SEMUA agama mengajarkan perdamaian dan anti kerasan. Namun,
ironisnya, sejarah penyebaran dan perkembangan agama selalu saja disertai
kekerasan.
Refleksi singkat ini akan menganalisis bagaimana
hubungan Islam dan tradisi kekerasan yang sering menyertainya dan masih juga
muncul di zaman modern ini. Saya memilih Islam tidak berarti agama yang lain
terbebas dari praktik kekerasan, melainkan semata karena saya beragama Islam
sehingga refleksi ini juga merupakan introspeksi diri.
Dibandingkan yang lain,Islam agama paling muda.Bandingkan
dengan tradisi Yahudi,Kristen,Hindu dan Taoisme. Yang lain sudah berusia di
atas 2.000 tahun, bahkan ada yang 5.000 tahun, sedangkan Islam belum sampai
1.500 tahun. Islam lahir dan tumbuh di wilayah padang pasir dengan
masyarakatnya yang disebut jahiliyyah, yang juga sangat memuja
heroisme-tribalisme.
Karena kondisi alam yang keras, masyarakat Arab
berwatak keras dan mudah sekali tersulut emosinya, lalu angkat senjata
mengobarkan kekerasan dan peperangan. Gara-gara berebut sumber air dan rerumputan
untuk makanan ternak, antarkabilah sering terlibat perkelahian secara
turun-temurun.Tentu saja sumber air dan ternak kala itu sangat vital dan
menjadi simbol kekayaan dan kemewahan seseorang atau sebuah suku.
Universal dalam
Wadah Lokal
Ajaran Islam yang bersifat universal sering terpenjara
oleh simbol dan tradisi lokal. Siapa pun orangnya, terlahir dan tumbuh dalam
asuhan budaya dan tradisi orangtuanya yang bersifat lokal. Begitu kuatnya
sebuah tradisi sehingga sering menghalangi masuknya ajaran agama yang datang
dari luar.
Tentu tidak semua tradisi masyarakat jelek, tetapi
sentimen sukuismetribalisme yang berlebihan akan menutup nalar kritis sehingga
sulit menerima kebenaran yang datang dari luar kelompoknya. Sementara ajaran
Islam bersifat lintas etnis dan menyeru perdamaian bagi seluruh manusia.
Nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesantunan, misalnya, berlaku untuk semua, apa
pun agamanya.
Ketika Islam pertama disebarkan, perlawanan pertama
yang amat sengit juga datang dari ketua-ketua adat yang merasa dirongrong
wibawa dan kekuasaannya oleh pendatang baru bernama Muhammad.Jadi sejak awal,
ada mekanisme dan perlawanan sosial yang selalu ingin menjinakkan dan
menempatkan agama di bawah kekuasaan tradisi lokal karena pertimbangan
ekonomis, adat dan soliditas kelompok.
Pertanyaan yang selalu muncul, seberapa jauh Islam
yang memperjuangkan misi kemanusiaan dan kebenaran universal itu mampu mengubah
watak tribalisme-sukuisme para pemeluknya yang potensial menyulut konflik dan
perang karena egoisme. Kelompok dan warisan tradisi kekerasan turun-menurun?
Dalam sejarah Islam, ternyata sepeninggal Rasul Muhammad semangat dan watak
sukuisme-dinastiisme kabilah dan dinasti ini bangkit lagi dengan segala
implikasi positif dan negatif.
Bermunculan dinasti Islam di bawah kendali raja atau
sultan. Di antara mereka ada yang adil, demokratis, dan cerdas, tapi banyak
pula penguasa kerajaan Islam yang tiran dan gemar menaklukkan musuhnya dengan
kekerasan yang didorong oleh egoisme etnis dan keluarga. Sejarah konflik dan
perang antara Bani Umayah dan Bani Abasiyah adalah contoh paling nyata
bagaimana semangat dan ajaran Islam berjalan seiring dengan ambisi dinastiisme
yang tidak segansegan menggunakan kekerasan dalam menindas sesama muslim.
Begitu pun ketika terjadi perbedaan paham
keagamaan,tidak jarang dihadapi dengan kekerasan, bukannya dialog secara cerdas
dan saling menghargai perbedaan. Padahal semuanya mengklaim sebagai pembela
Islam, sayang caranya tidak Islami. Islam yang menyeru perdamaian dan
persaudaraan dibela dengan semangat kebencian.
