Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

E-BOOK MOTIVASI ISLAM


Ada 20 Buku-Buku E-Book Motivasi Islam yang perlu anda pelajari untuk menambah wawasan. Dan dapat diunduh secara gratis dengan klik judul berikut
1.       17 Kisah Penuh Hikmah
2.       30 Rahasia Wanita
6.       4-racun-hati
Semoga bermanfaat
Jangan lupa untuk terus mengikuti blog ini untuk dapat informasi terbaru
Tinggalkan komentar untuk perbaikan blog ini


Do’a Lelaki Buta



Namanya Abdullah, putra Qais ibn Zaid, paman Khadijah, istri Nabi SAW. Ibunya bernama Atiqah binti Abdullah. Karena Abdullah, putra yang buta sejak lahir, ibunya dijuluki Ummu Maktum. Abdullah lebih dikenal dengan nasab ibunya dibanding bapaknya. Jadi, namanya Abdullah ibn Ummi Maktum.

Siapa pun yang membaca asababun nuzul surah Abasa pasti kenal dengan Abdullah ibn Ummi Maktum. Empat belas ayat diturunkan kepada Rasulullah SAW dan dibaca terus sampai hari Kiamat datang.

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.  Karena, telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya…

Nabi ditegur langsung oleh Allah SWT karena mengabaikan Abdullah ibn Ummi Maktum yang datang memotong pembicaraan Rasulullah SAW dengan Utbah ibn Rabiah, Syaibah ibn Rabiah, Amr ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, dan Walid ibn Mughirah.

Nabi sangat berharap para pemuka Quraisy itu masuk Islam. Tetapi, pembicaraannya terpotong oleh kedatangan Ibn Ummi Maktum, yang karena tidak dapat melihat tidak mengetahui situasi Nabi.

Setelah peristiwa itu, Nabi sangat menghormati Ibn Ummi Maktum. Tatkala sudah di Madinah, Nabi menunjuk Ibn Ummi Maktum menjadi muazin berdua dengan Bilal ibn Rabbah.

Pada Ramadhan, Bilal mengumandangkan azan pertama membangunkan kaum Muslimin untuk makan sahur dan Ibn Ummi Maktum pada azan kedua memberitahukan bahwa fajar sudah menyingsing, tanda puasa hari itu sudah dimulai.

Abdullah ibn Ummi Maktum sangat gembira dan bahagia menjalankan tugas sebagai muazin. Namun, yang membuat dia sedih adalah setelah datang seruan untuk jihad fisabilillah, dia tidak dapat berangkat karena buta. Apalagi setelah Perang Badar, turun ayat yang memuji orang-orang yang pergi berperang.

Suatu hari dia berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, seandainya saya tidak buta tentu saya pergi berperang.” Sejak itu, dia selalu memohon kepada Allah agar menurunkan ayat mengenai orang-orang yang uzur seperti dirinya.

Allah mengabulkan doanya dengan menurunkan surah an-Nisa ayat 95, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.


Walaupun permohonannya sudah dikabulkan Allah dengan mengecualikan orang-orang yang uzur seperti dirinya, Abdullah ibn Ummi Maktum tetap tidak puas.

Dia tetap ingin pergi berperang. Keinginannya baru terkabul pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Di bawah panglima Saad ibn Abi Waqqash, dia ikut dalam Perang Qadisiyah menaklukkan Persia.

Tugasnya hanya memegang bendera Islam dan berdiri di tengah-tengah pasukan. Dia pun gugur dalam perang tersebut. Itulah Abdullah ibn Ummi Maktum. Sekalipun buta tetapi mempunyai kemauan yang sangat keras.

Yunahar Ilyas

Biar Saya Yang Bayar



Setelah selesai shalat 'Isya dan sunnah ba'diyah, sebagian besar jamaah Masjidil Haram berbondong-bondong ke luar. Ada yang langsung pulang ke pondokan dan ada juga yang mampir dulu di pusat-pusat perbelanjaan di sekitar masjid.

Pengunjung  pusat-pusat perbelanjaan masih tetap ramai, walaupun sebagian jamaah haji sudah pergi meninggalkan Makkah, pulang ke Tanah Air masing-masing atau ziarah ke Madinah.
   
Di antara kerumuman para pembeli di salah satu pusat perbelanjaan itu terdapat Pak Muhsin dari Indonesia. Dia sudah beberapa kali membolak balik sebuah sajadah buatan Suriah.

Dia sangat menyenanginya, tetapi sayang uangnya tidak cukup. Ini malam terakhir dia di Makkah, karena besok siang kloternya akan ke Jeddah untuk selanjutnya terbang kembali ke Tanah Air.

Sajadah buatan Suriah itu sangat bagus, tetapi sayang sekali uangnya tidak cukup. Dengan berat hati dia pergi meninggalkan toko sajadah itu.

Walaupun Pak Muhsin sudah menjauh dari toko tersebut, tetapi pikirannya kembali melayang ke sana.  Setelah memutari lantai dasar pusat perbelanjaan itu satu putaran, langkah kakinya kembali menuju toko sajadah itu.

Tangannya kembali memegangi sajadah itu sambil memegang uangnya yang tidak cukup itu. Tanpa disadarinya seorang Arab yang juga sedang memilih-milih sajadah di toko itu memperhatikannya.

Begitu sajadah itu dia letakkan, tiba-tiba saja orang Arab itu mengambil sajadah pilihan Pak Muhsin, lalu membayarnya dan  menyerahkannya kepada Pak Muhsin sambil berkata: "Hadiah, hadiah…tafadhdhal!". Pak Muhsin sangat senang sekaligus terharu.
   
Sampai di Tanah Air, peristiwa itu selalu dia kenang, apalagi setiap dia melihat sajadah hadiah dari orang Arab yang tidak dia kenal itu. Dia ingin melakukan hal yang sama.

Dia ingin membahagiakan orang-orang yang sangat menginginkan suatu barang, tetapi tidak sanggup membayarnya. Tentu saja bukan barang-barang yang mahal harganya.
    
Demikianlah, pada suatu hari,  setelah melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah di sebuah masjid, dia mampir ke toko buku kecil di samping masjid langganannya.

Pada saat dia sedang melihat-lihat buku tentang Islam terbitan terbaru, tiba-tiba matanya tertuju kepada seorang paroh baya yang sedang memegang-megang sebuah buku tanya jawab agama. Buku itu semua enam jilid.
"Pak, apakah nanti ba'da Maghrib masih buka?" tanyanya kepada penjual buku. Penjual buku menjelaskan pukul 16.00 tokonya akan tutup.

"Bapak kembali besok pagi saja." Kata penjual buku itu. "Wah sayang sekali besok pagi saya sudah kembali ke daerah", kata calon pembeli buku itu sambil beranjak pergi pelan-pelan.
   
Pak Muhsin kembali ingat peristiwa di Mekkah tempo hari. Segera saja dia bilang sama penjual buku: "Panggil Bapak itu kembali, dan serahkan buku itu sebagai hadiah. Biar saya yang bayar".

Bapak dari daerah itu kaget dan senang, tidak dia duga ada yang berbaik hati mau membayarkan  enam jilid buku yang diinginkannya. Buku tanya jawab agama ini sangat dia perlukan dalam berdakwah di daerah.
   
Pak Muhsin dapat merasakan kebahagiaan bapak yang tidak dia kenal itu, seperti kebahagiaanya waktu di Makkah dulu.


Yunahar Ilyas

Akibat Tidak Peduli Seruan Azan



Sudah setahun Anwar sekolah di kota, di sebuah madrasah tingkat Aliyah. Dia bangga sekali, karena tidak semua anak lulusan Tsanawiyah di desanya dapat melanjutkan pendidikan menengah atas di ibu kota propinsi.

Sebagian besar hanya melanjutkan sekolah di ibu kota kabupaten atau malah berhenti sekolah dan mulai bekerja di sawah atau ladang membantu orang tua yang umumnya petani.
   
Liburan setelah ujian smester dua kali ini dia manfaatkan untuk pulang ke desa berkumpul dengan teman-teman sebaya.

Berbagai macam agenda sudah tersusun di kepalanya, salah satunya yang paling menarik adalah makan bersama dengan teman-teman sebaya.

Mereka iyuran membeli bahan-bahan masakan yang diperlukan, bisa berupa uang atau bahan mentahnya langsung. Mereka akan masak sendiri, dengan kemampuan sekadarnya, yang penting tidak asin.

Bekal ilmu memasaknya paling-paling dari sekali-sekali memperhatikan ibu atau kakak perempuannya memasak di dapur.

Membayangkan acara makan bersama itu, Anwar tidak sabar segera sampai di desa. Perjalanan 60 km dengan mobil dirasakannya terlalu lama.
   
Pada hari H, sepuluh anak remaja sudah berkumpul di bawah sebuah pohon, tidak jauh dari pinggir sungai. Itulah tempat favorit mereka.

Pada saat azan Zhuhur berkumandang, mereka tengah sibuk-sibuknya memasak sambil bercanda penuh tawa. Sebenarnya Anwar ingin segera ke masjid melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah seperti yang sudah biasa dilakukannya sejak kecil.

Ayahnya selalu membimbingnya shalat berjamaah ke masjid. Sejak sekolah dasar sampai tamat Tsanawiyah dia sudah terbiasa shalat di masjid. Sebenarnya motif utamanya shalat berjamaah di masjid adalah karena takut ayahnya.
 
Kalau ketahuan tidak shalat di masjid, ayahnya pasti marah besar. Ingat ayahnya, Anwar ingin segera shalat ke masjid meninggalkan teman-temannya. Tetapi dia merasa tidak enak, apalagi masakan hampir matang.
   
Sedang bimbang begitu, ayahnya lewat menuju masjid dan mengingatkan Anwar untuk segera ke masjid. Dia mengangguk, tetapi tidak melaksanakannya.

Begitu ayahnya kembali dari masjid dan melihat Anwar masih  bersama teman-temannya di bawah pohon, beliau marah dan segera memanggil puteranya dengan suara keras: "War, apabila acaramu selesai, segera ke rumah!"

Untunglah ayahnya masih memberinya kesempatan menikmati hidangan yang sudah mereka siapkan susah payah. Tetapi hati Anwar sudah tidak tenang, ayahnya pasti marah besar. Dia siap menerima hukuman yang akan diberikan.
   
Setelah benar-benar menerima hukuman, Anwar kaget bukan kepalang. Hukumannya benar-benar di luar dugaannya. Dengan tenang ayahnya memutuskan: "Anwar, kamu tidak boleh kembali ke kota. Kamu harus berhenti sekolah. Tinggal saja di desa bertani, lalu menikah!''

''Tidak ada gunanya kamu sekolah tinggi di kota, kalau hasilnya kamu mengabaikan panggilan azan. Ayah tidak ingin kamu sekolah tinggi tetapi tidak peduli dengan panggilan shalat. Baru setahun kamu di kota, kamu sudah berani meninggalkan shalat berjamaah di masjid."
   
Anwar tahu watak bapaknya. Jika sudah memutuskan sesuatu, sukar untuk mengubahnya. Dia minta maaf sambil menangis, tetapi keputusan tetap tidak berubah.

Liburan sekolah sudah habis seminggu yang lalu, tetapi dia belum juga diberi izin kembali ke kota. Anwar betul-betul sangat menyesal telah mengabaikan panggilan shalat Zhuhur di masjid. Walaupun sebenarnya, baru sekali itu dia lakukan. Tapi penyesalan tidak ada gunanya.
   
Untunglah kemudian, pamannya membantu membujuk ayahnya dan menjamin pelanggaran itu tidak akan terulang kembali. Akhirnya ayahnya membolehkannya kembali sekolah ke kota atas jaminan pamannya itu.


Yunahar llyas

Didikan Ayah



Malam itu, sambil bersilaturahim Lebaran, teman saya dengan bersemangat bercerita tentang masa kecil dan remaja di kampung halamannya. Yang paling dia kenang adalah betapa kerasnya sang ayah mendidiknya membaca Alquran.

Pada mulanya dia belajar membaca Alquran di mushala, tetapi setelah beberapa bulan tidak ada kemajuan yang berarti ayahnya memutuskan untuk mengajarnya sendiri.

"Kelas tiga sekolah dasar saya sudah khatam Alquran tiga kali," kata teman saya mengenang. Terlihat dari wajahnya ada sedikit kebanggaan menyampaikan itu. "Dan setiap kali membaca Alquran selalu menangis," sambungnya.

Masya Allah, gumam saya dalam hati. Saya kagum, kecil-kecil sudah menitikkan air mata tatkala membaca ayat-ayat suci yang memang sangat indah itu.
 
Kita saja orang dewasa tidak mudah untuk menitikkan air mata ketika membaca firman Allah tersebut. Saya tidak tanya mengapa dia bisa menangis, apakah dia sudah bisa menghayati apa yang dibaca.

Seperti mengerti apa yang saya pikirkan, teman saya melanjutkan, "Setiap membaca Alquran, hampir dipastikan empu jari dan telunjuk ayah pasti mendarat di paha. Salah sedikit saja makhraj, apalagi tajwidnya, empu dan telunjuk jari ayah langsung beraksi. Paha saya dipilin tanpa ampun."

Walaupun sudah berlalu hampir setengah abad yang lalu, sepertinya teman saya itu masih merasakan sakitnya dipilin pahanya oleh sang ayah. Tetapi, dia mengenang rasa sakit itu bukan dengan dendam atau paling kurang sesal, tetapi justru dengan rasa syukur yang tinggi.

Setelah meneguk sedikit air mineral yang disuguhkan, teman saya melanjutkan kenangannya. "Saya sungguh beruntung dididik membaca Alquran dengan keras oleh ayah. Mulai dari mengeja alif- ba- ta sampai seni membaca Alquran."

Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan kembali ungkapan syukurnya. "Saya tidak pernah membayangkan, kemampuan membaca Alquran itulah yang menolong saya bertahan hidup di Yogya dan dapat menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri."

Ayahnya hanya seorang petani desa yang harus membanting tulang untuk menghidup istri dan anak-anaknya. Ditinjau dari segi ekonomi, sebenarnya sang ayah tidak sanggup membiayai anaknya kuliah sampai ke Pulau Jawa.

Tetapi, karena anaknya punya tekad yang sangat kuat, akhirnya dia izinkan. Teman saya hanya perlu restu dan ongkos untuk sampai Yogya.

Teman saya bertekad akan mencoba hidup mandiri di kota pelajar itu. Bagaimana caranya? Dia juga tidak tahu. Yang penting bismillah, tawakkal 'alallah.
Belum sampai seminggu di Yogya, dia menghadiri sebuah pengajian. Seperti biasa, sebelum pengajian inti dimulai, dibacakan dulu ayat-ayat suci Alquran.

Sayangnya qari' yang direncanakan belum juga datang.  Seorang bapak memintanya menggantikan membaca Alquran. Dengan segala senang hati dia penuhi permintaan mulia itu.

Setelah selesai pengajian, bapak tadi menghampirinya dan memperkenalkan diri. Ternyata dia seorang kepala sekolah dasar. Di luar dugaan, bapak itu memintanya mengajar membaca Alquran kepada murid-murid kelas lima dan enam.

Dari honor mengajar Alquran itu kemudian dia dapat menghidupi dirinya sehari-hari. Dari mengajar di sekolah itu juga, dia diminta oleh orang tua murid untuk mengajar anaknya privat di rumah.

Melalui wali murid itu, dia diminta lagi mengajar anak yang lain. Dia dapat lagi pendapatan yang lumayan. Begitulah enam bulan setelah berada di Yogya dia mendaftar kuliah dan membiayai kuliahnya dengan honor mengajar Alquran.
Itulah yang sangat dia syukuri. Kemampuan membaca Alquran telah memberikan berkah kepadanya. Dia yakin, waktu itu tentu ayahnya sama sekali tidak mengharapkan anaknya mampu menghidupi diri sendiri dengan membaca  Alquran.
Yang ada dalam pikiran ayahnya cuma satu, sebagai orang tua, dia wajib mendidik anaknya agar bisa membaca kitab suci yang diimani dan dimuliakannya dengan sepenuh hati.


Yunahar Ilyas

Jalan Hidup Salikin: Dunia Mimpi



Hilm, Ru’yah, dan Manam
Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru'yah umumnya mempunyai makna yang berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam perspektif ilmu tasawuf, dunia mimpi dikenal dengan beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat kualitas mimpi itu.

Istilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ru’yyah, manam, busyra, waqi'ah, dan mukasyafah. Dalam Alquran dan hadis pun sering digunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian.

Kalangan ulama tasawuf membedakannya dalam tiga kategori. Pertama hilm, ru'yah, dan manam. Kedua, waqi'ah. Ketiga, mukasyafah.

Hilm, ru'yah, dan manam,  ketiganya berarti mimpi dan sering digunakan secara bergantian dalam Alquran. Hilm lebih sering digunakan dalam konteks mimpi yang dihubungkan dengan persoalan biologis. Kata hilm secara literal berarti mengisi, bermimpi, mencapai usia dewasa. Kata hilm ini lebih populer di kitab-kitab fikih.

Ini karena di sana hilm diartikan sebagai anak laki-laki yang sudah mencapai usia akil balig yang ditandai dengan pengalaman “mimpi basah”, yakni bermimpi dengan sesuatu yang menyebabkan keluarnya sperma.

Mimpi seperti ini menjadi kriteria seorang anak laki-laki disebut mukalaf, orang yang sudah memenuhi syarat dan dipandang cakap dan cerdas menjalankan perbuatan hukum. Baik hukum ibadah mahdlah maupun hukum-hukum keperdataan (muamalat), seperti bertransaksi dan menjadi saksi. Bagi anak perempuan, indikasinya ialah menstruasi (haid).

Contoh penggunaan kata hilm dalam arti ini, "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum sampai usia balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah shalat Isya.”

“ (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan, Allah Mahamengetahui lagi Mahanijaksana.” (QS an-Nuur [4]: 58).


Ru'yah
Ru’yah berasal dari kata ra`a berarti melihat, bermimpi, mengerti. Dari akar kata ini lahir kata ru'yah atau ru'yayah berarti mimpi.

Mimpi yang diungkapkan dengan kata ru'yah umumnya mempunyai makna yang berdampak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan kata hilm yang lebih berdampak pada pribadi.

Kata ara atau ru'yah dalam arti mimpi diungkapkan Alquran beberapa kali. Seperti dalam ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, 'Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!'

Ia menjawab, 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar'." (QS as-Shaffaat [37]: 102).

Dalam ayat lain juga disebutkan, “(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, 'Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat 11 bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku.'

Ayahnya berkata, 'Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia'." (QS Yusuf [12]: 4-5).

Kata inni ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi) dalam kedua ayat tersebut di atas ialah mimpi yang sering dialami oleh para nabi atau pembesar yang memiliki dampak lebih luas di dalam masyarakat.

 “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya), 'Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.”


“Hai orang-orang yang terkemuka, terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi.”

“Mereka menjawab, ‘(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menakbirkan mimpi itu. Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya,

'Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menakbirkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)'. (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru),

“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.”

“Yusuf berkata, ‘Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan’.” (QS Yusuf: 43-48).

Kisah Nabi Yusuf di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa ada kualitas mimpi yang mampu memberikan solusi terhadap problem sosial kemasyarakatan.

Seorang yang dekat dengan Tuhan akan mendapatkan petunjuk tidak hanya ketika ia sedang terjaga, tetapi juga ketika sedang tidur. Termasuk juga ia mampu menafsirkan mimpi orang lain yang berdampak pada kemaslahatan umat manusia.



Mimpi yang terungkap dalam diri seorang nabi diyakini mutlak kebenarannya dan mimpi itu dapat disebut bentuk lain dari wahyu.

Dalam perspektif ilmu tasawuf, dunia mimpi dikenal dengan beberapa istilah. Istilah itu disesuaikan dengan sifat dan tingkat kualitas mimpi.

Istilah-istilah tersebut, antara lain, hilm, ruy’yah, manam, busyra, waqi’ah, dan mukasyafah.

Dalam Alquran dan hadis pun sering digunakan istilah-istilah ini secara bergantian. Kalangan ulama tasawuf membedakannya menjadi tiga kategori. Pertama, hilm, ruy’yah, dan manam. Kedua,  waqi’ah dan ketiga mukasyafah.

Pada edisi sebelumnya, telah dikupas pengertian hilm dan ruy’yah. Sedangkan, manamat merupakan bentuk jamak dari manam, berasal dari akar kata nama-yanam, berarti tidur atau mengantuk, kemudian membentuk kata manam berarti mimpi.

Kata manam dan ruy’yah dapat disamakan pengertiannya. Dan, Alquran juga secara bergantian menggunakan istilah ruy’yah dan manam.

Bahkan, terkadang keduanya disandingkan untuk mengungkapkan pengalaman spiritual dalam bentuk mimpi sebagai sumber petunjuk.

Seperti, di dalam ayat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’

“Ia menjawab, ‘Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS ash-Shaffat [37]:102).

Kata ara fi al-manam (aku melihat dalam mimpi) boleh jadi saling memperkuat satu sama lain (muqayyad) untuk meyakinkan bahwa apa yang dilihat dalam mimpi itu benar-benar adanya.

