Keunikan, kekayaan yang juga ancaman bagi bangsa Indonesia adalah
masyarakatnya yang sangat plural, tersebar di sekian ribu pulau. Ratusan bahasa lokal, ragam budaya, aliran kepercayaan dan agama
kesemuanya menciptakan mozaik budaya yang sangat indah, warnawarni, tetapi juga rentan konflik.
Sebagai bangsa dan negara yang
masih muda, sesungguhnya wajar saja jika kohesivitas dan soliditas
keindonesiaan kita masih rapuh. Mudah goyah dan
gamang ketika diterpa konflik antarkelompok primordial. Dan sekarang sumber
konflik bertambah lagi dengan munculnya banyak partai politik, ormas,
organisasi buruh, LSM, dan provokator asing serta media massa.
Masyarakat dan negara yang
sedemikian plural dari sisi etnik, agama, bahasa, dan budaya seperti halnya
Indonesia, Amerika Serikat, India, atau Kanada memang memerlukan waktu lama
untuk mencapai soliditas berbangsa dan bernegara.
Amerika Serikat memerlukan waktu lebih dari 100 tahun untuk membangun kemapanan
dalam tradisi berdemokrasi. Dengan belajar dari pengalaman sejarah bangsa
lain, kita tidak perlu memulai dari awal.
We should not reinvent the
wheel. Indonesia mesti mampu melakukan
akselerasi dalam memantapkan state building dan citizenship
tanpa menggusur pluralitas budaya dan agama yang menjadi elemen dan identitas
kebangsaan kita. Tanpa kepemimpinan berwibawa, tegas,
dan visioner, tidak mudah menciptakan ruang publik yang nyaman dan dinamis bagi
masyarakat Indonesia yang majemuk.
Mungkin kita lebih merasa dan lebih
terpanggil sebagai warga komunitas kelompoknya ketimbang sebagai warga negara
sehingga sulit menata dan menjaga ruang publik tempat sesama warga negara
membicarakan persoalan bangsa secara demokratis dan bebas dari tekanan.
Tokoh-tokoh parpol,ormas, ulama, dan pemerintah mestinya duduk bersama untuk
membuat rambu-rambu yang jelas bagaimana membangun ruang publik yang sehat.
Berbagai kasus perusakan tempat
ibadah, debat seputar konser Lady Gaga, pendirian tempat ibadah, dan penggunaan
alat pengeras suara dari masjid kesemuanya merupakan fenomena perbenturan antara
wilayah publik dan wilayah komunal. Masyarakat merasa
punya hak memperoleh perlindungan negara dari berbagai tekanan dan gangguan
kelompok- kelompok komunal, sementara berbagai ormas dan kelompok komunal,
terutama ormas keagamaan, juga merasa punya hak dan panggilan moral untuk
melakukan aktivitasnya di ruang publik.
Bila kita konsisten Indonesia
adalah negara kebangsaan yang berjalan di atas konstitusi atau hukum, jelas
terdapat batasan tegas antara zona komunalisme keagamaan dan zona publik. Sekadar contoh, ketika kita berada di dalam masjid atau gereja, kita
berada dalam zona keagamaan yang bebas berdakwah secara terbuka dan berapi-api
di hadapan jamaah masing-masing. Seorang pengkhotbah leluasa memuji agamanya
dan mengkritik agama orang lain.
Tapi menjadi masalah kalau isi
khotbahnya menggunakan pengeras suara lalu umat lain merasa tersinggung dan
terganggu ketika mendengarkannya. Di Indonesia yang
mayoritas muslim, tentu saja hal itu tidak dianggap masalah. Tapi umat Islam
yang posisinya minoritas seperti di Barat tidak bisa berkhotbah menggunakan
pengeras suara keras-keras karena akan dianggap sebagai intervensi ruang
publik.
Bahkan untuk membangun masjid pun
tidak semudah di Indonesia. Begitu pula khotbah gereja di Indonesia pasti
hati-hati untuk menyampaikan isinya dengan pengeras suara agar tidak terdengar
orang di jalanan. Contoh lain,begitu keluar dari halaman masjid dengan
mengendarai mobil, maka ketika masuk jalan raya itu berarti kita sudah memasuki
ruang publik yang menjadi wewenang negara yang diwakili polisi lalu lintas.
Ketika berada di jalan raya berlakulah etika dan hukum publik dan menjadi tidak relevan membedakan apakah itu ”mobil Islam” atau ”mobil Kristen”.Apakah itu mobil rakyat biasa atau pejabat tinggi. Siapapun yang melanggar hukum lalu lintas harus ditindak dan diperlakukan sama. Akan muncul persoalan serius jika pemerintah tidak memiliki aturan yang jelas dan tindakan hukum yang tegas bagaimana menciptakan rasa aman dan nyaman dalam ruang publik.
Mestinya kelompok-kelompok komunal
juga ikut menjaga ketertiban hukum yang mengatur wilayah publik, tahu batas
wilayah dan wewenangnya. Jika simbol dan hukum agama dipaksakan untuk
intervensi wilayah publik dan negara, pasti akan timbul benturan dengan
kelompok lain.
Arab Saudi yang menjadikan Islam
sebagai dasar negara, yang memiliki otoritas, tetap merupakan negara di bawah
kekuasaan raja. Seorang polisi ketika menindak pelanggaran dalam masyarakat,
dia bertindak atas nama dan mewakili raja, bukan lembaga agama.
Bahkan untuk menjadi imam dan
khatib Masjid Haram mesti memperoleh izin dari pemerintah meskipun itu disebut
Rumah Allah (Baitullah). Jadi, memang ada aturan main antara
wilayah pribadi, komunal, dan publik.
0 komentar:
Posting Komentar