Agama,
dalam ungkapan Jawa, bagaikan ageman atau pakaian. Orang berpakaian itu untuk
menutup aurat, untuk menjaga kesehatan, dan agar pantas dan nyaman ketika
bergaul dengan sesama.
Rumah saya di kampung berdekatan
dengan dua masjid yang selalu ramai oleh jamaah dan anak-anak bermain. Suasana
kauman ini berpengaruh bagi lingkungan sosial dan penduduk yang tinggal di
seputar masjid. Orang merasa enteng datang ke masjid untuk ngobrol-ngobrol,
terutama di sore hari menjelang magrib. Atau siang hari untuk mandi sehabis
dari kerja di sawah lalu sekalian salat zuhur.
Roh dan ajaran agama menyatu dalam
kehidupan masyarakat. Ekspresi keberagamaan yang paling mudah dilihat bagi
anak-anak adalah aktivitas ritual seperti salat, mengaji, dan puasa.Tapi
setelah dewasa, saya baru menyadari bahwa agama dan budaya bagaikan roh dan
tubuh. Lewat budaya dan tradisi lokal, ajaran agama diekspresikan sehingga
muncul apa yang disebut local genius atau local wisdom.
Di desa, jika orang tidak mencuri
atau berbuat yang hina,itu didasari oleh penghayatan norma agama yang telah
melembaga ke dalam tradisi sosial. Rasa malu masih sangat kental dan ajaran
tentang rasa malu itu sering saya dengarkan waktu khotbah Jumat, bahwa malu
sebagian dari iman. Peristiwa kehilangan akibat pencurian praktis tidak pernah
saya jumpai di desa.
Masyarakat masih memegang teguh
pesan agama bahwa mencuri itu sangat dikecam oleh Gusti Allah. Kalau saja tidak
memiliki keyakinan dan tradisi beragama, mungkin sekali hidup di desa yang
secara ekonomi tertindas oleh kota hanya melahirkan keluh kesah,kekecewaan, dan
kemarahan.
Karena kuatnya keyakinan agama,
berbagai himpitan hidup masih tertahankan (bearable) dan diberi makna,
bukannya putus asa lalu bunuh diri seperti terjadi di berbagai kota dunia yang
secara ekonomi melimpah dan tingkat pendidikannya pun tinggi. Merekonstruksi
ulang kehidupan beragama di kalangan masyarakat awam lalu terbayangkan
bagaimana gambaran masyarakat purba ketika awal mula para nabi utusan Tuhan itu
mulai menyampaikan wahyu.
Dulu para umat yang diseru itu
hidupnya di padang pasir yang ganas atau wilayah yang rimbun dengan
menyandarkan diri pada peternakan. Berbahagialah, penduduk Nusantara ini
hidupnya sangat nyaman, ada lautan, daratan, dan pegunungan dengan cahaya
matahari yang melimpah.Pada abad-abad lalu ketika agama lahir, masyarakat belum
mengenal televisi, mobil, supermarket, lembaga sekolah, dan berbagai fasilitas
teknis yang menawarkan kenyamanan hidup seperti sekarang.
Oleh para rasul Tuhan mereka
diajari tentang asal-usul dan tujuan hidup manusia. Dikenalkan pada tauhid,
tiada ilah kecuali Allah. There is no god but God. Ajaran
tauhid ini disampaikan secara berkesinambungan dari rasul yang satu ke rasul
berikutnya sampai Rasulullah Muhammad sebagai penutup para nabi. Menurut Alquran,
Allah tak akan menghukum suatu kaum sebelum mereka kedatangan rasul Tuhan yang
mengajarkan tauhid dan kebajikan hidup.
Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa jumlah nabi yang menerima ajaran tauhid itu lebih dari 100.000. Jadi
mungkin-mungkin saja bahwa di lingkungan masyarakat Yunani, Mesir, India, dan
China purba dulu sudah ada nabi yang mengajarkan ketuhanan dan kebajikan hidup.
Dan siapa tahu di wilayah Nusantara ini dulu kala juga sudah ada nabi.
Karena alam semesta dan manusia
sama-sama ciptaan Allah, adalah logis saja kalau di dalam hamparan semesta dan
dalam diri manusia terdapat goresan lukisan Ilahi sehingga perilaku alam dan
manusia mengandung keindahan, kebaikan, dan kebenaran apa pun etnik, suku,dan
agamanya. Kehadiran rasul Allah yang membawa wahyu itu untuk mengingatkan yang
lupa dan meneguhkan kebaikan yang sudah melekat serta mendidik dan
menyempurnakan lagi ajaran Tuhan, terutama tentang tauhid.
Di lingkungan masyarakat Jawa,
penghayatan pada nilainilai transenden begitu nyata. Pengaruh Hindu-Buddha
tidak lenyap, lalu diperkuat oleh Islam. Berakar pada keyakinan kuat bahwa
dunia fisik atau materi ini bukan rumah abadi manusia. Saya masih ingat, di
masjid sebelum salat jamaah dimulai selalu diadakan puji-pujian dengan syairnya
yang religius. Atau ketika orang tua menggendong anak sambil menidurkannya.
Samar-samar saya masih teringat
syairnya: Eling-eling sira manungsa, nggonmu bungah eneng donya Malaikat
juru pati, nglirak-nglirik maring sira. Nggone nglirik malaikat, arep
nyabut nyawanira Nggone nyabut angenteni, dawuhe kang Maha Suci. (Ingatlah
hai manusia, engkau bersenang-senang hidup di dunia Malaikat maut senantiasa
mengintaimu. Dia mengintai untuk mencabut nyawamu. Kapan waktunya, hanya
menunggu perintah Tuhan yang Maha Suci).
Tidak hanya di kampungku, di negeri
Arab tempat Islam pertama lahir dan berkembang pasti terjadi hubungan dialektis
dan akulturatif antara nilai-nilai Islam dan budaya Arab. Apa
yangdisebutmakanan,pakaian, dannyanyian Arab sifatnya pasti kultural.
Problem orang-orang desa muslim
seperti masyarakat saya lalu menganggap apa yang serba-Arab itu baik dan mesti
sejalan dengan Islam. Padahal tidak selalu demikian halnya. Tapi saya selalu
menghargai unsur budaya yang baik-baik dari mana pun datangnya. Sayang jika
pikiran dan hati hanya dijadikan keranjang untuk mengumpulkan koleksi hal-hal
yang buruk.
0 komentar:
Posting Komentar