Wahai
Jabbar! Aku heran melihat yang mengenal-Mu, bagaimana dia memohon kepada
selain-Mu…
Aku tak habis pikir kepada yang mengetahui sifat-Mu ini, bagaimana dia berpaling dari-Mu…..
Bukankah Engkau yang menutupi segala kekurangan, memperbaiki segala kerusakan,
dan mengembalikan keadaan sebaik mungkin.
Aku tak habis pikir kepada yang mengetahui sifat-Mu ini, bagaimana dia berpaling dari-Mu…..
Bukankah Engkau yang menutupi segala kekurangan, memperbaiki segala kerusakan,
dan mengembalikan keadaan sebaik mungkin.
Al-Jabbar,
walau hanya disebut sekali dalam al-Qur’an, yakni pada surat Al-Hashr (59): 23
tapi hampir seluruh (jumhur) Ulama memasukkannya dalam 99 Asma Allah yang mulia
(Asma’ul Husna). Allah memang pantas menyandang nama tersebut, sebab hanya Dia
yang memiliki segala unsur yang terkandung dalam makna Jabbar tersebut.
Al-Jabbar
memiliki makna ketinggian yang tak terjangkau. Ketika makna itu disandangkan
kepada Allah, maka hal itu berarti bahwa Allah memiliki sifat agung yang
menjadikan siapapun tak mampu menjangkau-Nya. Jabbar juga berarti Yang Mahatinggi
sehingga memaksa yang rendah tunduk kepada yang dikehandaki-Nya. Semua yang
terjadi di muka bumi, juga di langit adalah kehendak-Nya. Tak seorangpun yang
mampu menghalangi kehendak-Nya.
Dalam
al-Qur’an Allah menunjukkan keperkasaan-Nya:
"Kemudian
Dia (Allah) menuju ke langit (yang ketika itu) berupa asap lalu berfirman
kepadanya dan kepada bumi, “datanglah kalian berdua dengan patuh atau
terpaksa!”. Keduanya berkata, “Kami datang dengan sukacita”." (QS.
Fushshilat: 11)
Tidak
hanya dalam bentuk firman, Allah juga sering menunjukkan keperkasaan-Nya
melalui berbagai kejadian alam. Contoh yang paling mutakhir adalah gempa alam
dan gelombang Tsunami yang menghancurkan bumi Aceh dan kepulauan Nias. Tak satu
kekuatanpun yang mampu mencegahnya. Hanya yang dikehendaki-Nya saja yang
selamat dari mushibah tersebut. Melalui kejadian itu seolah Allah berpesan
kepada manusia, “Lalu siapa lagi yang mau menyaingi dan menandingi
keperkasaan-Ku?”
Dalam
hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim, Allah berfirman: “Kemuliaan adalah
pakaian-Ku, keangkuhan adalah selendang-Ku, siapa yang mencoba merebutnya
dari-Ku, akan Aku beri siksaan”.
Ketika
penghuni bumi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kecongkakannya, mulai
menyombongkan diri dan lupa kepada penciptanya, maka Allah memberikan pelajaran
melalui berbagai peristiwa yang tak bisa diatasi oleh manusia. Peristiwa itu
bisa berupa gejolak sosial, bisa juga berupa bencana alam. Meskipun demikian,
ternyata banyak di antara manusia yang belum menyadari keperkasaan-Nya. Untuk
itu, sekali lagi, dan ini yang untuk terakhir kalinya, Allah akan menujukkan
keperkasaan-Nya melalui siksa neraka. “Semua muka tunduk kepada Yang Mahahidup
lagi Mahapengatur dan sungguh celakalah orang-orang yang berbuat dzalim.” (QS.
Thaha: 11)
Atas
dasar itulah, jumhur Ulama berpendapat bahwa sifat ini tak layak disandang oleh
manusia. Sebab dalam kenyataannya tak seorangpun yang mampu memaksa yang lebih
rendah untuk tunduk kepada yang dikehendakinya. Manusia tak saja mampu
menciptakan lalat, bahkan merekapun tak sanggup memaksakan kehendaknya pada
lalat. Manusia tak pernah mampu memerintah lalat, bahkan merebut kembali apa
yang telah dirampas oleh lalatpun, mereka tak sanggup melakukannya.
Meskipun
demikian, Al-Ghazali masih memberi sedikit ruang kepada manusia yang terpuji
akhlaqnya menyandang sifat Jabbar. Menurut Imam besar ini, bila sifat ini
diteladani oleh manusia akan menjadikannya menduduki posisi yang lebih tinggi
dari pengikutnya sehingga memaksa (secara otomatis) pengikutnya untuk
meneladani dan mengikuti sikap, perilaku, dan pola hidupnya. Dengan demikian,
ia memberi manfaat, bukan menarik manfaat. Dia mempengaruhi, bukan dipengaruhi.
Dia diikuti, tidak mengikuti. Tak seorangpun yang memandangnya kecuali rindu
kepadanya, bahkan si pemandang itu lupa menoleh pada dirinya sendiri. Sosok
manusia yang paling pantas menyandang sifat ini adalah Muhammad saw. Beliau
bersabda: “Sekiranya Musa hidup, ia tidak dapat kecuali mengikutiku”. (HR.
Ahmad)
Ya
Allah, Yang Maha pedih pembalasan-Nya, Yang Maha pemaksa penentang-Nya. Wahai
Yang Maha Bijaksana, kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya nafsu kami
menyangkut apa yang Engkau tetapkan dan kehendaki. Kami berlindung kepada-Mu
dari kejahatan mereka yang iri terhadap anugerah nikmat-Mu. Ya Allah, wahai yang
menyempurnakan segala yang kurang, Yang memperkaya segala yang miskin, Yang
memberi rasa aman segala yang takut, Yang mempermudah segala yang sulit, Ya
Allah, Tuhan kami, permudahlah untuk kami segala yang sulit, karena bagi-Mu
mempermudah yang sulit itu amat mudah. Amin.
Hamim Thohari
0 komentar:
Posting Komentar