“Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya, Dia
memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Mahakuat lagi
Mahaperkasa.” (Asy-Syuura: 19)
Kata
Al-Lathif berasal dari akar kata la-tha-fa, yang bermakna lembut, halus, atau
kecil. Az-Zajjaj, pakar bahasa Arab dalam tafsir Asma’ul Husna mengartikan
Al-Lathif sebagai “yang mencapai tujuannya dengan cara yang sangat tersembunyi
atau tak terduga.”
Dalam
Al-Qur’an, kita bisa mendapati kata Al-Lathif dalam 7 ayat, 5 di antaranya
disambung langsung dengan kata ”Al-Khabiir” yang juga merupakan Asma Allah yang
Indah. Ketujuh kata tersebut semuanya merupakan ”ism,” kata benda. Hanya ada
satu yang berbentuk ”fi’il,” kata kerja, terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 18,
yang letaknya persis di tengah al-Qur’an. Mushaf-mushaf lama biasanya
menandainya dengan cetakan tebal berwarna merah. Kata itu berbunyi ”wal
yatalaththaf” yang secara harfiah berarti ”hendaklah kalian berlaku lemah
lembut.”
Predikat
Al-Lathif memang pantas disandang Allah, dan hanya Dia yang pantas
menyandangnya. Setidak-tidaknya, ada tiga alasan mengapa Dia disebut Al-Lathif.
Pertama, Dia melimpahkan karunia kepada hamba-hambaNya secara tersembunyi dan
rahasia, tanpa diketahui oleh mereka. Ketika Dia menyatukan dua insan berlainan
jenis dalam mahligai rumahtangga, tak seorang pun tahu dari mana datangnya
cinta. Begitu halus, begitu lembut, sehingga orang yang dikaruniainya tak juga
mengetahuinya. Demikian pula anugerah rizki yang lain, semua serba halus dan
tersembunyi.
Al-Ghazali
memberi catatan khusus di sini, ketika ia menggambarkan betapa Mahahalusnya
Allah. Ia mengangkat contoh janin, bagaimana Allah memelihara janin ibu dan
melindunginya dalam tiga masa kegelapan, yaitu kegelapan dalam perut, kegelapan
dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutupi anak dalam rahim. Betapa
Mahahalusnya Dia ketika memberi makan janin melalui pusar sampai ia lahir dan
mengilhaminya menyusu kepada ibunya tanpa ada yang pernah mengajarinya.
Gigi-gigi bayi ketika itu belum ditumbuhkan agar si Ibu tidak kesakitan ketika
anaknya menyusu. Siapakah yang menahan tumbuhnya gigi bayi? Semuanya serba
halus, lembut, dan nyaris tidak ada yang mengetahuinya.
Kedua,
Dia menghamparkan alam raya ini untuk makhlukNya. Allah memberi kepada semua
makhlukNya melebihi yang diminta. Kita tidak pernah minta hidup di dunia ini,
tapi Dia menganugerahi kehidupan. Kita tidak pernah ingin dijadikan manusia,
tapi Allah menakdirkan kita menjadi manusia. Kita tidak pernah minta bisa
berbicara, tapi Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara. Dia telah
memberi sebelum diminta. Di sisi lain, Dia tidak pernah menuntut balas, juga
tidak memberi beban melebihi kemampuan makhlukNya. Adakah yang lebih santun
dari Dia?
Ketiga,
Dia berkeinginan agar semua makhlukNya mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan.
Dia tidak ingin makhlukNya mendapati kesulitan. Al-Qur’an bertutur: “Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kalian dalam
kesulitan.”
Itulah
sebabnya, Allah menyiapkan berbagai sarana dan prasarana kehidupan dan memberi
kemudahan kepada manusia untuk mendapatkannya. Allah melengkapi makhlukNya
dengan berbagai indera, selain naluri yang bersifat alamiah. Khusus untuk
manusia, Allah mengaruniakan akal pikiran dan hati nurani. Dua sarana yang
dikaruniakan Allah itulah yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.
Bagaimana
kita meneladaninya? Pertama, hiasi diri kita dengan akhlakul karimah. Kedua,
jalin hubungan yang harmonis dengan semua makhlukNya. Ketiga, usahakan untuk
memberi sebelum tangan yang meminta mengulurkannya. Berilah sebelum terucap
kata “mohon.” Lakukanlah hal itu kepada isteri atau suami, anak, orangtua, para
fakir miskin, bawahan, dan kepada semua manusia, serta makhluk Tuhan lainnya.
Hanya dengan kelembutan hati kita bisa peduli.
Ya
Lathif, lembutkan hati kami agar kami bisa berempati dan punya peduli. Ya Lathif, haluskan hati kami agar kami bisa berbagi.
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar