayyidah Aisyah RA bertanya kepada Rasulullah
SAW: "Kami memandang bahwa jihad merupakan perbuatan yang utama. Apakah
kami harus berjihad?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak! Akan tetapi
jihad yang paling utama adalah haji mabrur." (HR. Bukhari).
Haji dengan demikian merupakan jihad yang dimulai dengan
niat suci semata-mata karena Allah SWT sebab mereka memenuhi panggilan sebagai
tamu Allah di rumah-Nya yang diberkahi. Talbiyah merupakan ungkapan pemenuhan
panggilan ketuhanan dan komitmen pada Tuhan yang satu.
Thawaf merupakan konsistensi dalam lingkaran ketuhanan. Sai
merupakan perjuangan yang dilandasi dengan kesucian dan sikap tegar. Dan
Tahalul merupakan konsistensi pada pilihan terbaik di antara yang dihalalkan
Allah SWT.
Jika substansi tersebut mewarnai ritual haji, maka tidak
ayal lagi pernyataan Hasan al-Bashri mengenai haji mabrur dengan ciri khas
"makin zuhud dalam urusan dunia dan pengharapan yang makin besar dalam
urusan akhirat" akan teraktualisasikan pada diri para hujjaj pasca
pelaksanaan ibadah haji. Hal tersebut karena orientasi keduniaan adalah tauhid,
semua karena Allah dan untuk Allah SWT.
Berdasarkan pandangan substansialis ini pula, ibadah haji
bukan hanya konferensi internasional secara fisik, namun lebih dari itu
merupakan konperensi internasional jutaan hati/jiwa yang hidup dan hidupnya
hati/ jiwa.
Artinya, para hujjaj adalah pribadi-pribadi yang jiwanya
senantiasa terpanggil secara otomatis oleh seruan dan perintah Allah SWT,
sebagaimana digambarkan di dalam firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang
beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu
yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan." (QS. Al-Anfal: 24).
Betapa indah pelaksanaan rukun Islam yang paripurna ini
karena mengantarkan pelakunya mengalami kehidupan jiwa dan jiwa yang hidup
sehingga sampai kepada tujuan hidup yang sesungguhnya, Allah SWT. Wallahu
a'lam.
Muhammad Hariyadi
0 komentar:
Posting Komentar