Allah-lah
yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan
membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rizki yang baik-baik.
Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.
Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka
sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam. (Al-Ghafir: 64 -65)
Dalam
al-Qur’an, kata Al-Hayy bisa didapati sebanyak sembilan belas kali. Empat belas
ayat berkait langsung dengan sifat dan asma Allah, sedangkan lima ayat yang
lain berbicara mengenai manusia.
Hidup
adalah antitesis mati. Bagi Allah, hidup adalah sifat wajib yang dimiliki,
sebaliknya mustahil bagi-Nya sifat ”mati”.
Ketika
kita membahas sifat dan asma Allah ”Al-Hayy”, terdapat dua pemahaman yang
saling melengkapi. Pertama, bahwa Dia Yang Maha Mencukupi Dirinya sendiri sejak
masa pra-azali dan akan berlangsung selamanya. Sebaliknya, setiap makhluq hidup
hanya bisa hidup atas anugerah dan karunia Allah. Mereka tidak bisa memberi
rizki kehidupan kepada diri mereka sendiri, apalagi kepada yang lain. Manusia
diberi hidup dalam batas yang telah ditentukan, jika telah habis masanya maka
kematian akan segera menemuinya.
”Sesungguhnya
engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)”. (Az-Zumar: 30)
Pemahaman
kedua, Allah hidup tiada berawal dan tiada berakhir. Dia hidup dan tidak pernah
mati. Dia yang menciptakan waktu, dan karenanya Dia tidak dibatasi dimensi
waktu. Bagi-Nya tiada waktu lalu, sekarang, juga yang akan datang. Dia di luar
semua itu.
”Dan
bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (kekal) Yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya, dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya”. (Al-Furqan: 58)
Manusia
tidak bisa hidup langgeng dan abadi seperti Allah. Akan tetapi manusia bisa
melanggengkan hidupnya dengan ”keharuman nama” setelah kematiannya, dengan
meninggalkan karya-karya monumental yang bisa dinikmati manusia selama-lamanya.
Nabi Muhammad telah lama meninggal dunia, tapi beliau telah meninggalkan karya
kemanusian yang luar biasa sehingga namanya tetap langgeng dan abadi hingga
akhir zaman nanti.
Demikian
juga para syuhada, orang-orang yang mati syahid. Orang-orang yang mati karena
memperjuangkan agama Allah ini dalam realitasnya telah mati, akan tetapi pada
hakekatnya mereka tetap hidup. Sekalipun mereka telah mati, tapi betapa
banyaknya manusia hidup yang terinspirasi olehnya? Itulah sebabnya Allah
menegaskan:
”Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah,
(bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu
tidak menyadarinya”. (Al-Baqarah: 154)
Jika
para syuhada’ yang telah lama mati disebut ”tetap hidup” , maka sebaliknya ada
orang yang dapat menarik dan menghembuskan nafas, otak dan jantungnya juga
berjalan normal, akan tetapi karena tidak mendengar dan memperkenankan
panggilan Allah maka orang tersebut dinilai telah mati. Yang demikian itu telah
ditegaskan Allah dalam al-Qur’an:
”Sesungguhnya
kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula)
menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah
berpaling membelakang”. (An-Naml: 80)
Sifat
Allah Al-Hayy sebanyak tiga kali dirangkai dengan sifat Al-Qayyum yang berarti
Maha Berdiri sendiri lagi Maha Mengurus makhluk-makhluk-Nya. Menurut sebagian
Ulama’ hal tersebut memberi teladan kepada manusia bahwa hidup yang
sebenarnya itu bukan sekadar hidup untuk memenuhi dirinya sendiri, tapi hidup
itu pada hakekatnya adalah memberi hidup dan sarana kehidupan kepada pihak
lain.
”Dan
barangsiapa yang menghidupkan (memelihara kehidupan) seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya”. (Al-Maidah: 32)
Dengan
demikian, alangkah mulianya orang yang bersedekah kepada yang sedang lapar dan
haus. Alangkah mulianya para pengusaha yang menyiapkan lapangan kerja dan
membayar para buruh dengan layak dan tepat pada waktunya. Alangkah mulianya
para dokter, apoteker, dan para penyembuh lainnya yang telah bekerja
sungguh-sungguh dan tulus ikhlas untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit.
Demikian juga para polisi dan aparat keamanan lain yang menjaga keamanan dan
perdamaian hidup.
Akhirnya,
kita harus menyadari bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sementara dan
berlangsung sebentar saja. Kehidupan yang sesungguhnya bagi kita adalah hidup
di akherat. Untuk itu mari kita jadikan hidup di dunia ini sebagai bekal untuk
hidup yang sesungguhnya di akherat kelak.
”Sesungguhnya
tempat tinggal di akherat itulah sebenar-benar kehidupan, sekiranya mereka
mengetahui”. (Al-Ankabut: 64)
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar