"Dia menciptakan segalanya dan menentukan ukuran yang tepat." (QS. Al-Furqaan: 2) |
Sebagian
besar Ulama Islam menganggap kurang etis menyebut Asma Allah Al-Qaabidh tanpa
menyertakan Al-Baasith. Menurut mereka, kesempurnaan Allah terletak pada
kekuasaan-Nya untuk menahan dan melepas, menyempitkan sekaligus melapangkan.
Mereka sangat khawatir jika Al-Qaabidh tidak disandingkan dengan Al-Baasith
akan timbul kesan negatif pada citra Allah. Akan tetapi sebagian Ulama lain
menyebutkan bahwa boleh-boleh saja menyebut Al-Qaabidh tanpa menyertakan
Al-Baasith asal tidak disalah artikan.
Siapa
yang bisa menyalahkan Allah ketika menyempitkan rizki seseorang? Siapa yang
bisa menegatifkan citra Allah ketika memendekkan umur hamba-Nya? Di balik semua
kebijakan-Nya terdapat hikmah yang Dia sendiri mengetahui-Nya, sedangkan
manusia baru bisa mengambil hikmahnya setelah peristiwanya berlalu.
Al-Qaabidh
diambil dari akar kata yang makna awalnya adalah “sesuatu yang diambil” atau
“keterhimpunan pada sesuatu”. Makna dasar ini kemudian berkembang sehingga
melahirkan makna baru, seperti: menahan, menggenggam, menghalangi, dan
menyempitkan. Istilah Al-Qaabidh sendiri tidak dijumpai dalam al-Qur’an sebagai
sifat dan asma Allah, kecuali hanya dijumpai dalam bentuk kata kerja yang
pelakunya adalah Allah swt, sebagaimana ayat berikut: “Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah:
245)
Sekalipun
kata Al-Qaabidh tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa menemukannya
dalam berbagai riwayat hadits, di antaranya menjelaskan tentang kekuasaan Allah
menahan nyawa hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. “Sesungguhnya Allah menahan
nyawa (jiwa) kamu bila Dia menghendaki dan mengembalikannya jika Dia
menghendaki”.
Dari
uraian di atas, setidaknya kita bisa menyimpulkan untuk sementara bahwa
Al-Qaabidh mengandung dua pengertian, yaitu menyempitkan rezeki dan memendekkan
umur. Di tangan-Nya segala urusan rizki, dan di dalam genggaman-Nya pula soal
nyawa makhluk-Nya. Ketika Dia menahan rizki milik-Nya atas seseorang, hendaklah
ia tidak protes, sebab rizki itu milik-Nya dan hak-Nya Dia semata untuk
membagikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Untuk itu, sikap yang baik adalah
menerima dan meyakini akan kasih sayang-Nya. Keyakinan itu hendaknya diwujudkan
dalam bentuk do’a dan ikhtiyar. Terus berusaha keras dan cerdas untuk memperolehnya,
seraya tidak lupa memanjatkan do’a.
Bagi
kita, mengenali sifat dan asma Allah Al-Qaabidh ini akan mendorong kita untuk
berhati-hati menjalani hidup. Kita tidak akan main-main ketika diserahi titipan
jabatan sebagai eksekutif, pengusaha, ulama, hakim, politisi, atau jabatan
apapun, sebab bila Allah melihat sesuatu yang tidak beres atas perilaku
hamba-hamba-Nya, maka Dia segera mengambil tindakan dengan dua tujuan, yaitu
peringatan atau hukuman.
Ketika
kita lalai menjalankan tugas atau menyelewengkan amanah karena khilaf, maka
untuk memperbaikinya atau untuk mengembalikan kita pada “orbit” yang benar,
Allah mengambil tindakan dengan menyempitkan gerak langkah kita melalui
berbagai cara. Mulai dari menyempitkan rizki, memberikan rasa sakit, membatasi
akses dan kesempatan, sampai pada menjadikan kita sesak dada dengan adanya
berbagai tekanan dan himpitan permasalahan. Seorang yang arif ketika menghadapi
situasi seperti ini segera menyadari bahwa itu semua adalah teguran Allah,
kemudian meresponnya dengan kembali pada jalan yang benar sesuai kehendak-Nya.
Untuk
itu kita diajarkan bermunajat kepada-Nya agar diberi hikmah kearifan, rabbi
habli hukman (Tuhan, berilah aku hikmah kearifan) (QS. Asy-Syu’araa: 83).
Dengan hikmah kearifan itu kita bisa menangkap berbagai bentuk “sinyal”
peringatan Allah yang didatangkan kepada kita.
Adapun
bagi mereka yang keras kepala atau hatinya telah mati, berbagai peringatan
Allah tidak direspon secara positif. Mereka tetap berada di jalan yang sesat,
sekalipun peringatan itu datangnya bertubi-tubi. Terhadap mereka ini sudah
sepantasnya diberi hukuman.
Hikmah
lain dari kesadaran kita terhadap Asma Allah Al-Qaabidh adalah penerimaan kita
terhadap segala putusan Allah. Orang-orang yang arif akan memandang bahwa
segala sesuatu yang telah diputuskan Allah pasti terbaik. Hal ini mengharuskan
kita untuk “ridha”, menerima segala ketetapan Allah dengan lapang dada, baik
yang menyenangkan maupun yang tidak. Keridhaan itu merupakan manifestasi dari
keyakinan kita kepada taqdir Ilahi. Dengan keridhaan itu, insya-Allah kita akan
merasakan sekaligus menikmati lezatnya iman. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hamim
Thohari
0 komentar:
Posting Komentar