Hilm, Ru’yah, dan
Manam
Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru'yah umumnya mempunyai
makna yang berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam perspektif ilmu tasawuf, dunia mimpi dikenal dengan
beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat kualitas mimpi
itu.
Istilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ru’yyah, manam,
busyra, waqi'ah, dan mukasyafah. Dalam Alquran dan hadis pun sering digunakan
istilah-istilah tersebut secara bergantian.
Kalangan ulama tasawuf membedakannya dalam tiga kategori.
Pertama hilm, ru'yah, dan manam. Kedua, waqi'ah. Ketiga, mukasyafah.
Hilm, ru'yah, dan manam,
ketiganya berarti mimpi dan sering digunakan secara bergantian dalam
Alquran. Hilm lebih sering digunakan dalam konteks mimpi yang dihubungkan
dengan persoalan biologis. Kata hilm secara literal berarti mengisi, bermimpi,
mencapai usia dewasa. Kata hilm ini lebih populer di kitab-kitab fikih.
Ini karena di sana hilm diartikan sebagai anak laki-laki
yang sudah mencapai usia akil balig yang ditandai dengan pengalaman “mimpi
basah”, yakni bermimpi dengan sesuatu yang menyebabkan keluarnya sperma.
Mimpi seperti ini menjadi kriteria seorang anak laki-laki
disebut mukalaf, orang yang sudah memenuhi syarat dan dipandang cakap dan
cerdas menjalankan perbuatan hukum. Baik hukum ibadah mahdlah maupun
hukum-hukum keperdataan (muamalat), seperti bertransaksi dan menjadi saksi.
Bagi anak perempuan, indikasinya ialah menstruasi (haid).
Contoh penggunaan kata hilm dalam arti ini, "Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu
miliki, dan orang-orang yang belum sampai usia balig di antara kamu, meminta
izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat Subuh,
ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah shalat
Isya.”
“ (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan
tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu,
sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan, Allah Mahamengetahui lagi Mahanijaksana.”
(QS an-Nuur [4]: 58).
Ru'yah
Ru’yah berasal dari kata ra`a berarti melihat, bermimpi,
mengerti. Dari akar kata ini lahir kata ru'yah atau ru'yayah berarti mimpi.
Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru'yah umumnya mempunyai
makna yang berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan kata
hilm yang lebih berdampak pada pribadi.
Kata ara atau ru'yah dalam arti mimpi diungkapkan Alquran
beberapa kali. Seperti dalam ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, 'Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!'
Ia menjawab, 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar'." (QS as-Shaffaat [37]: 102).
Dalam ayat lain juga disebutkan, “(Ingatlah), ketika Yusuf
berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat 11
bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku.'
Ayahnya berkata, 'Hai anakku, janganlah kamu ceritakan
mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia'." (QS Yusuf [12]: 4-5).
Kata inni ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi) dalam
kedua ayat tersebut di atas ialah mimpi yang sering dialami oleh para nabi atau
pembesar yang memiliki dampak lebih luas di dalam masyarakat.
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya),
'Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum)
yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.”
“Hai orang-orang yang terkemuka, terangkanlah kepadaku
tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi.”
“Mereka menjawab, ‘(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan
kami sekali-kali tidak tahu menakbirkan mimpi itu. Dan berkatalah orang yang
selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa
waktu lamanya,
'Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai)
menakbirkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)'. (Setelah pelayan itu
berjumpa dengan Yusuf dia berseru),
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada
kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar
mereka mengetahuinya.”
“Yusuf berkata, ‘Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)
sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya
kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian akan datang tujuh tahun yang amat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun
sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan’.” (QS Yusuf:
43-48).
Kisah Nabi Yusuf di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa
ada kualitas mimpi yang mampu memberikan solusi terhadap problem sosial
kemasyarakatan.
Seorang yang dekat dengan Tuhan akan mendapatkan petunjuk
tidak hanya ketika ia sedang terjaga, tetapi juga ketika sedang tidur. Termasuk
juga ia mampu menafsirkan mimpi orang lain yang berdampak pada kemaslahatan
umat manusia.
Mimpi yang terungkap dalam diri seorang nabi diyakini mutlak
kebenarannya dan mimpi itu dapat disebut bentuk lain dari wahyu.
Dalam perspektif ilmu tasawuf, dunia mimpi dikenal dengan
beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat kualitas
mimpi.
Istilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ruy’yah, manam,
busyra, waqi’ah, dan mukasyafah.
Dalam Alquran dan hadis pun sering digunakan istilah-istilah
ini secara bergantian. Kalangan ulama tasawuf membedakannya menjadi tiga
kategori. Pertama, hilm, ruy’yah, dan manam. Kedua, waqi’ah dan ketiga mukasyafah.
Pada edisi sebelumnya, telah dikupas pengertian hilm dan
ruy’yah. Sedangkan, manamat merupakan bentuk jamak dari manam, berasal dari
akar kata nama-yanam, berarti tidur atau mengantuk, kemudian membentuk kata
manam berarti mimpi.
Kata manam dan ruy’yah dapat disamakan pengertiannya. Dan,
Alquran juga secara bergantian menggunakan istilah ruy’yah dan manam.
Bahkan, terkadang keduanya disandingkan untuk mengungkapkan
pengalaman spiritual dalam bentuk mimpi sebagai sumber petunjuk.
Seperti, di dalam ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!’
“Ia menjawab, ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.” (QS ash-Shaffat [37]:102).
Kata ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi) boleh jadi
saling memperkuat satu sama lain (muqayyad) untuk meyakinkan bahwa apa yang
dilihat dalam mimpi itu benar-benar adanya.
Hal ini wajar digunakan Tuhan karena terkait dengan nyawa
seseorang, yaitu nyawa bagi anak semata wayang (Ismail) yang sudah lama
didambakan nabi Ibrahim.
Ayat ini kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah
kurban setiap tahun bagi mereka yang memiliki kemampuan.
Sedangkan, busyra berasal dari akar kata basyara-yabsyuru
berarti mengupas, memotong, memperhatikan. Dari akar kata ini lahir kata busyra
yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai mimpi.
Sebagaimana dalam suatu riwayat yang berkenaan dengan ayat,
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan)
di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang
demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus [10]: 64).
Selain itu, Abu Darda bertanya kepada Nabi tentang arti ayat
ini. Lalu, dijawab oleh Nabi, “Belum pernah ada yang menanyakan kepadaku
tentang ayat itu sebelum dirimu. Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang
dilihat oleh orang yang diperlihatkan kepadanya.”
Mimpi yang terungkap dalam diri seorang nabi diyakini mutlak
kebenarannya dan mimpi itu dapat disebut bentuk lain dari wahyu.
Mimpi yang muncul dari orang yang bukan nabi atau rasul,
sungguh pun itu dari seorang wali, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah atau
dasar hukum yang dapat dipedomani secara kolektif.
Namun, mimpi yang lahir dari para wali atau salik, inilah
nanti yang kita sebut sebagai waqiah dan atau mukasyafah, yang akan diuraikan
dalam artikel mendatang.
Mimpi dalam arti al-hilm lebih merupakan fenomena
psikobiologis.
Pemandangan yang dilihat seseorang dalam tidurnya lebih merupakan endapan
memori yang berkelanjutan di dalam diri seseorang sehingga di dalam tidur pun
tetap berproses.
Mungkin, masa pubertas yang dialami seorang anak yang berada dalam tahap
menjelang remaja (talent stage), yakni seorang anak mulai merasakan adanya
misteri yang berhubungan dengan alat kelaminnya sehingga dibawa dalam mimpi.
Dia merasakan sesuatu yang amat khas di dalam dirinya dan menyebabkan
spermanya keluar. Sesungguhnya anak yang seperti ini berada pada awal
kematangan seksual secara biologis.
Mungkin, ini sebabnya mengapa Rasulullah SAW
menjadikan momentum “mimpi basah” ini sebagai faktor pembeda antara anak yang
belum balig dan yang sudah balig bagi anak laki-laki. Dan, momentum menstruasi
awal bagi perempuan.
Mimpi basah dan menstruasi menjadikan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai
mukallaf, yaitu orang yang sudah dianggap mampu mengembangkan tugas-tugas
syariat. Karena itu, berdosa bagi mereka kalau meninggalkan kewajiban dan
ketentuan syariat lainnya.
Mimpi, seperti yang digambarkan di atas, lebih merupakan fenomena biologis.
Sedangkan, yang berkaitan dengan ketajaman mata spiritual ialah mimpi yang
lebih merupakan reaksi dari fenomena keadaan spiritual seseorang.
Mimpi biasa tidak perlu latihan (exercise), tetapi penajaman mata batin. Di
antaranya, melahirkan mimpi sebagai salah satu media bashirah. Inilah yang
memerlukan upaya dan latihan, sebagaimana akan diuraikan dalam artikel
mendatang.
Nassarudin Umar