Sulit membayangkan anak-anak didik kita saat ini untuk dapat
beretika dengan Allah SWT, jika dalam keseharian mereka meninggalkan etika
kepada sesama dan kedua orang tuanya.
Anak-anak kita dewasa ini memandang orang tua sebagai kawan,
partner dan sahabat. Bersamaan dengan itu pula, dalam diri mereka tidak tumbuh
pemahaman bagaimana seharusnya mereka beretika terhadap kedua orang tuanya dan
sesama manusia.
Sekilas kita memperoleh kemajuan dalam mendidik anak dengan
cara modern ini, karena mereka dapat bersikap egaliter, setaraf dengan orang
tua, kritis dan meniadakan sikap ewuh
pakewuh. Namun jika kita tidak mengajarkan kepada mereka, bagaimana seharusnya
mereka beretika dengan sesama dan orang tua, maka tidak mustahil mereka akan tumbuh sebagai pribadi-pribadi yang
arogan, materialistis, dan tidak berbudi luhur.
Jika mereka tidak tahu bagaimana seyogyanya diri mereka
beretika terhadap orang tuanya, maka mereka juga tidak akan tahu mengenai apa
yang harus dilakukannya pada saat orang tua mereka meninggal dunia. Mereka
bahkan tidak akan mengerti bagaimana beretika dengan Tuhan mereka.
Beradab dan beretika baik terhadap Allah SWT adalah perilaku
para Nabi, Rasul dan orang-orang saleh. Mereka memiliki pandangan bahwa Allah
SWT adalah eksistensi dasar dan utama dalam kehidupan di dunia ini, sebab
segala wujud di dunia ini berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya (QS. Al-Baqarah: 156).
Ia adalah eksistensi yang sangat dekat, bahkan lebih dekat
dari urat leher setiap manusia (QS.
Qaaf: 16), hanya saja ia ghaib yang eksistensinya terepresentasi dalam diri
dan lingkungan sekitar kita. Maka ia ada dan niscaya keberadaan-Nya.
Perhatikanlah etika dialog Isa AS pada saat Allah
menegaskannya bahwa Tuhan hanya satu:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa
putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan
ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?" (Isa) menjawab: "Mahasuci
Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah
mengatakannya, tentulan Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang
ada pada diriku dan aku (Isa) tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh,
Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (QS. Al-Ma'idah: 116).
Perhatikan pula etika Ibrahim AS dalam menyatakan pengakuan
kekuasaan Allah SWT atas dirinya:
(yaitu) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi
petunjuk kepadaku, dan Yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku
sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS.
Asy-Syu'ara': 78-80).
Dua kenyataan tersebut menunjukkan bahwa Allah berada di
sekitar kehidupan keseharian manusia. Ia tidak jauh, eksis, dan memengaruhi
kehidupan manusia. Perhatikan juga etika Rasulullah SAW kepada-Nya pada saat
Aisyah menanyakan mengapa beliau masih beribadah dengan sekuat tenaga, padahal
dosanya telah dijamin akan diampuni Allah SWT:
Dari Aisyah RA berkata: Adalah Rasul SAW, apabila beliau
mendirikan salat, maka beliau melakukannya hingga kedua kakinya bengkak. Aisyah
berkata: “Wahai Rasul, kenapa engkau lakukan yang demikian ini, padahal Tuhanmu
telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lampau dan yang akan datang?"
Rasulullah SAW menjawab: "Wahai Aisyah, apakah tidak boleh aku menjadi
hamba yang (pandai) bersyukur?” (HR. Bukhari).
Beretika kepada Allah SWT dengan demikian merupakan
keniscayaan dan representasi kedalaman iman seseorang, bahkan Allah lebih berhak
menjadi representasi etika manusia. Maka jika dalam shalat, orang tua saleh
mengarahkan kepada anaknya untuk memakai pakaian terbaiknya, arahan tersebut
sesungguhnya merupakan etika kepada Allah, sekaligus pengejawantahan perintah
Allah (QS. Al-A'raf: 31) agar kita
menggunakan pakaian bagus kita pada waktu menghadap-Nya, sebab Dia lebih berhak
daripada manusia. Wallahu A'lam.
Muhammad Riyadi
0 komentar:
Posting Komentar