SELALU muncul kegembiraan—hati serasa berbunga-bunga—
setiap menjelang kehadiran bulan suci Ramadan. Tiba-tiba muncul bayangan dan
kenangan suasana Ramadan yang lalu.
Meski sudah setahun lewat, rasanya Ramadan tahun lalu
baru kemarin. Jarak waktu menjadi hilang ketika bentangan waktu antara dua
Ramadan disambung dengan kegembiraan dan kenangan yang begitu indah,agung,dan
anggun. Kini datang lagi Ramadan.
Rekaman dan kenangan indah muncul kembali,dan semua
itu ingin diulang dan dirayakan dalam suasana hati yang damai. Memasuki Ramadan
bagaikan melangkah menuju oase penyejuk dahaga dan tempat istirahat setelah
terkurung dalam hiruk-pikuk dan keluh kesal melihat kehidupan sosial politik
yang kurang menjanjikan bagi hari esok.
Memasuki Ramadan bagaikan menyelam dalam kolam
perdamaian dan penyucian diri. Kita merasa antusias dan bangga menemukan
kembali kefitrian dan jati diri yang senantiasa damba pada kebaikan,kebenaran,
dan suasana intim dengan Tuhan Sang Pencipta.
Di luar Ramadan kita merasa tak berdaya menghadapi
godaan dan gempuran bertubi-tubi kekuatan negatif yang merongrong bangunan
kefitrian diri.Padahal,semestinya justru di luar Ramadan itu puasa sejati
diuji,terutama puasa sosial. Menjalani puasa Ramadan terasa ringan karena
banyak faktor yang mendukung.
Pertama, secara sosialpsikologis selama Ramadan lingkungannya
turut membantu. Siapa yang tidak puasa dianggap menyimpang dalam kultur
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Dengan demikian, dorongan untuk
tidak puasa terasa kecil.
Kedua, secara teologis puasa Ramadan diyakini sebagai
kewajiban bagi seluruh umat Islam sehingga ada dorongan batin yang kuat sebagai
bukti ketaatan pada perintah Allah.
Ketiga, Ramadan mendatangkan aura spiritual dan
kedamaian dan itu hanya bisa diraih kalau seseorang partisipasi di dalamnya
dengan menjalani puasa secara benar.
Keempat, semakin banyak penjelasan ilmiah seputar
keutamaan berpuasa,baik secara medis maupun psikologis, sehingga seseorang
menjalani puasa tidak semata demi melaksanakan perintah agama, melainkan ada
alasan dan dorongan rasional.
Kelima, selama Ramadan ada peristiwa-peristiwa atau
aktivitas yang sangat mengesankan, semisal betapa nikmatnya berbuka puasa
bersama keluarga atau temanteman yang hal itu selalu ingin ditemukan kembali.
Dalam situasi sosial-politik yang semakin panas,kebersamaan dan keintiman
bersama keluarga dan sejawat dalam suasana religius akan terasa sangat indah
dan mahal.
Keenam, yakin bahwa Allah membuka lebar-lebar pintu
rahmat,pahala,dan ampunan dalam bulan Ramadan sehingga akan sangat merugi siapa
yang tidak menjawab tawaran kebaikan Allah dengan jalan melaksanakan puasa dan
memperbanyak amal saleh lain selama bulan suci ini.
Ketujuh, bulan Ramadan juga sering diposisikan dan
dihayati sebagai bulan pesantren ilmiah-ruhaniah. Berbagai mimbar dialog agama
bermunculan, baik di kantor, siaran radio,televisi,maupun media lain.Banyak
kalangan eksekutif secara sadar dan terencana mendalami ilmu agama selama bulan
ini sehingga mereka menamakannya sebagai semester pendek. Perhatikan saja
beragam judul buku tentang keagamaan mudah ditemukan di toko buku bergengsi di
seantero Tanah Air selama Ramadan. Anak-anak pun mengadakan pesantren kilat.
Kedelapan, suasana keakraban dan edukatif juga sangat
kental dalam kehidupan keluarga. Orangtua memiliki kesempatan untuk melakukan
pendidikan moralspiritual lebih efektif di bulan ini.Tetapi itu semua
memerlukan pemahaman dan metode yang tepat bagi orangtua dalam menjelaskan dan
memaknai hikmah puasa bagi anak-anaknya. Janganlah puasa berlalu tanpa
disertasi upaya edukasi bagi anak-anak kita.
Kesembilan, kehadiran Ramadan, khususnya bagi generasi
tua,selalu menimbulkan kesadaran akan terbatasnya usia dan minimnya tabungan
amal kebajikan. Sangat berbeda dengan peristiwa tahun baru yang hanya semalam,
tonggak-tonggak perjalanan hidup seorang muslim ditandai oleh lorong waktu
selama sebulan lalu ditutup dengan Idul Fitri.Tonggak ini terasa begitu dalam
menghunjam sampai sanubari sehingga bulan Ramadan juga mendorong seseorang
untuk introspeksi, lebih melihat ke dalam diri (inner journey), bukannya terpaku
pada dunia luar yang bersifat materifisikal.
Demikianlah, masih banyak aspek-aspek
emosionalspiritual Ramadan yang kehadirannya selalu menyergap dan membangunkan
kesadaran batin serta menginterupsi hegemoni rutinitas fisik, lalu kita diajak
memasuki ruang batin yang tak bertepi yang menawarkan keutamaan seribu bulan.
Bagi mereka yang masa kanakkanaknya dihabiskan di kampung, Ramadan selalu
mengingatkan kembali suasana desa sewaktu anak-anak dulu.
Sebuah kehidupan sosial keagamaan yang damai dan jika
malam hari anak-anak turut memeriahkan suasana masjid dan musala. Di desa,
masjid menjadi pusat berkumpulnya anakanak untuk bermain sambil menunggu
datangnya magrib. Masjid bukan saja tempat salat dan mengaji,melainkan juga
tempat bersosialisasi dengan teman sebaya.
Di masjid, anak-anak itu bertukar cerita seputar dunia
mereka. Dan semua rekaman dan kenangan itu muncul dalam kesadaran batin ketika
Ramadan tiba. Alhamdulillah, Ramadan sudah di ambang pintu, menyapa dan memeluk
kita semua.Kita bertemu kembali dengan tamu agung yang membawa berkah ilahi.
Selamat datang Ramadan. Semoga kami bisa menyiapkan hati, pikiran, dan fisik
untuk menerima piala keutamaan seribu bulan yang engkau usung dari langit
suci.*
0 komentar:
Posting Komentar