Aku tidak menghendaki sedikitpun rizki dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah
Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS.
Adz-Dzariyaat: 57-58)
Kata
Ar-Razzaq hanya bisa kita temukan dalam al-Qur’an sekali saja, sebagaimana yang
disebut di awal tulisan ini. Tetapi yang menggunakan akar kata yang sama,
ra-za-qa dapat kita jumpai di banyak surat dan ayat al-Qur’an.
Pada
awalnya rezeki itu bermakna tunggal, yaitu pemberian untuk jangka waktu
tertentu. Makna ini sekaligus membedakan antara rezeki dengan hibah, atau
antara makna Ar-Razzaq dengan Al-Wahhab. Dalam perkembangannya makna rezeki itu
meluas dan melebar, kadang bermakna pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, juga
hujan yang turun dari langit, bahkan anugerah kenabian pun disebut sebagai
rezeki, sebagaimana perkataan Nabi Syuaib kepada kaumnya. “Wahai kaumku,
bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia
menganugerahi aku dari-Nya rizki yang baik (yakni kenabian)?” (QS. Huud: 88)
Dengan
demikian, maka rizki itu bisa meliputi segala pemberian yang dapat
dimanfaatkan, baik bersifat material maupun spiritual. Rizki itu tidak hanya
bersifat kebendaan, tapi juga bisa berupa kebahagiaan, sembuh dari sakit,
kesempatan beribadah dengan baik, hidayah, dan banyak lagi lainnya. Sungguh tak
terhingga rizki yang telah diberikan kepada kita.
Setiap
makhluk hidup telah dijamin rizkinya oleh Allah, apalagi manusia. Tak
seorangpun dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki, sebagaimana firman-Nya: “Dan tidak satu binatang melata yang bergerak di muka
bumi, kecuali Allah telah menjamin rizkinya.” (QS. Huud: 6)
Karenanya,
tidak ada alasan bagi manusia untuk mencari rizki yang haram, sebab rizki yang
halal sudah disedikan buat mereka. Hanya saja mereka kurang bersabar atau
mereka kurang puas (tidak qanaah). Andai saja mereka sedikit bersabar atau
memiliki sifat qana’ah, tentulah mereka akan mendapatkan rizki yang baik dan
halal.
Tentu
saja rizki itu tidak datang begitu saja, melainkan harus diusahakan dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan “sunnatullah”. Bukankah semua manusia terikat
oleh hukum-hukum yang mengatur makhluk dan kehidupannya? Sesungguhnya rasa
lapar dan hausnya, hingga insting untuk mempertahankan dirinya merupakan
jaminan rizki dari Allah. Tanpa rasa lapar, tanpa insting mempertahankan diri,
manusia tak terdorong untuk mencari makan (bekerja).
Bersamaan
dengan itu, Allah SWT menghamparkan bumi yang di dalam dan di atasnya terdapat
rizki yang berlimpah ruah. Segala yang dibutuhkan manusia terdapat di sini,
berapapun besarnya jumlah penduduk bumi. Kalaulah teori Malthus itu benar,
tentu sekarang ini terjadi kelangkaan bahan pangan dan sebagian besar manusia
tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Ternyata, sebagian besar manusia hidup
lebih makmur.
Jarak
antara manusia dengan rizkinya lebih jauh dibandingkan dengan binatang, apalagi
tumbuh-tumbuhan. Allah menyiapkan rizki pada tetumbuhan di tempat tumbuhnya,
sedang bagi binatang disediakan dalam jumlah yang banyak, hanya saja harus ada
usaha untuk mendapatkannya. Bedanya dengan manusia, jika binatang cukup dengan
mengandalkan instingnya, sedang manusia harus berusaha dengan menggunakan akal,
ilmu, dan sedikit teknologi.
Allah
telah menyiapkan sarana yang cukup, sedang manusia diperintahkan untuk
mengolahnya. Pengelolaan itulah yang menjadi nilai tambah. Itulah rizki, sebab
Allah mendatangkan rizki-Nya melalui keterlibatan tangan-tangan makhluk-Nya.
Itulah sebabnya, Al-Qur’an memilih kata “Nahnu” atau “Kami” ketika berbicara
tentang pemberian rizki, sebagaimana firman-Nya: “Kami memberi rizki kepadamu
dan kepada mereka anak keturunanmu.” (QS. Al-An’Am: 151)
Jaminan
rizki itu juga diberikan kepada “Daabat” yang berarti makhluk melata yang
bergerak. Kata bergerak itu menjadi sangat penting, sebab jangan berharap
mendapatkan rizki dari-Nya sementara kita tinggal diam, menunggu, pasif, malas
bekerja, atau bekerja tanpa ilmu, tanpa akal, dan tanpa tehnologi. Untuk
mendapatkan zamzam, Siti Hajar harus lari-lari dari bukit Shafa dan Marwa.
Itulah pelajaran sya’i yang kita dapatkan dari ibadah haji.
Bagaimana
cara meneladani sifat Allah Ar-Razzaq? Sangat mudah, kita hanya dituntut untuk
membagikan (sharing) dari sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh-Nya
untuk para fakir miskin dan orang-orang yang lebih membutuhkan. “Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang Kami rizkikan
kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 54)
Ketika
perintah ini kita laksanakan, ketika kita membagikan sedikit rizki Allah kepada
mereka yang berhak menerimanya, maka saat itu sesungguhnya kita sedang
meneladani akhlak Allah, Ar-Razzaq. Mudah-mudahan kita bisa menjalankannya.
Hamim
Thohari
0 komentar:
Posting Komentar