Hal ini wajar digunakan Tuhan karena terkait dengan nyawa seseorang, yaitu nyawa bagi anak semata wayang (Ismail) yang sudah lama didambakan nabi Ibrahim.

Ayat ini kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah kurban setiap tahun bagi mereka yang memiliki kemampuan.

Sedangkan, busyra berasal dari akar kata basyara-yabsyuru berarti mengupas, memotong, memperhatikan. Dari akar kata ini lahir kata busyra yang dijelaskan Rasulullah SAW sebagai mimpi.

Sebagaimana dalam suatu riwayat yang berkenaan dengan ayat, “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus [10]: 64).

Selain itu, Abu Darda bertanya kepada Nabi tentang arti ayat ini. Lalu, dijawab oleh Nabi, “Belum pernah ada yang menanyakan kepadaku tentang ayat itu sebelum dirimu. Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat oleh orang yang diperlihatkan kepadanya.”

Mimpi yang terungkap dalam diri seorang nabi diyakini mutlak kebenarannya dan mimpi itu dapat disebut bentuk lain dari wahyu.

Mimpi yang muncul dari orang yang bukan nabi atau rasul, sungguh pun itu dari seorang wali, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah atau dasar hukum yang dapat dipedomani secara kolektif.

Namun, mimpi yang lahir dari para wali atau salik, inilah nanti yang kita sebut sebagai waqiah dan atau mukasyafah, yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Mimpi dalam arti al-hilm lebih merupakan fenomena psikobiologis.

Pemandangan yang dilihat seseorang dalam tidurnya lebih merupakan endapan memori yang berkelanjutan di dalam diri seseorang sehingga di dalam tidur pun tetap berproses.

Mungkin, masa pubertas yang dialami seorang anak yang berada dalam tahap menjelang remaja (talent stage), yakni seorang anak mulai merasakan adanya misteri yang berhubungan dengan alat kelaminnya sehingga dibawa dalam mimpi.

Dia merasakan sesuatu yang amat khas di dalam dirinya dan  menyebabkan spermanya keluar. Sesungguhnya anak yang seperti ini berada pada awal kematangan seksual secara biologis.
Mungkin, ini sebabnya mengapa Rasulullah SAW menjadikan momentum “mimpi basah” ini sebagai faktor pembeda antara anak yang belum balig dan yang sudah balig bagi anak laki-laki. Dan, momentum menstruasi awal bagi perempuan.

Mimpi basah dan menstruasi menjadikan anak laki-laki dan anak perempuan sebagai mukallaf, yaitu orang yang sudah dianggap mampu mengembangkan tugas-tugas syariat. Karena itu, berdosa bagi mereka kalau meninggalkan kewajiban dan ketentuan syariat lainnya.

Mimpi, seperti yang digambarkan di atas, lebih merupakan fenomena biologis. Sedangkan, yang berkaitan dengan ketajaman mata spiritual ialah mimpi yang lebih merupakan reaksi dari fenomena keadaan spiritual seseorang.

Mimpi biasa tidak perlu latihan (exercise), tetapi penajaman mata batin. Di antaranya, melahirkan mimpi sebagai salah satu media bashirah. Inilah yang memerlukan upaya dan latihan, sebagaimana akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Nassarudin Umar

Memahami Makna Al-Qur’an Lailatul Qadar



Ada isyarat dalam Alquran yang menekankan Jibril menyampaikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.  (QS al-Qadr [97]:1-5).

Redaksi yang digunakan surah al-Qadr ini menarik untuk dikaji. Pertama, yang perlu diperhatikan, mengapa menggunakan kata ganti (dhamir) “hu” yang kemudian para ulama tafsir memaknainya dengan Alquran dan ada juga dengan Jibril.

Lalu, mengapa menekankan al-qadr, bukan lailat al-qadha’? Mengapa penekanan pada malam (lailat al-qadr), bukan nahar al-qadr, bukankah justru di siang hari kita menunaikan puasa, salah satu rukun Islam? Apa sesungguhnya makna lailat menurut bahasa, jumhur ulama, dan kalangan sufi?
  
Kalangan ulama tafsir mengatakan bahwa yang turun pada malam Lailatul Qadar (LQ) ialah turunnya Alquran ke langit bumi secara sekaligus (al-inzal), kemudian turun berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan jibril.

Ketika wahyu Alquran masih menjadi Kalam an-Nafs atau  Kalam adz-Dzati, belum disebut Alquran. Nanti disebut Alquran ketika sudah ditransformasikan menjadi Kalam al-Lafdz, ketika sudah menggunakan huruf-huruf dan tanda baca yang berbahasa Arab. Saat masih dalam bentuk Kalam Nafs, tak seorang pun tahu wujudnya seperti apa dan menggunakan bahasa apa.

Dari Kalam an-Nafs ada yang pernah ditransformasi menjadi Taurat dengan menggunakan bahasa Hebrew (Ibrani) karena dialamatkan kepada Nabi Musa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Hebrew.

Ada juga ditransformasikan ke bentuk Injil dengan menggunakan bahasa Suryani karena dialamatkan kepada Nabi Isa yang sehari-harinya menggunakan bahasa Suryani. Ketika ditransformasikan menjadi Alquran yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad, otomatis menggunakan bahasa Arab karena bahasa sehari-hari Nabi Muhammad adalah bahasa Arab.

Pertanyaanlebih lanjut, siapa yang “menghewbrewkan” Taurat atau “menyuryanikan” Injil dan “mengarabkan”Alquran? Apakah kitab-kitab tersebut sejak dari dulu menggunakan deretan bahasa itu atau Jibril yang berperan mengartikulasikannya kepada nabi-nabi tersebut sesuai dengan bahasanya masing-masing. Atau, Nabi yang menerima wahyu itu yang mengartikulasikannya ke dalam bahasa kaumnya. Kita belum mendapatkan informasi yang jelas tentang hal ini.

Ada isyarat dalam Alquran yang menekankan Jibril menyampaikan Alquran dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas.

“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS asy-Syura [26]:192-195).
  
Sedangkan, ayat lain mengisyaratkan Alquran sejak zaman azalinya sudah menggunakan bahasa Arab, sebagaimana dipahami di ayat berikut. “Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS Yusuf [12]:1-2).
  
Dalam ayat lain Allah SWT mengisyaratkan Alquran turun dengan menggunakan cita-rasa Arab (lisanan ‘arabiyyan). “Dan sebelum Alquran itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Alquran) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang lalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Ahqaf [46]:12).

Antara kata “qur’anan ‘arabiyyan” (Alquran  yang berbahasa Arab) dan “lisanan ‘arabiyyan” (Alquran  yang bercita rasa Arab) aksentuasinya berbeda. Yang pertama lebih menekankan Alquran menggunakan bahasa Arab secara ketat dan yang kedua menekankan Alquran menggunakan cita rasa Arab.

