Maryam juga berjumpa dengan Jibril. Bahkan, bukan hanya
mengisyaratkan kepadanya wahyu, tetapi meniupkan roh yang kemudian menjelma
menjadi Nabi Isa, kemudian Nabi Isa menjadi kalimat Allah (al-Kalimah),
sebagaimana dalam firman-Nya:
“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata, “Hai Maryam,
sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang
diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa
putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang
yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS Ali
Imran [3]: 45).
Kata kalimah dalam ayat ini memiliki banyak sekali
interpretasi para ulama dan teolog, sebagaimana yang pernah dibahas dalam
artikel terdahulu, terutama dalam: “Apa Makna Ayat menurut Para Sufi”.
Dalam ayat lain lebih tegas lagi menyebut Maryam “ayat”:
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami
tiupkan ke dalam (tubuh)-nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya
tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ [21]:91).
“Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya
suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di
suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan
sumber-sumber air bersih yang mengalir. (QS
al-Mu’minun [23]: 50).
Setelah kita melihat berbagai keutamaan yang dimiliki
Maryam, maka pertanyaan yang mengusik ialah mengapa Maryam tidak disebut
nabiyyah menurut mayoritas ulama? Bukankah semua kriteria kenabian telah
dimilikinya?
Pertanyaan yang sama juga muncul kepada sejumlah perempuan
utama lainnya seperti Ummi Musa, yang secara eksplisit disebutkan ia menerima
wahyu dari Allah (wa auhaina ila Ummi Musa, QS al-Qashash [28]:7).
Apakah memang
perempuan tidak bisa menjadi nabiyyah? Siapa yang mencekal perempuan menjadi
nabiyyah, apakah ada dalil tekstual atau logika, atau budaya misoginis yang
sangat kental di dalam tradisi Semit?
Nasirrudin Umar
0 komentar:
Posting Komentar