"Dan
sebagian dari tanda-tanda (Kekuasaan)Nya kamu melihat bumi itu kering tandus,
maka jika Kami turunkan air di atasnya niscaya ia bergerak dan subur.
Sesungguhnya Tuhan Yang Menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati;
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Fushshilat (43) :
39)
Al-Muhyiy
berasal dari akar kata yang terdiri dari dua huruf, yaitu “ha” dan “ya.” Arti
dasarnya adalah “hidup,” sedang arti keduanya adalah “malu.” Dalam Al-Qur’an,
kata Al-Muhyiy hanya ditemukan dalam dua ayat yang terdapat pada surat Ar-Ruum
(30) : 50 dan surat Fushshilat (41): 39, seperti yang ternukil di atas.
Meskipun demikian, ayat-ayat yang memuat tentang af’al Allah sebagai
penganugerah kehidupan dapat dijumpai di sekitar 50 ayat.
Sebagian
besar dari ayat-ayat di atas yang menjadi obyeknya adalah tanah gersang yang
dijadikan-Nya hidup dan subur, sebagian lagi tentang tanaman, dan yang tidak
kalah pentingnya adalah manusia. Khusus untuk manusia, makna menghidupkannya
bisa ganda, yaitu menghidupkan secara fisik berupa nyawa. Manusia yang telah
mati bertahun-tahun akan dihidupkan lagi pada hari kebangkitan, setelah
semuanya dibinasakan.
Makna
kedua dari menghidupkan adalah menanamkan keyakinan dan iman, semangat baru,
serta menganugerahkan kualitas hidup yang lebih baik. Justru makna kedua tersebut
jauh lebih luas jangkauannya.
Kalau
diperhatikan, betapa banyak manusia hidup yang sesungguhnya telah kehilangan
semangat dan vitalitas? Mereka tidak memiliki tujuan hidup, juga masa depan.
Mereka telah kehilangan harapan, cita-cita, dan kehendak. Mereka ikut ke mana
arah angin bertiup, terombang-ambing di tengah pantai seperti gundukan busa,
kadang di tepi kadang di tengah.
Orang-orang
yang tak lagi memiliki harapan, pada dasarnya tak lebih dari mayat yang
berjalan. Nyawanya memang masih ada, yang karenanya mereka masih bisa berjalan,
akan tetapi jiwanya sudah mati atau setidak-tidaknya sedang sakit.
Itulah
sebabnya Allah berfirman: “Apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu
ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan
orang-orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak
dapat ke luar daripadanya?” (QS. Al-An’am (6): 122)
Selain
memberi cahaya berupa keyakinan yang kuat, iman yang teguh, dan semangat yang
membara, Allah juga menghidupkan manusia dengan menganugerahkan kualitas hidup
yang lebih baik. Allah mengangkat derajatnya, meninggikan kapabilitasnya, dan
memberikan kecakapan hidup yang memadai sehingga orang tersebut mampu bekerja
secara profesional. Kepada mereka, Allah menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
“Barang
siapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan menganugerahkan kepada mereka kehidupan
yang lebih baik. (QS. An-Nahl: (16): 97).
Sebagai
khalifah di muka bumi, sesungguhnya kita juga dapat meniru sifat dan af’al
Allah yang satu ini (Muhyiy) dalam batas-batas tertentu. Ketika kita menjaga
seseorang dari ancaman pembunuhan, maka sesungguhnya kita telah berperan dalam
batas-batas tertentu sebagai al-muhyi.
Allah
berfirman: “Barangsiapa menghidupkan (memelihara kehiduan seorang manusia),
maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (QS.
Al-Ma-idah (5) : 32).
Kita
juga bisa menjalankan peran “menghidupkan” ketika kita memberi dorongan
semangat, motivasi, dan keyakinan kepada saudara-saudara kita yang loyo,
kehilangan vitalitas hidup, murung, dan kehilangan masa depan. Kita bisa
menjadi motivator yang menyuntikkan semangat baru, keyakinan baru, dan
menjanjikan masa depan yang lebih baik. Ketika hal itu kita lakukan, pada
dasarnya kita telah meniru “Al-Muhyiy” dalam batas-batas kemanusiaan kita.
Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada
kamu.” (QS. Al-Anfal (8): 24).
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar