"Dia merendahkan siapa saja yang
dikehendaki-Nya." (QS. Ali Imraan: 26)
Al-Khaafidh
berasal dari kata kerja kha-fa-dha, yang berarti merendahkan. Dalam al-Qur’an
tidak didapati satu ayat pun yang secara langsung menyebut nama Al-Khaafidh.
Meskipun demikian, ditemukan turunan kata itu dalam beberapa ayat, misalnya
dalam surat Al-Waqi’ah: 3 yang menggambarkan hari kiamat sebagai
”Khaafidhatur-Raafi’ah”, (pada hari itu Allah ”merendahkan dan meninggikan”
derajat manusia). Ada manusia yang saat di dunia memiliki tempat dan kedudukan
yang tinggi di depan manusia, tapi oleh Allah pada hari kiamat justru
direndahkannya. Sebaliknya, ada yang dalam kehidupan dunianya direndahkan oleh
manusia, sementara Allah pada hari itu justru meninggikan derajatnya.
Suatu
hari Rasulullah ditanya tentang arti firman ”Setiap saat Dia (Allah) dalam
kesibukan” (QS. Ar-Rahman: 29), beliau menjawab: ”Termasuk kesibukan-Nya adalah
mengampuni dosa, menghilangkan keresahan, meninggikan kelompok-kelompok
manusia, dan merendahkan yang lain”. (HR. Ibnu Majah)
Dari
hadits di atas, kita bisa menangkap makna bahwa Allah swt tidak pernah berhenti
beraktifitas. Dia senantiasa sibuk, selain menjaga rotasi alam, juga mengatur
kehidupan makhluk istimewa-Nya yang bernama manusia. Dia memberi ampunan pada
siapa saja yang bertaubat kepada-Nya, menghilangkan kegelisahan orang-orang
yang stres, meninggikan orang yang berprestasi, dan merendahkan manusia dengan
berbagai sanksi sosial, moral, dan hukum.
Al-Qur’anul
Karim telah menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang berkaitan
dengan kejatuhan, kebangkitan, dan ketinggian.
Berikut
ini adalah salah satu ayat yang menjelaskan tentang hukum tersebut:
”Sungguh
telah Kami ciptakan manusia dalam kesempurnaan ciptaan, kemudian Kami
kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya”. (QS. At-Tiin: 5)
Al-Qur’an
sangat cermat memilih kata, dipilihnya kata ”Kami” untuk menggambarkan
keterlibatan manusia dalam ketinggian dan kerendahan derajatnya. Jika manusia
mengoptimalkan fungsi ruh Ilahi –yang dalam al-Qur’an digunakan istilah ”Min
Ruuhiy”— untuk mengangkat derajatnya ke tingkat ”ahsanu taqwiim, maka tinggilah
derajat kemanusiaannya. Sebaliknya, jika manusia melepaskan diri dari daya
tarik ruhnya dan mengikuti daya tarik bumi (gravitasi) sebagaimana makhluk
binatang yang hidupnya hanya diperuntukkan bagi pemenuhan makan, minum, dan
hubungan seksual semata, maka ia akan meluncur jatuh ke tingkat yang
serendah-rendahnya.
Al-Qurthubi
dalam al-Asmaul Husna mengingatkan: ”Ketahuilah bahwa yang direndahkan Allah
adalah manusia yang terhindar dari taufiq dan pertolongan-Nya, yang diperintah
oleh nafsunya, yang tidak memperoleh kebajikan dari Tuhannya. Apabila berusaha
kembali kepada-Nya, ia tidak mendapatkan bisikan hati tentang kekuasaan-Nya.
Apabila berusaha mendengar bisikan-bisikan hatinya, ia tidak meraih percaya
diri atau kelezatan dalam bermunajat dengan-Nya”.
Untuk
menjaga keseimbangan dan harmoni kehidupan manusia di muka bumi, Allah swt
menerapkan hukum ”reward and punishment”. Hadiah diberikan kepada mereka
yang berprestasi, sedang hukuman diberikan kepada mereka yang melanggar aturan.
Bisa jadi reward and punishment itu tidak diberikan semasa hidup di
dunia ini, tapi yang pasti di akhirat nanti semua orang akan mendapat hadiah
dan sanksi. Orang-orang yang beriman dan beramal shalih akan diangkat
derajatnya dengan mendapat kedudukan yang tinggi (surga), sedangkan mereka yang
kafir, musyrik, dan munafiq akan diberi sanksi dengan hukuman neraka jahim.
Allah menghinakan siapa saja yang layak mendapatkan kehinaan akibat
perbuatannya.
Hamim
Thohari
Terima kasih, Alhamdulillah, barokallohu, bila diperkenankan ijin share ya..
BalasHapus