Namun, ada satu hadis dari Aisyah menerangkan bahwa wahyu yang paling berat diterima Nabi Muhammad ialah yang turun dalam bentuk bunyi lonceng. Kadang-kadang Nabi berkeringat di musim dingin. Begitu beratnya menerjemahkan suara bunyi lonceng itu ke dalam bahasa Alquran sebagaimana adanya sekarang. Hadis ini bisa dipahami seolah-olah yang membahasaarabkan Alquran ialah Nabi Muhammad Saw. Allahu a’lam.(bersambung)


Nassarudin Umar

Strategi Memerangi Kemunkaran





Islam menjadikan "amar makruf nahi munkar" sebagai kewajiban dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing. Bahkan kedua spirit tersebut menjadi  asas keutamaan, sumber kebaikan dan ciri khusus umat Islam yang membedakannya dari umat manusia lainnya.

Allah SWT berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Dalam kaitannya dengan amar makruf (menyuruh kepada kebaikan), hampir semua kalangan mengetahui strategi dan prinsip yang harus diterapkan. Diantaranya metode penyampaian yang baik, tidak menyakiti pihak lain, menjauhkan diri dari isu SARA, dan melakukan perdebatan dengan kepala dingin (QS. An-Nahl: 125).

Namun, dalam kaitannya dengan nahi munkar (mencegah kemunkaran) tidak semua kalangan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan. Padahal, pemenuhan syarat-syarat tersebut berkaitan erat dengan hasil yang akan di dapat, khususnya agar tindakan mencegah kemunkaran tidak melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar, tidak menimbulkan tindakan balas dendam, dan tidak dikecam pihak lain karena dipandang sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar kuat (illegal).

Dr Yusuf Al-Qardhawi mensyaratkan beberapa hal dalam pelaksanaan nahi munkar sebagaimana tersebut dalam hadis shahih riwayat Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah merubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Yang terakhir itu adalah iman yang paling lemah."

Pertama, hendaknya kemunkaran tersebut disepakati kemunkarannya. Artinya kemunkaran yang diperangi masuk dalam kategori perbuatan haram, bukan makruh atau meninggalkan yang sunah atau mustahab.

Kedua, hendaknya kemunkaran tersebut nyata dan kasat mata. Adapun seandainya kemunkaran tersebut tersembunyi dari pandangan manusia, maka dilarang memata-matainya dengan berbagai alat dan perangkat apa pun, karena Islam hanya membolehkan pemberian sanksi terhadap munculnya kemunkaran yang nyata dan kasat mata, bukan yang tersembunyi.

Ketiga, memiliki kekuatan yang diyakini dapat membasmi kemunkaran dengan mudah dan elegan. Kekuatan di sini berarti fisik dan nonfisik serta berwenang atau memiliki otoritas dalam melakukan tindakan memerangi kemunkaran.

Keempat, tidak ada kekhawatiran bahwa kemunkaran yang diperangi akan melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar sehingga menyebabkan fitnah, pertumpahan darah, merugikan pihak lain, makin tersebarnya kemunkaran, menimbulkan kekacauan dan kerusakan di bumi.

Ibnu Qayyim meriwayatkan bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah berkata, "Pada masa pendudukan pasukan Tartar (Mongolia), aku bersama para sahabatku berjalan melewati kumpulan masyarakat yang meneguk minuman keras dengan nyata. Sebagian sahabatku mencela tindakan tersebut dan hendak melarangnya, namun aku mecegahnya kukatakan kepada mereka, ‘Sungguh, Allah SWT mengharamkan minuman keras karena ia dapat membuat orang lupa kepada Allah dan lupa shalat. Adapun pasukan Tartar itu dengan meminum khamr justru membuat mereka lupa dari membunuh manusia, menawan orang dan merampas harta. Maka biarkanlah mereka’."

Demikian penting landasan ilmu pengetahuan dalam "amar makruf nahi munkar" sehingga tindakan mulia tersebut tidak semata-mata bertumpu pada hasil, melainkan juga bertumpu pada kemaslahatan yang lebih besar dan tidak munculnya kemunkaran baru yang lebih dahsyat. Wallahu a'lam.


Muhammad Hariyadi

Shalat Arbain di Masjid Nabawi



Shalat arbain (40 kali) di Masjid Nabawi merupakan salah satu kegiatan yang ditradisikan oleh sebagian besar umat Islam di dunia.

Dalam melaksanakan shalat arbain, jamaah praktis harus tinggal di Madinah minimal selama delapan hari.

Kegiatan tersebut didasarkan pada hadis riwayat Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Barang siapa shalat di masjidku (nabawi) empat puluh kali shalat yang tidak terputus, maka ia akan ditulis terbebas dari neraka, selamat dari siksa dan terbebas dari sifat munafik." (HR. Ahmad dan Tabrani).

Dalam hadis lain riwayat Anas, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa shalat empat puluh hari dengan berjamaan dan mendapati takbiratul ihramnya imam, maka ia akan ditulis terbebas dari dua perkara; bebas dari neraka dan sifat munafik." (HR. Tirmidzi).

Nasiruddin Al Al-Bani memasukkan hadis pertama dalam daftar hadis dhaif, karena hanya diriwayatkan oleh satu perawi (nabiith). Sedangkan hadis kedua dinilainya shahih.

Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz. Menurutnya, ziarah Masjid Nabawi tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apalagi adanya anggapan harus tinggal di Madinah selama delapan hari guna mengejar shalat Arbain.  Ziarah Masjid Nabawi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Ia boleh dilakukan sesaat, sehari, dua hari atau lebih dari itu.

Yang menarik adalah apa yang dilakukan oleh Dr Arif Syekh yang menggabungkan dua hadis tersebut. Ia memandang penggabungan dua hadis di atas memungkinkan karena hadis yang kedua bernilai shahih, yang substansinya menegaskan keutamaan pembiasaan diri shalat berjamaan fardu empat puluh hari di masjid manapun.

Jika masjid yang digunakan dalam shalat Arbain itu Masjid Nabawi, maka tentu keutamannya akan lebih besar, sebab dalam hadis shahih lain Rasulullah SAW bersabda, "Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali shalat dibanding masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram. Adapun shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid lainnya." (HR. Muslim).

Dari sini jelas bahwa keutamaan shalat di Masjid Nabawi sangatlah besar, namun tidak berarti lebih besar dari Masjidil Haram. Logikanya kemudian, harusnya shalat Arbain di Masjidil Haram lebih ditekankan dan ditradisikan sebab keutamaannya jauh lebih besar di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Namun kenyataannya tidak demikian, karena tidak ada bab shalat Arbain yang berkaitan dengan Masjidil Haram yang disepakati oleh ulama hadis di dalam enam kitab hadis utama (kutubus sittah).

Jika demikian adanya, maka kalau kita hendak meletakkan dan meraih keutamaan yang lebih besar, hendaknya peletakan strata prioritasnya tepat dan benar. Masjidil Haram dengan segala keutamaannya jauh lebih tepat dan benar untuk lebih banyak disinggahi dan shalat di dalamnya di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Maka, dengan tanpa menghilangkan kebiasaan kita memperbanyak shalat fardu di Masjid Nabawi, orientasi tempat ibadah kita seyogianya mulai dirubah untuk lebih banyak lagi dilakerjakan di Masjidil Haram.

Memang Masjid Nabawi memiliki kesyahduan tersendiri yang berbeda auranya dengan Masjidil Haram. Hal itu tidak kita mungkiri karena di Masjid Nabawi terdapat maqam Rasulullah SAW dan sahabat serta Raudah. Kota Madinah sendiri memiliki tekstur dan suasana kota yang terasa lebih "ramah" dan nyantai di banding Makkah.

Di dalamnya dengan puas dan lega, kita dapat menyampaikan salam kepada junjungan kita dan serasa kita berada di taman surga-Nya. Namun dalam kaitannya dengan keutamaan, harusnya kita tidak menyandarkan diri pada perasaan, melainkan pada dalil naqli Alquran dan as-Sunnah sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.


Muhammad Hariyadi

Serba-serbi Niat Puasa



Dari Umar bin Khathab RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya (sahnya) amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang (tergantung) pada apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari-Muslim).

Hadis mengenai niat ini merupakan hadis utama di antara hadis-hadis lainnya karena pentingnya posisi niat dalam melakukan suatu perbuatan agar diterima oleh Allah SWT.

Oleh karenanya, para ulama hadis meletakkan hadis ini pada permulaan kitabnya dan sebagian dari mereka menyatakan hadis ini secara substansi mengandung bobot sepertiga dari bobot hadis secara keseluruhan.

Dalam puasa Ramadhan, berniat hukumnya wajib. Tidak sah puasa seseorang jika tidak didahului atau dibarengi dengan niat. Dari Hafsah binti Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak berniat puasa (Ramadhan) sebelum terbit fajar maka ia tidak berpuasa." (HR. Bukhari Muslim).

Jumhur ulama berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan harus dilakukan setiap hari karena masing-masing hari di dalam bulan Ramadhan otonom dan berdiri sendiri-sendiri, tidak saling terkait dengan hari berikutnya. Hal tersebut karena batalnya puasa kita hari ini tidak berarti batalnya puasa esok hari atau sebelumnya.

Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat bahwa niat sekali untuk berpuasa satu bulan penuh sudah cukup, karena "setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya" (puasa sebulan penuh).

Di samping itu, karena satu bulan penuh di Ramadhan merupakan satu rangkaian ibadah puasa sehingga cukuplah satu niat yang mencakup keseluruhan sebagaimana niat haji dan shalat. Jika nanti di dalam pelaksanaannya terpaksa tidak puasa karena berhalangan, maka dengan memperbarui niat sudah dipandang cukup.

Namun demikian, Imam Malik mensunahkan pembaruan niat setiap hari, karena mempertimbangkan sunahnya mengikuti hadis dari Hafsah binti Umar bin Khathab tersebut.

Pelaksanaan niat menurut jumhur ulama harus dilakukan pada malam Ramadhan atau menjelang waktu terbitnya fajar (selesai sahur) sesuai dengan pemahaman tekstual terhadap hadis.

Hanya madzhab Hanafi yang membolehkan niat puasa Ramadhan sebelum matahari tergelincir (sebagaimana bolehnya niat puasa sunat menurut jumhur ulama) dengan mengqiaskan pada puasa sunah. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa penetapan niat puasa Ramadhan pada malam hari atau sebelum matahari terbit tetap lebih utama.

Kesimpulannya, niat puasa Ramadhan adalah wajib dan menjadi syarat sah puasa kita. Agar kita tidak lupa niat sehingga puasa kita menjadi tidak sah dalam pandangan hukum fikih, maka sebaiknya setiap orang berniat puasa penuh satu bulan, lalu memperbaruinya setiap hari.

Dengan begitu diharapkan jika dalam pelaksanaannya lupa niat, maka niat yang umum telah menutupi (mengcover) puasa Ramadhan secara keseluruhan. Sehingga berniat setiap hari hukumnya menjadi sunah (mandub) karena sudah berniat secara keseluruhan satu bulan di awal Ramadhan.

Niat tampaknya susah-susah mudah dalam puasa. Namun, tidak bisa dimudah-mudahkan (disepelekan) tanpa didasari ilmu pengetahuan, sebab berkaitan erat dengan syarat sahnya ibadah. Sehingga yang terpenting adalah memiliki pengetahuan seputar niat agar menjadikan kita mudah dan mantap dalam melaksanakan ibadah puasa.


Muhammad Hariyadi

Sebab-sebab Turunnya Keberkahan



Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.

Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).

Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).

Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).

Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ikhlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).

Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.


Muhammad Hariyadi

Sahur, Jamuan Ketuhanan yang Terabaikan



Sahur merupakan jamuan “ketuhanan” yang sering terabaikan oleh kaum Muslim. Padahal mengakhirkan sahur merupakan salah satu petunjuk kenabian dalam beribadah puasa.

Banyak orang bermalas-malasan malakukan sahur karena merasa kuat menahan lapar dan dahaga mulai terbit matahari hingga terbenamnya.

Padahal, di dalam ajuran pengakhiran sahur terkandung banyak urgensi dan manfaat, diantaranya:

Pertama, sahur mengandung keberkahan dunia dan akhirat. Keberkahan dunia di antaranya orang yang melakukan sahur menjadi lebih sehat dan mendapatkan cukup energi sebelum menjalankan puasa.

Sedangkan keberkahan akhirat antara lain orang yang bersahur memperoleh ridha Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Bersahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah." (HR. Bukhari-Muslim).

Kedua, sahur merupakan pelestarian tradisi (sunnah) Rasulullah SAW.  Mereka yang menjaga kelestarian tradisi tersebut mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menghidupkan sunahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barang siapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga." (HR. Tirmidzi)."

Ketiga, sahur merupakan bentuk aktivitas yang membedakan antara model puasa kaum Muslim dengan Ahlul Kitab. Rasulullah SAW bersabda, "Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab terletak pada jamuan sahur." (HR. Muslim).

Keempat, orang yang melakukan sahur mendapatkan doa dari para malaikat dan ridha Allah SWT. Dari Abu Said Al-Khudri RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sahur mengandung keberkahan, maka janganlah ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air, karena Allah SWT dan malaikat-Nya mendoakan kepada orang-orang yang melakukan sahur." (HR. Ahmad).

Kelima, sahur menjadi pengingat niat bagi yang belum berniat puasa pada malam hari atau menjelang tidur. Niat puasa Ramadhan merupakan salah satu wajib puasa sehingga tidak sah puasa Ramadhan tanpa didahului niat. Dari Hafsah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka berarti ia tidak berpuasa." (HR. Abu Dawud).

Keenam, sahur menjadi pembuka kebaikan, penyebab ibadah sunah, zikir dan doa pada waktu sepertiga malam yang merupakan waktu dikabulkannya doa dan permintaan. Allah SWT berfirman, "Dan dari sebagian malam bertahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra': 79).

Ketujuh, sahur sekaligus berfungsi untuk mengusir setan karena orang yang sahur bangkit dari tidurnya dengan doa, berwudhu dan shalat sunah atau Subuh. Rangkaian kegiatan itu secara otomatis mengusir ikatan setan di kepala manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setan mengikat tengkuk (kuduk) salah seorang dari kalian saat tidur dengan tiga ikatan.”

“Pada setiap ikatan dia membisikkan kepadamu: “Malam  masih panjang (maka tidurlah).” Jika dia bangun lalu berzikir kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu, maka lepaslah dua ikatan. Dan jika dia shalat, maka lepaslah seluruh ikatan itu. Sehingga pagi harinya dia mulai kegiatan dengan penuh semangat dan jiwa bersih. Jika tidak, maka dia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang sempit dan penuh kemalasan.” (HR. Bukhari ).

