Al-Qahhar
adalah satu di antara 99 nama indah-Nya Allah, yang berarti menjinakkan atau
menundukkan. Segala makhluk-Nya dijinakkan dan ditundukkan di bawah
kekuasaan-Nya. Tiada satupun makhluk yang menentang-Nya kecuali mereka akan
dikalahkan dan dihinakan, sekaligus. "Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang
Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am: 18)
Dalam
al-Qur’an, al-Qahhar disebut enam kali dan kesemuanya dirangkai setelah
penyebutan kata al-Wahid, yang juga merupakan Asma Allah. Penyebutan nama dan
sifat al-Wahid di depannya memberi arti kuat bahwa hanya Dia satu-satunya yang
memiliki sifat Al-Qahhar. Orang yang mengaku dirinya Qahhar (penakluk) akan
dikalahkan dan dihinakan-Nya. Fir’aun, dalam al-Qur’an dikisahkan pernah
mengganggap dirinya sebagai “Qaahiruun” (penakluk) ketika dia memerintahkan
untuk membunuh semua bayi lelaki. “Fir’aun berkata: Akan kita bunuh anak-anak
lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan
sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.” (QS. Al-A’raf: 127)
Allah
membungkam Fir’aun dan orang-orang kafir lainnya dengan menunjukkan tanda-tanda
kebesaran-Nya, menekuk lutut para pembangkang dengan kekuasaan-Nya, menjinakkan
hati para pecinta-Nya sehingga mereka bersuka cita menanti di depan pintu
rahmat-Nya. Dia pula yang menundukkan panas dan dingin, mengalahkan besi dengan
api, memadamkan api dengan air, menghilangkan gelap dengan terang, dan
melenyapkan terang dengan kegelapan.
“Katakanlah:
Jelaskan kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai
hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang bisa mendatangkan sinar terang
kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar? Katakanlah: Jelaskan kepadaku, jika
Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah
Tuhan selain Allah yang bisa mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat
padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Al-Qashash: 71 dan 72)
Sungguh,
Allah telah mengalahkan semua makhluq-Nya, termasuk manusia. Dialah yang
menjadikan manusia menjerit ketika lapar, menjadikannya lemah dan tak berdaya
ketika kantuk dan tidur. Dia pula yang memberi manusia sesuatu yang tidak
diinginkan dan menghalangi yang didambakan. Tak seorangpun yang bisa menolak
ketika diberi celaka atau sakit. Sebaliknya, tak seorangpun yang bisa
mendapatkan sesuatu yang dihalangi Allah.
Kepada
manusia yang biasa menyombongkan ilmu dan teknologinya, Allah menantang, apakah
mereka bisa menahan sebentar saja peredaran matahari? Apakah mereka juga bisa
memperpanjang malam walau sedetik saja? Orang yang beriman segera akan
menyadari dan berkata: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi
kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.” (QS. Az-Zukhruf: 12 dan
13)
Sekalipun
Al-Qahhar merupakan nama dan sifat Allah yang tak patut seorangpun mengaku
sebagai penakluk, tapi hal itu tidak menghalangi orang beriman untuk
meneladaninya. Imam Al-Ghazali mempersyaratkan bagi mereka yang ingin
meneladani sifat Al-Qahhar dengan terlebih dahulu menyadari bahwa tujuan
penciptaannya adalah untuk menjadi hamba sekaligus khalifah di muka bumi.
Banyak halangan dan rintangan yang menjadi sebab tak terpenuhinya tujuan
penciptaan tersebut, salah satunya adalah hawa nafsu. Untuk itu kita harus
“Qaahiruun”, menjadi penakluk dan penjinak hawa nafsu kita sendiri.
Dalam
hal penaklukan dan penjinakan nafsu, kita harus meneladani cara dan pendekatan
Allah dalam menundukkan dan menjinakkan makhluq-Nya. Ketika Allah menaklukkan
manusia, Dia tidak mencabut kebebasannya, apalagi mematikannya kecuali pada
saat yang telah ditetapkan-Nya. Untuk itu, nafsu tidak boleh dimatikan. Nafsu
hanya boleh diarahkan dan dikendalikan.
Islam
mengakui perlunya memenuhi tuntutan nafsu selama tidak mengantarkan manusia
menyimpang dari tujuan penciptaannya. Bagaimana mungkin manusia dicegah untuk
memenuhi syahwat perutnya, sementara jasmani yang sehat dan kuat sangat
dibutuhkan untuk memikul tugas-tugas di jalan Allah? Bagaimana mungkin nafsu
seksual diharamkan, sementara anak keturunan yang shaleh sangat didambakan
untuk melanjutkan generasi pengemban risalah-Nya?
Lebih
jauh, Al-Qahhar jika dibumikan menjadi bahasa kepemimpinan, maka ia berarti
kemampuan untuk mengarahkan orang lain pada kebaikan. Pemimpin yang baik adalah
navigator yang tahu jalan yang lurus dan jalan yang harus dihindarinya. Ia
memiliki kemampuan untuk membimbing anak buahnya agar senantiasa berjalan di
atas rel yang lurus, tidak zig-zag agar lebih cepat mencapai tujuan. Untuk itu
seorang pemimpin harus mampu menyatupadukan semua staf dan anggotanya menjadi
satu kekuatan yang memiliki visi, misi, dan persepsi yang sama. Semoga kita
bisa meneladaninya.
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar