Di
puncak pencariannya, Muhammad saw menerima wahyu pertama di Gua Hira. Melalui
lima ayat yang diturunkan pertama kali itu, Allah hendak memuaskan dahaga para
pencari kebenaran, termasuk Muhammad tentang penciptaan alam semesta dan segala
isinya. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Sungguh
indah, ketika memperkenalkan sifat dan nama-Nya, Allah tidak serta merta
mengklaim diri-Nya sebagai pencipta melainkan terlebih dahulu memerintah
manusia untuk membaca. Jika manusia telah bersungguh-sungguh membaca alam
ciptaan-Nya, mereka akan segera menemukan bahwa alam yang luasnya tak terhingga
itu pasti ada yang menciptakan. Dia pasti Dzat yang absolut, distink,
dan unique. Jika luasan jagat raya tidak bisa diukur dengan alat ukur
dan alat hitung apapun, maka yang menciptakan pastilah Maha tak terhingga
(absolute). Dzat yang absolute itu pastilah satu, tiada dua-Nya (distink),
dan tiada satupun yang menyamai-Nya (unique). Akal sehat dan ilmu
manusia dapat menjangkau sampai batas ini, tidak bisa lebih dari itu. Maka
hidayah Allah-lah yang kemudian dapat mengantarkan manusia untuk mengenali Sang
Pencipta.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya) berkata: ‘Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imraan: 191)
Al-Qur’an
menyebut kata Al-Khaliq sebanyak delapan kali, dan lebih dari 150 menyebut kata
‘khalaqa’ dan segala variannya. Rahasia di balik pengulangan sebanyak itu
adalah untuk memberi aksentuasi tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam
ciptaan-Nya.
Dalam
banyak ayat, Allah menantang manusia untuk mencari cela di balik ciptaan-Nya.
Al-Qur’an menyebut:
“Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu dapati sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu dalam keadaan
payah.” (QS. Al-Mulk: 3-4)
Memperhatikan
seluruh ciptaan-Nya, akal sehat kita segera menyadari bahwa pastilah sang
kreator itu adalah dzat yang memiliki keluasan ilmu yang menyangkut bahan baku,
kadar dan ukurannya, cara, serta waktu dan tempat yang sesuai agar ciptaan-Nya
dapat berperan sesuai dengan tujuan penciptaan-Nya. Allah tidak pernah gagal
dalam penciptaan segala sesuatu, bahkan Dia menyebut dirinya sebagai “Ahsanul
Khaaliqiin”, The best and the beautiful creator.
Meskipun
Allah menyebut diri-Nya sebagai ahsanul khaaliqin, Dia tetap “tawadhu” dengan
mengakui keterlibatan pihak lain dalam terwujudnya sebuah karya cipta. Ketika
menguraikan penciptaan manusia, Allah menggunakan kata “khalaqna al-Insaana”,
Kami ciptakan manusia. Kata “na” atau “Kami” menunjukkan keterlibatan pihak
lain, dalam hal ini adalah bapak ibu sang jabang bayi. Lain halnya ketika
menyebut penciptaan Adam, Al-Qur’an hanya menyebutnya dengan kata “khalaqtu”,
Aku ciptakan. Demikian halnya dengan penciptaan langit dan bumi. Lagi-lagi,
kita diajak untuk mengenali Akhlaq Ilahi yang luar biasa.
Ajakan
Allah kepada manusia untuk membaca tanda-tanda kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya
bukan semata untuk menjadikan kita berdecak kagum sambil menggelengkan kepada
dan mengucap “subhanallah”. Kagum itu boleh, bahkan harus, tapi lebih
penting dari itu adalah meniru atau meneladani. Jadilah orang yang kreatif.
Ketika
kita menjadi kreatif, jadilah kreator besar. Jangan tanggung-tanggung. Klaim
Allah sebagai ahsanul-khaaliqiin mengarahkan kita untuk memiliki
motivasi untuk menjadi the best. Kita memang tidak bisa menjadi ahsanul-khaaliqiin,
tapi semangat ahsanul khaaliqiin haruslah lekat dan menjadi motivasi
saat kita berkreasi.
Kedua,
jadilah kreator yang jujur. Usahakan setiap kreatifitas itu original. Jangan
sekali-kali menjiplak, sebab penjiplakan itu menunjukkan dua hal sekaligus,
yaitu kebohongan dan kebodohan. Karya jiplakan merupakan penggabungan keduanya.
Masih
berkait dengan kejujuran, jika ada keterlibatan pihak lain sebesar apapun,
akuilah eksistensinya. Jangan mengklaim sendiri. Allah saja masih menggunakan
kata “Kami” bukan “Aku” ketika menjelaskan tentang penciptaan manusia, karena
di sana ada keterlibatan ibu dan bapak dalam proses penciptaan embrional ini.
Gajah
mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya cipta.
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar