Al-Mumit: Yang Maha Mematikan



Kapan manusia disebut mati? Sebagian kita menjawab, ketika nyawa telah berpisah dengan jasad manusia. Lalu apakah nyawa itu? Jika ada, bertempat dimana? Wujudnya apa? Kapan berpisahnya? 
Dan sesungguhnya Dia yang menjadikan (manusia) tertawa dan menjadikan (mereka) menangis. Dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. (An-Najm: 43-44)
Seorang anak dengan mudah bisa membedakan antara sebatang kayu dengan sebatang pohon. Dia juga mengerti bahwa sebatang pohon itu hidup dan sebatang kayu itu mati. Ketika diminta untuk menjelaskan apa hakekat “kehidupan” dan hakekat “kematian”, mereka hanya bisa bungkam, bahkan seorang profesor botani sekalipun tak bisa menjelaskan. Maksimal mereka hanya bisa menunjukkan tanda-tanda kehidupan, yaitu tumbuh, bergerak, dan berkembang. Jika sesuatu itu tidak tumbuh, tidak bergerak, dan tidak berkembang, maka sesuatu itu berarti telah mati.
Kapan manusia disebut mati? Sebagian kita menjawab, ketika nyawa telah berpisah dengan jasad manusia. Lalu apakah nyawa itu? Jika ada, bertempat dimana? Wujudnya apa? Kapan berpisahnya? Pertenyaan-pertanyaan di atas tidak bisa kita jawab, kecuali bahwa kita yakin bahwa dalam diri manusia yang hidup terdapat nyawa, dan nyawa itu suatu saat akan dicabut oleh Allah yang Maha Kuasa mencabutnya. Dia-lah Al-Mumit, Yang Maha Mematikan.
Dalam realitasnya, seribu satu cara manusia menuju pada kematiannya. Ada yang disebabkan sakit dan ada pula yang karena kecelakaan. Berjuta-juta jenis penyakit, dan beribu-ribu jenis kecelakaan, di laut, di udara, dan di daratan. Berjuta-juta sebab orang mati, tapi hanya satu yang namanya mati, yaitu ketika ajal telah tiba dan ketetapan Allah telah dijatuhkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu”. (An-Nisaa: 78)
Tak ada tempat bersembunyi dari mati. Sekalipun kita membuat benteng yang kokoh, sekalipun kita bersembunyi di dasar laut, jika ajal telah tiba, maka kematian akan menjemput kita.
“Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu”. (Al-Jumu’ah: 8)
Tidak ada orang yang sanggup memberi hidup, juga sebaliknya tidak ada seorang pun yang bisa mematikan. Betapa banyak orang yang berusaha bunuh diri, tapi justru ia selamat. Sebaliknya, berapa banyak orang yang berusaha selamat, ternyata justru mengalami kematian.
Bagi orang yang beriman, kematian itu bukan sesuatu yang harus ditakuti, sebagaimana kehidupan juga tak perlu dikhawatiri. Hidup dan mati adalah ketetapan Allah yang harus diterima sebagai taqdir-Nya. Ketika diberi kesempatan hidup, kita manfaatkan kehidupan itu untuk beribadah dan beramal shalih serta menghimpun sebanyak-banyakanya pahala di sisi Allah swt. Ketika kematian datang, kita sambut dengan suka cita.
Bagi kita, kematian adalah pintu gerbang kehidupan yang sebenarnya. Hanya melalui gerbang itu kita bisa menjumpai kekasih kita, Yang Maha Kasih, yaitu Allah saw. Hanya dengan kematian itu kita bisa menjumpai surga, suatu tempat yang telah dijanjikan berulang-ulang oleh Allah dalam al-Qur’an. Hanya dengan memasuki pintu gerbang yang berupa kematian itu kita bisa menjumpai manusia terbaik, rasul yang paling mulia, Muhammad saw. Betapa indahnya gerbang kehidupan yang sebenarnya itu?
Meskipun demikian kita tidak mengharapkan kematian, sebab kita juga belum merasa cukup mengumpulkan bekal menyusuri kehidupan yang begitu panjang. Tabungan amal shalih kita belum mencukupi untuk bekal hidup di akherat nanti. Kita masih perlu mengumpulkan pundi-pundi pahala. Kita masih terlalu sibuk mempersiapkan bekal hidup di dunia yang tidak terlalu lama. Kita masih lalai mengingat mati.
Ketahuilah bahwa kita semua adalah calon-calon mayat. Saat ini kita hanya menunggu giliran, kapan waktunya Allah mencabut nyawa kita, memisahkan nyawa dari jasad kita, dan mengembalikan jasad pada asalnya, yaitu tanah dan mengirim “ruh” kita kembali ke alam kehidupan yang sebenarnya. Sayangnya, disana hanya tersedia dua pilihan untuk tempat tinggal manusia, surga atau neraka. Bekal kita selama hidup di dunia akan menentukan di mana kita akan tinggal selama-lamanya.
Hamim Thohari

Related Posts:

  • Al-Wasi’, Yang Maha Luas Al-Wasi’ merupakan turunan dari kata wa-si-’a, yang berarti luas, lapang, daya tampung, berkelimpahan, meliputi, kaya, dan arti lain yang serupa. Orang yang menguasai berbagai ilmu disebut luas ilmunya. Orang yang mudah m… Read More
  • Al-Mujib, Yang Maha Mengabulkan "Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku menjawab do’amu.' Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdo’a), akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina." (QS. Al-Muk… Read More
  • Al-Muqit, Yang Maha Memberi Kekuatan "Barangsiapa yang memberikan syafa’at dengan syafa’at yang baik, niscaya ia akan mendapatkan bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at dengan syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (do… Read More
  • Al-Hakim, Yang Maha Bijaksana "Dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. 5: 118) Dalam al-Qur’an, kata Al-Hakim diulang sebanyak 97 kali. Pada umumnya kata tersebut dipakai untuk menyifati … Read More
  • Al-Hasib, Yang Maha Membuat Perhitungan "Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan Dia Mahacepat perhitungan-Nya." (QS Ar-Ra’d: 41) Apabila kita rajin mengamati benda-benda kosmos di angkasa, kita a… Read More

0 komentar:

Posting Komentar