Semangat tribalisme yang bercampur dengan ideologi
keagamaan yang cenderung eksklusif ini tampaknya masih berkembang sampai
sekarang meski dengan jubah baru, misalnya apa yang disebut sebagai
ethno-religion. Semangat etnisitas dan identitas keislaman menyatu, padahal
sentimen etnisisme cenderung tidak ramah dan toleran.
Mereka memandang yang lain berbeda dan diposisikan
sebagai ancaman atau saingan yang hendak ditaklukkan, bukan sebagai mitra untuk
bersama-sama membangun peradaban. Padahal,kita hidup dalam sebuah zaman yang
sering disebut sebagai desa buana (global village). Masingmasing bangsa dan
komunitas agama senantiasa memerlukan yang lain.
Tak ada sebuah bangsa dan pemeluk agama yang bisa
mencukupi kebutuhan sendiri. Misalnya saja,jutaan orang muslim setiap tahun
berkunjung ke Mekkah-Madinah dengan menggunakan pesawat terbang buatan
nonmuslim. Ketika melakukan transaksi bisnis, mereka menggunakan uang dolar.
Belum lagi aktivitas perkantoran dengan menggunakan teknologi modernyangjugabikinannonmuslim.
Jadi, siapa pun yang tidak siap menjalin kemitraan
dengan bangsa dan umat yang berbeda keyakinan, bahkan melakukan kekerasan dalam
menghadapi perbedaan, ujungnya akan merusak bangunan peradaban serta kemuliaan
agama itu sendiri. Sikap seperti itu ujungnya hanya akan membuat susah dan
mempersempit ruang gerak dirinya. Meski sulit dipisahkan, kita mesti membedakan
secara tegas antara agama dan tradisi kekerasan yang merupakan warisan
tribalisme masa lalu,di mana Islam lahir dan dikembangkan.
Menarik diamati dan direnungkan, ketika umat Islam
berkembang di suatu negara dengan sistem hukum yang telah mapan, mereka
terbiasa menyelesaikan sengketa dengan damai dan rasional. Jika muncul
perbedaan, tradisi kekerasan bisa ditekan, lalu diselesaikan melalui jalur
hukum. Siapa pun orangnya, apa pun agamanya, jika melanggar hukum yang telah
disepakati bersama, mereka akan ditindak tegas oleh negara mengingat tugas
negara adalah melindungi warganya, apa pun agamanya.
Hukum negara,ibarat lampu pengatur lalu lintas di
jalan raya, mesti dijaga dan ditaati bersama agar pengguna jalan tidak saling
berebut dan berantem. Sayangnya, di negeri ini rambu-rambu lalu lintas sering
dilanggar, sebagaimana juga undang-undang dan hukum negara, sehingga masyarakat
sendiri yang susah. Negara pun disibukkan untuk mendamaikan rakyatnya yang
bentrok, bukannya fokus bekerja memajukan bangsa.
Yang lebih repot lagi kalau ada sekelompok orang atau
golongan yang hendak mengubah secara paksa sistem rambu-rambu jalan raya sampai
undang-undang negara yang telah disepakati, maka akan bubar dan robohlah rumah
besar Indonesia dan kita akan masuk kubangan the failed state, sebuah negara
yang gagal.
Dunia akan menonton tragedi sebuah bangsa dengan
mayoritas umat Islam yang dulu dikenal gagah perkasa dalam melawan imperialisme
dan memiliki mimpi besar untuk membangun negara bangsa yang berdaulat bernama
Indonesia Raya, ternyata tidak mampu memelihara, mengembangkan, dan mengelola
hasil jerih payah para pejuang dan pendiri bangsanya.
Pantas menjadi renungan bersama, umat Islam memiliki
rekaman sejarah konflik dan kekerasan yang berkepanjangan yang terjadi di
kawasan Timur Tengah dan masih berlangsung sampai hari ini. Masyarakat
Indonesia pun punya ingatan kolektif tradisi perang saudara sejak zaman Ken
Arok yang akhir-akhir ini juga masih menggejala berupa bentrok antarwarga desa
dan antaretnis.
Kalau warisan dua tradisi kekerasan ini bersinergi,
Indonesia yang kita cita-citakan (the imagined Indonesia) akan gonjang-ganjing
dan lebih jauh lagi akan tergilas masuk museum sejarah sebagaimana Uni
Soviet.(*)
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar
Indonesia, Jumat 20 Juni 2008
0 komentar:
Posting Komentar