"Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi Dia
mencapai segala indera. Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An’am:
103)
Al-Khabir
berasal dari akar kata kha-ba-ra, yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu
pengetahuan dan kelemahlembutan. Dalam Al-Qur’an, kata ini dipakai sebanyak 55
kali. Ada yang berdiri sendiri, tapi lebih banyak lagi yang digandengkan dengan
Asma’ul Husna yang lain, seperti Al-Hakiim al-Khabiir, Al-Lathiif al-Khabiir,
Al-Khabiir al-Bashiir, dan Al-Aliim al-Khabiir.
Dalam
Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI, antara Al-Alim dengan Al-Khabir itu
terjemahannya sama, yaitu Yang Maha Mengetahui. Padahal, keduanya mempunyai
perbedaan arti yang signifikan. Al-Alim mencakup pengetahuan Allah tentang
sesuatu dari sisi-Nya, sementara Al-Khabir adalah pengetahuan-Nya yang
menjangkau sesuatu yang diketahui. Jika yang pertama (Al-Alim) tekanannya lebih
kepada yang mengetahui, sedang pada yang kedua (Al-Khabir) justru yang menjadi
titik tekannya adalah sesuatu yang diketahui.
Ketika
Al-Qur’an berbicara tentang ajal, sesuatu yang sangat rahasia, di mana manusia
tidak bisa mengetahui secara pasti, maka rangkaian sifat Allah yang digunakan
untuk memperjelasnya adalah Al-Aliim al-Khabiir, sebagaimana ayat berikut ini:
“Tidak seorangpun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).
Demikian
juga ketika membahas tentang kualitas kemuliaan dan ketaqwaan seseorang, yang
hanya Dia yang mengetahuinya, Al-Qur’an menggunakan rangkaian Al-Alii
al-Khabiir, seperti ayat berikut: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).
Lain
halnya ketika al-Qur’an berbicara tentang hak prerogatif Allah, berupa rahmat
atau adzab, rangkaian kata yaang dipakai adalah Al-Hakiim al-Khabiir, seperti
ayat berikut: “Barangsiapa yang dijauhkan adzab daripadanya pada hari itu, maka
sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang
nyata. Jika Allah menimpakan suatu?kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas
sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-An’am: 16-18).
Rangkaian
kata yang sama digunakan Al-Qur’an ketika berbicara tentang rincian perilaku
makhluq-Nya yang menyimpang maupun yang lurus. Allah berfirman: “Segala puji
bagi Allah, yang memiliki segala yang ada di langit dan di bumi; bagi-Nya
segala puji di akherat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia
mengetahui apa yang merasuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya, apa
yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.” (QS. Saba: 1-2).
Pasangan
lainnya adalah Al-Lathiif al-Khabiir. Pasangan ini digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang sangat rahasia, sehingga indera biasa tak bakal
mengetahuinya. Allah berfirman: “Dia tak tercapai oleh segala indera, tetapi ia
mencapai segala indera. Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am:
103).
Rangkaian
terakhir adalah Al-Khabiir al-Bashiir, yang dipakai al-Qur’an untuk
menggambarkan pengetahuan Allah tentang segala kebutuhan hamba-hamba-Nya.
Allah berfirman: “Sekiranya Allah melapangkan rezeki bagi hamba-hamba-Nya,
niscaya mereka akan berbuat semaunya di muka bumi. Tetapi Dia menurunkannya
sesuai dengan ukuran yang dikehendaki-Nya; terhadap hamba-hamba-Nya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat.” (QS. Syuura: 27).
Tiada
daun kering yang jatuh dari tangkainya, kemudian ditiup angin sehingga di bumi
mana jatuhnya, kecuali Dia mengetahuinya. Tiada semut hitam yang berjalan di
batu hitam di malam yang kelam, kecuali Dia pula yang mengetahuinya. Kedipan
mata, degupan jantung, dan kehendak dalam hati, diketahui-Nya pula. Lalu ke
mana kita bisa menghindar dari pantauan-Nya?
Hamim
Thohari
0 komentar:
Posting Komentar