Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami
sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami dan anugerahilah kami rahmat dari
sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah al-Wahhab, Maha Pemberi. (QS. Ali
Imraan: 8)
Al-Qur’an
menyebut al-Wahhab di tiga tempat, semua menunjuk kepada sifat Allah. Dari tiga
ayat itu, hanya satu yang dirangkai dengan nama Allah yang lain, yaitu Al-Aziz
(Maha Perkasa) sebagaimana yang terdapat dalam surat Shaad ayat 9, sedangkan
dua lainnya berdiri sendiri.
Al-Wahhab
merupakan Asma Allah yang berarti Maha Memberi. Dia memberikan rahmat kepada
makhlukNya tanpa pamrih, karena Dia tak membutuhkan apapun kepada makhlukNya.
Keagungan
dan kebesaranNya tak berkurang sedikitpun juga jika sekiranya semua manusia
ingkar kepadaNya. Demikian juga sebaliknya, kewibawaan dan kemuliaanNya tak
bertambah sedikitpun juga jika sekirinya semua manusia tunduk patuh kepadaNya.
Dia tak membutuhkan ucapan terima kasih, tak juga tepuk tangan atas semua
kebaikanNya.
Tak
sekadar bebas dari pamrih, Dia juga senantiasa memenuhi kebutuhan makhlukNya
tanpa diminta. Dia memberikan udara segar setiap hari walaupun kebanyakan
manusia tidak memintanya. Dia juga menurunkan hujan, walaupun manusia tidak
berdoa untuknya. Sinar matahari dicurahkan setiap hari, walaupun banyak manusia
tidak menyadarinya. Siapakah yang menyediakan air, udara, dan energi? Tanpa
diminta, Allah telah menyiapkannya.
Hanya
Dia yang pantas menyandang nama Al-Wahhab, sebab semua manusia senantiasa
mengharapkan imbalan ketika bekerja, apalagi ketika memberi sesuatu kepada
sesamanya. Ada tujuan yang ingin diraih di balik kerja kerasnya, baik yang
bersifat materi maupun yang berbentuk spiritual, baik yang bersifat duniawi
maupun ukhrawi.
Itulah
sebabnya, ketika al-Ghazali menjelaskan tentang Al-Wahhab, ia berkomentar
bahwa hanya Allah saja yang patut menyandang sifat itu. Ia berkata, pada
hakekatnya tidak ada pemberian tanpa tujuan dan harapan, kecuali Allah swt.
Setiap manusia pasti berpengharapan atas semua perbuatannya, baik dalam bentuk
pujian, meraih persahabatan, mendapatkan kehormatan, atau paling tidak
menghindari celaan.
Seseorang
‘abid yang senantiasa melazimkan ibadah juga tak lepas dari pamrih untuk
mendapatkan surga atau terhindar dari neraka. Bahkan seorang alim yang
beribadah demi meraih cinta dan syukur kepadaNya belum sepenuhnya terhindar
dari tujuan-tujuan atau harapan meraih imbalan. Itulah sebabnya, Allah tetap
memberi toleransi kepada manusia sepanjang mereka tetap dalam koridor ibadah
yang ikhlas semata karena Allah SWT. Dia membolehkan manusia beribadah karena
mengharapkan surgaNya atau terhindar dari nerakaNya, karena memang hanya
sampai di situ batas kemampuan manusia.
Hanya
Allah saja yang bisa memberi tanpa pamrih, sebab hanya Dia yang tidak
membutuhkan apapun dari makhlukNya. Karenanya, hanya Dialah yang pantas menyandang
nama Al-Wahhab, Maha Pemberi tanpa mengharap Puji, Maha Pemberi tanpa pamrih,
Maha Pemberi tanpa menagih.
Walaupun
demikian, kita bisa meneladani sifat mulia itu sebatas kemampuan kita sebagai
makhlukNya. Dalam hal ini kita bisa meminimalkan harapan atau pamrih kita,
paling tidak, ketika kita memberikan sesuatu, janganlah kita berharap
mendapatkan imbalan yang berlebihan, yang demikian itu disebut riba,
sebagaimana firmanNya:
“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah”. (QS. Ar-Ruum: 39).
“Apa yang kamu berikan dari riba supaya bertambah banyak harta manusia, maka tidaklah bertambah banyak di sisi Allah”. (QS. Ar-Ruum: 39).
Itulah
sebabnya, sejak awal, ketika Rasulullah menerima wahyu yang ketiga, Allah sudah
mengingatkan: “Jangan memberi dengan mengharap imbalan yang lebih banyak”. (QS.
Al-Muddatstsir: 6)
Dalam
prakteknya, kita boleh saja menanti ucapan terimakasih dari orang yang kita
beri, tapi mengabaikannya jauh lebih mulia dan derajatnya lebih tinggi,
sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Nilai-nilai
yang tercermin dari Al-Wahhab itu sangat penting diterapkan oleh para pemimpin.
Setiap pemimpin haruslah memiliki sifat pemurah, suka memberi kepada
bawahannya. Seorang pemimpin yang pelit pasti tidak disukai anak buahnya.
Sebaliknya, pemimpin yang murah hati dan suka memberi pasti mendapatkan
simpati, disukai, dan dicintai rakyatnya.
Lebih
dari itu, pemimpin yang baik tidak akan memberikan sesuatu kecuali mengharapkan
kebaikan dari pemberiannya. Ia tidak memberi asal memberi. Setiap pemberiannya
bernilai motivasi, lebih memilih memberikan kail daripada umpannya.
Adalah
nilai lebih jika para pemimpin memberi tanpa pamrih. Tepuk tangan, ucapan
terimakasih, sambutan meriah akan datang dengan sendirinya, tanpa diminta atau
dinanti.
Hamim
Thohari
0 komentar:
Posting Komentar