Kedelapan, sahur menjadikan seseorang lebih siap dalam menjalankan puasa dan menggairahkan semangat beraktivitas. Dengan bersahur seseorang berada tepat pada garis start puasa yang tepat disertai kesiapan bekal jasmani dan rohani yang mantap. Selesai sahur, berbagai aktifitas kebaikan menunggu sebagai bentuk kelanjutan dari permulaan kebaikan yang dikerjakan, sekaligus tanda diterimanya kebaikan di sisi Allah SWT. Wallahua’lam


Muhammad Hariyadi

Sabar, Tanda Kuat Iman



Menghadapi musibah, masalah, ketakutan, kekurangan, tekanan dan cobaan dengan sikap sabar lazim dilakukan semua orang.

Mereka yang kuat bersabar dalam semua keadaan tersebut sambil terus berikhtiar mencari solusi, perbaikan dan konsisten mendekati Allah SWT akan mendapatkan berkah dan rahmat-Nya. (QS. Al Baqarah: 155-157). Hal itu karena sabar merupakan modal yang senantiasa harus diperkuat secara terus menerus oleh orang yang beriman di sepanjang jalan kehidupan. 

Sabar juga berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka yang konsisten sabar dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya, akan mendapatkan ketentraman hati, tambahan petunjuk dan keyakinan serta kegembiraan atas janji Allah SWT. (QS. Fushilat: 30-32).

Hal tersebut karena sabar dalam ketaatan dan menjauhi larangan tidak lepas dari banyaknya tantangan, baik yang berasal dari nafsunya sendiri, orang lain maupun bisikan busuk setan.

Kesabaran dengan demikian merupakan prasyarat yang diperlukan dalam semua kondisi kehidupan. Ibarat dua sisi mata uang, sabar merupakan jalan pilihan dalam menyelesaikan beban kehidupan yang berat agar seseorang sampai ke tempat tujuan dengan baik pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, sabar merupakan benteng pertahanan yang menjadikan seseorang konsisten, tekun dan mantap dengan pilihan yang telah ditetapkan.

Bersabar bukan berarti lemah dan menyerah terhadap keadaan. Bersabar justru merupakan sikap posif dan menunjukkan kuatnya iman seseorang. Allah SWT berfirman: "Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, Sungguh yang demikian itu termasuk kewajiban dalam menghadapi perkara." (QS. Luqman: 17).

Bersabar yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan bahkan menjadikan seseorang solid, kuat, berwibawa, disegani kawan maupun lawan dan membawa keberhasilan serta kebahagiaan. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan bersiap siagalah serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200).

Kesabaran bukan sikap defensif dan menerima keadaan dengan pasrah. Sebaliknya sabar merupakan sikap ofensif jiwa dalam menolak kemungkaran dan larangan Allah serta ketetapan hati yang kuat dalam menjalankan perintah-Nya dan mencari solusi terbaik dalam mengatasi keadaan. Allah SWT berfirman, "Maka kesabaran yang baik itu (adalah kesabaranku), Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Mahamengetahui Mahabijaksana." (QS, Yusuf: 83).

Kesabaran tidak tumbuh sendiri layaknya pohon ilalang. Ia dimiliki melalui proses panjang yang matang. Seseorang dapat dikarunia kesabaran dengan pembiasaan-pembiasaan berikut:

Pertama, memiliki pandangan bahwa apa yang melekat pada dirinya, orang lain dan dunia adalah amanah dari Allah SWT dan berusaha untuk memfungsikan dirinya sebagai pengamban amanah di hadapan manusia dan Allah SWT.

Kedua, bersikap tumakninah dan ridha atas semua takdir yang diberikan Allah SWT, sehingga bersikap enjoy dengan kenyataan apa pun yang dihadapi dengan tetap berpegang pada agama Allah SWT.

Ketiga, sadar bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, menghadapi banyak tantangan yang berasal dari nafsunya sendiri, keluarga dan komunitas di sekitarnya bahkan dari setan yang menjadi musuh bebuyutan manusia. Kesabaran di sini merupakan separuh dari iman karena keyakinan adalah iman yang sepenuhnya.

Keempat, Mengetahui cara-cara meredakan amarah dengan berbagai cara dan polanya, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW dalam berbagai hadisnya.



 Muhammad Hariyadi

Ragam Kemunafikan



Sikap munafik (tidak adanya kesesuaian antara ucapan dan hati serta tindakan) banyak kita temui dalam perjalanan sejarah kemanusiaan, termasuk di dunia modern dan dunia maya dewasa ini. Jika hal tersebut berkaitan dengan keimanan dan keyakinan, biasanya dikenal dengan istilah munafik i'tiqadi.

Allah SWT berfirman: "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah’. Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta." (QS. Al-Munafiqun: 1).

Namun jika kemunafikan tersebut berkaitan dengan perbuatan seperti berdusta, berkhianat, dan ingkar janji, maka hal tersebut disebut dengan munafik ghairu i'tiqadi. Rasulullah SAW bersabda: "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara berbohong, jika dipercaya berkhianat, dan jika berjanji tidak ditepati." (HR. Muslim).

Hukum munafik amali (ghairu i'tiqadi) sama dengan hukum fasiq, yang merupakan suatu kemaksiatan dan pelakunya harus meminta maaf kepada manusia serta bertobat kepada Allah SWT.

Hal tersebut karena kemunafikan menyalahi keimanan serta dampaknya sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa dan masyarakat. Lebih dari itu, kemunafikan belum ditemukan obatnya kecuali dengan mengikis habis sifat keburukannya dan menggantinya dengan fikih keimanan.

Kemunafikan memiliki banyak tanda selain tiga yang disebutkan Rasulullah SAW di atas. Di antara tanda-tanda tersebut adalah pertama, orang munafik memiliki sifat gemar merusak, bukan membangun; mengacaukan, bukan memperbaiki; mengganggu, bukan mengkondisikan kebaikan. Allah SWT berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan’. Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari." (QS. Al-Baqarah: 11-12).

Kedua, orang munafik memiliki kebiasaan dan perangai menuduh, menghina, dan menjelek-jelekkan kaum muslimin. Allah SWT berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!’ Mereka menjawab, ‘Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal, tetapi mereka tidak tahu." (QS. Al-Baqarah: 13).

Ketiga, orang munafik berpura-pura berperilaku layaknya orang beriman, tetapi dengan visi dan misi keburukan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk salat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud ingin dipuji di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisa': 142).

Keempat, orang munafik selalu berusaha menghalangi orang lain dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan cara dan tipu daya apa pun (QS. An-Nisa': 61).

Kelima, orang-orang munafik memiliki visi yang berbeda dengan orang beriman, yaitu menyuruh kemungkaran dan mencegah yang makruf (QS. At-Taubah: 67).

Mudahnya mengidentifikasikan kemunafikan dalam dunia ide tidak semudah mengidentifikasikannya dalam kehidupan, sehingga setiap jiwa harus berhati-hati dengan sikap tersebut, terlebih jika memengaruhi kepribadian jiwa seseorang. Seorang yang berakal harus mendayafungsikan akal dan mengikuti kata hatinya, sehingga ia berjalan di atas cahaya Allah SWT. Wallahu a'lam.


