Seandainya Allah SWT tidak merubah kiblat kaum
muslimin dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah,
maka dapat dibayangkan betapa kerasnya konflik keagamaan antara kaum
Muslim-Yahudi-Nasrani pada saat ini.
Bait Al-Maqdiq adalah simbol kiblat tiga agama
samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), karena ketiganya memiliki akar sejarah keagamaan dengan tempat mulia
tersebut. Namun kesucian tempat tersebut seharusnya diikuti dengan tetap suci
dan aslinya tiga ajaran agama samawi, sehingga dua ajaran yang pertama
mengukuhkan satu ajaran yang terakhir.
Namun kenyataan
yang terjadi justru sebaliknya. Maka Allah SWT meridhai
kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait
Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah
Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad)
sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang
engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144).
Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan
tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi
perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap
kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh
dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami
beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7).
Sementara orang-orang munafik, menanggapi
perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara
keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi
mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan
golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh
antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama
benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti
selama ini ia berada dalam kebatilan."
Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat
umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang
diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat
tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya
para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan
menghadap kiblat para nabi terdahulu."
Apapun reaksi
mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti
karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT
yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya: pertama, penyatuan seluruh
syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah
sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi.
Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait
Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan
dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun. Ketiga, sebagai ujian keimanan
kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya
sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga
kembali dalam kekafirannya. Wallahu A'lam.
Muhammad Hariyadi,
0 komentar:
Posting Komentar