"Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang
ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235)
Dalam
al-Qur’an, kata al-Halim tidak hanya khas milik Allah, tapi atribut ini bisa
disandang manusia pilihan yang mempunyai sifat dan karakter penyantun.
Setidak-tidaknya ada empat ayat yang digunakan Al-Qur’an untuk memberi gelar
al-Halim kepada manusia.
Mereka
itu adalah Nabi Ibrahim as -- dalam Surat At-Taubah (9): 114 dan Surat
Hud (11): 75. Orang kedua adalah Nabi Ismail, dalam Surat As-Shafat (37): 101.
Kedua nabi tersebut mendapatkan julukan al-Halim langsung dari Allah SWT.
Adapun orang ketiga adalah Nabi Syuaib, dalam Hud (11): 87. Bedanya, yang
memberi gelar Al-Halim adalah kaumnya sebagai sindiran atas keteguhan dan
kesantunannya dalam memperjuangkan misi kenabian.
Adalah
pantas jika Ibrahim mendapat gelar al-Halim, karena kesabaran dan kesantunannya
di luar batas-batas normal. Sekalipun diusir oleh ayahnya karena keyakinannya,
beliau tidak marah, apalagi membencinya. Ia malah mendo’akan agar Allah SWT
berkenan memberi ampunan kepada orangtuanya.
Allah
mengingatkan bahwa mendo’akan orang kafir, sekalipun orangtuanya sendiri adalah
perbuatan sia-sia dan diharamkan agama. Sekalipun begitu, Allah SWT tetap
menghargai sikap santun dan sabar Nabi Ibrahim dengan pujian, bahkan diberi
gelar al-Halim.
Ismail
juga demikian. Ketika ayahnya, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya,
Ismail tidak protes, marah, apalagi membencinya. Justru ia berkata kepada
ayahnya: “Yaa abatif’al maa tu’maru satajiduni minash-shabirin. Wahai ayahku,
laksanakanlah perintah Tuhanmu, engkau akan mendapati aku dalam keadaan
bersabar."
Adakah
kesantunan yang bisa melebihi kesantunan kedua nabi tersebut? Sulit, itu pasti.
Tidak ada manusia yang derajat dan akhlaqnya sampai melebihi nabi. Meskipun
demikian, ada di antara manusia biasa yang sampai ke derajat itu. Ia adalah
Al-ahnaf bin Qois.
Sekalipun
ada manusia yang bergelar al-Halim, sikap santun Allah berbeda: tidak dibatasi
ruang dan waktu. Ia bersifat konstan. Dia yang menyaksikan kedurhakaan para
pendurhaka, melihat pembangkangan para pembangkang, Dia masih memberi
kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri. Dia begitu santun walau
kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi.
Marilah
kita renungkan sifat santun Allah melalui hadits di bawah ini:
“Seorang
hamba Allah melakukan dosa, lalu berdo’a: wahai Tuhanku! Ampunilah dosaku.
Allah SWT berfirman: HambaKu telah melakukan dosa, tetapi ia tahu bahwa ia
mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau menghukumnya karena melakukan
dosa. Kemudian hamba tersebut melakukan dosa lagi, lalu berdo’a : Wahai
Tuhanku! Ampunilah dosaku. Allah swt berfirman: HambaKu melakukan dosa, tetapi
ia tahu bahwa ia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa dan menghukumnya
karena melakukan dosa. Oleh karena itu berbuatlah sesuka hatimu, Aku akan
ampunkan dosamu..." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Allah
Maha Penyantun. Dia tidak memutuskan rizki-Nya kepada orang yang melakukan
dosa, tidak bersegera menjatuhkan hukuman kepada orang yang durhaka. Hadits
Qudsi berikut ini menggambarkan betapa Maha Santun-Nya Allah SWT:
"Jika
engkau mengingat-Ku, Aku pun mengingatmu; jika engkau lupa kepada-Ku, aku tetap
mengingatmu. Jika engkau taat kepada-Ku, maka pergilah kemana pun yang kau
kehendaki. Engkau jadikan Aku pelindungmu, maka aku melidungimu; engkau tulus
kepada-Ku, Akupun tulus kepadamu; engkau berpaling dari-Ku, Aku menuju
kepadamu. Siapakah yang memberimu makan ketika engkau masih berbentuk janin
dalam perut ibumu? Aku yang terus-menerus melakukan pentadbiran yang sempurna
kepadamu, sehingga rencana-Ku terlaksana pada dirimu. Tetapi ketika engkau
Ku-keluarkan menuju ke pentas bumi, engkau bergelimang di dalam dosa. Bukan
begitu pembalasan kepada yang berbuat baik kepadamu."
Hamim
Thohari
0 komentar:
Posting Komentar