Muhammad Hariyadi

Pohon Rindang Sedekah



Bagaikan sebuah pohon yang rindang, sedekah paling tidak memiliki tujuh cabang. Masing-masing cabang tersebut saling terkait dan komprehensif dalam kesatuan.

Jika satu cabang dieksplorasi dengan melupakan enam cabang lainnya, maka yang muncul adalah keparsialan dan kekomprehensifannya akan hilang.

Sementara itu, jika semua cabang tersebut dijelaskan secara proporsional, yang muncul adalah keindahan, kesempurnaan dan kekomprehensifan makna sedekah.

Cabang pertama sedekah adalah mendahulukan keluarga dekat dibandingkan pihak lain. Mengenai hal ini, lebih dari dua belas kali Alquran menegaskan. Di antaranya firman Allah SWT (yang artinya), “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros.” (QS. Al-Israa’: 26).

Penegasan yang sama juga dapat ditemui di dalam beberapa hadis, di antaranya sabda Rasul SAW: “Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan sedekah kepada keluarga dekat adalah dua sedekah (yaitu) satu sedekah dan satu lagi penyambung tali persaudaraan.” (HR. Tirmidzi).

Cabang kedua, melakukan sedekah dengan moderat. Allah SWT mensifati hamba-hamba-Nya yang penyayang dengan beberapa kriteria, salah satunya sebagai berikut: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, yang demikian itu adalah yang di tengah-tengah (moderat).” (QS. Al-Furqan: 67).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29).

Cabang ketiga, sedekah dengan cara sembunyi-sembunyi lebih utama dibandingkan dengan terang-terangan. Hal tersebut semata-mata untuk menjauhkan diri dari sifat riya (pamer) dan menjaga keikhlasan. Memang diperbolehkan bersedekah terbuka untuk mendorong pihak lain ikut bersedekah, namun sedekah dengan cara tersebut umumnya kurang elok dan tidak jarang melebihi kepatutan.

Keempat, sedekah dilakukan di kala sehat bukan dalam keadaan sakit atau sekarat. Hal tersebut agar sedekah yang dilakukan benar dan rasional (QS. Al-Munafiqun: 10).

Kelima, mengetahui bahwa bersedekah hukumnya sunah dan di luar sedekah terdapat zakat yang hukumnya wajib. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan seseorang yang telah memiliki harta cukup satu nisab dan dimiliki sempurna selama setahun dapat mendahulukan kewajiban zakat, kemudian melakukan berbagai sedekah dan bukan kebalikannya.

Keenam, sedekah memiliki banyak keutamaan (fadhilah). Diantaranya: memberikan rasa bahagia, mengobati penyakit hati, menjadikan harta bersih dan tumbuh, mendapat balasan kebaikan yang bersifat langsung di dunia, mendapatkan balasan tidak langsung di akhirat dan pelipatan pahala sedekah hingga tujuh ratus kali di sisi Allah SWT (QS Al-Baqarah: 261).

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah kalian walau hanya dengan sebiji kurma, sebab sedekah dapat memenuhi kebutuhan orang yang lapar dan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).

Ketujuh, sedekah dapat dilakukan melalui berbagai cara tidak hanya dengan menginfakkan harta benda. Hal tersebut karena senyuman yang baik adalah sedekah, nasehat dan kata-kata yang baik adalah sedekah, nafkah yang kita berikan kepada anak dan istri adalah kewajiban dan juga sedekah, berbagi ilmu pengetahuan adalah sedekah dan lain sebagainya.

Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah api neraka walaupun hanya dengan (bersedekah) sebiji kurma, barang siapa yang tidak dapat mendapatkannya maka ia dapat (melakukannya) melalui perkataan yang baik.” (HR. Bukhari-Muslim).


Muhammad Hariyadi

Pernikahan = Kebahagiaan



Asal muasal penikahan adalah kebahagiaan. Hal itu karena dua orang yang menikah berarti telah memenuhi fitrah kemanusiaannya dengan menjalin hubungan biologis, fisik dan rohani bersama pasangannya.

Dengan kata lain, mereka yang telah menikah berarti telah memenuhi hukum alam (sunnatullah) sebagai manusia. Allah SWT berfirman, "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya…” (QS. Ar-Rum: 21).

Kedua, nikah merupakan pelestarian sunah Rasulullah SAW. Dan barang siapa melestarikan sunahnya berarti ia masuk dalam golongannya, dan barang siapa yang tidak melakukannya tidak masuk dalam golongannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Nikah merupakan sunahku, dan barang siapa membenci sunahku berarti ia tidak masuk dalam golonganku." (HR. Muslim).

Nikah menjadi sunah Rasulullah SAW karena pernikahan bertujuan memperbanyak keturunan. Maka bagaimana mungkin memakmurkan dan meramaikan kehidupan di bumi demi kemaslahatan bersama, jika cara memperbanyak keturunan dengan jalan yang bukan melalui pernikahan?

Ketiga, mereka yang telah menikah diberkahi Allah SWT dan akan diberikan kemampuan melalui karunia-Nya. Allah SWT berfirman, "Dan nikahilah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), maha Mengetahui." (QS. An-Nur: 32).

Keempat, mereka yang telah menikah berarti telah menyempurnakan separuh dari agamanya karena memiliki tanggung jawab keluarga, bukan sekedar tanggung jawab sendiri seperti sebelumnya.

Rumah tangga dalam konteks ini merupakan komunitas terkecil dalam suatu masyarakat yang memiliki fungsi penting dan vital bagi kehidupan bersama. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahrim: 6).

Namun mengapa kadang-kadang pernikahan hanya seumur jagung? Mengapa pula kebahagiaan nikah hanya sebatas pada resepsi pernikahan? Mengapa percekcokan dan pertengkaran kerap mewarnai kehidupan rumah tangga?

Rasulullah SAW menjelaskan kepada kita empat kriteria yang menjadi sebab dan kecenderungan terjadinya pernikahan serta mengajarkan untuk mengutamakan satu dari empat kriteria tersebut, namun kita terkadang tidak mengindahkannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Perempuan dinikahi karena empat perkara: hartanya, garis keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki pengetahuan agama yang baik, yang akan member keselamatan kepadamu."

Kedua, intervensi pihak lain dari mana pun asalnya tidak jarang menjadi penyebab retaknya rumah tangga. Biarkanlah suami-istri melakukan adaptasi, mengatasi masalah dengan caranya sendiri, membangun kebersamaan dalam suka dan duka, niscaya mereka akan menemukan solusi-solusi baru dalam memecahkan permasalahan yang ada.

Ketiga, berusaha untuk saling mencintai dan menyayangi, menghormati dan mengalah, menjaga perasaan dan memuji, serta sikap-sikap mulia lainnya merupakan beberapa sikap yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam menjadi kelanggengan kehidupan rumah tangga.

Demikianlah, pernikahan yang harusnya melahirkan kebahagiaan demi kebahagiaan, bukan kesedihan demi kesedihan karena ia berarti berjalan di atas fitrah kemanusiaan dan memenuhi perintah Tuhan. Wallahu a'lam.



Muhammad Hariyadi