Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (6-habis)


Penampakan
Ibnu Arabi (638H/1240) mempunyai pengalaman rohani yang memandang perempuan lebih berpotensi untuk melakukan penampakan (tajalli/experience of teophany).

Hal ini bisa kita lihat di dalam artikel-artikel terdahulu tentang pendapat Ibnu Arabi soal potensi khusus yang dimiliki kaum perempuan.

Sebagaimana para sufi lainnya, Ibnu Arabi memberikan penilaian khusus untuk perempuan sebagai pemilik jenis kelamin utama. Ia pernah berkata di depan para muridnya yang mayoritas laki-laki.

“Jika kalian ingin memperoleh kedekatan khusus kepada Allah SWT, kalian terlebih dahulu harus menjadi perempuan.” Kepasrahan total dan kesabaran paripurna yang dimiliki perempuan membuatnya mulia di mata-Nya.

Para filsuf, termasuk Fakhr Ad-Din Ar-Razi (606 H/ 1209 M), menganggap perempuan tidak akan pernah menjadi nabi. Meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan.

Apa yang terjadi terhadap istri Nabi Musa, hal yang sama juga terjadi terhadap lebah madu, yang secara eksplisit juga menerima wahyu, wa auha Rabbuka ila an-nahl (QS An-Nahl [16]: 68).

Menurut Ibnu Hazm, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan kenabian perempuan. Bagi Ibnu Hazm, lain nabi lain rasul.

Ibnu Hazm mengakui tidak ada rasul perempuan, tetapi ia juga mengakui adanya nabi perempuan. Ibnu Hazm menganggap Maryam sebagai nabiyyah meskipun ia bukan sebagai Rasul.

Bagi kita, apakah Maryam itu Nabiyyah atau bukan tidaklah menjadi persoalan penting. Yang paling penting buat kita ialah Maryam telah menjalankan misi spiritualnya yang teramat penting.

Ia telah mengandung dan melahirkan anak yang terkenal dengan Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut agama Kristen. Misi utama Maryam-Nabi Isa telah berupaya untuk melangitkan manusia setelah dibumikan Hawa-Adam.

Ke halaman awal

Nasarrudin Umar


Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (5)



Namun, opsi pandangan ini bisa disanggah. Kata al-rijal di dalam Alquran tidak selamanya berarti laki-laki secara biologis.

Kata al-rijal bisa juga berarti gender maskulin (QS Al-Baqarah [2]: 282), orang tanpa membedakan laki-laki atau perempuan (QS Al-A’raf [7]: 46), nabi atau rasul (QS Al-Anbiya’ [21]: 7), tokoh yang memiliki sejumlah kapasitas (QS Yaasin [36]: 20), dan budak (QS Az-Zumar [39]: 29).

Opsi kedua menganggap adanya kemungkinan nabi perempuan. Pendapat inilah yang didukung Ibnu Hazm, dengan penjelasan bahwa nubuwwah berasal dari kata inba’, berarti ‘berita atau informasi’.

Nabi adalah orang yang memperoleh informasi dari Tuhan. Informasi ini dibedakan ke dalam beberapa tingkatan, antara lain informasi berupa wahyu kepada para nabi, ilham kepada para wali, taklim kepada para awam, dan thabi’ah berupa informasi kepada segenap makhluk, termasuk binatang, sebagaimana halnya lebah (QS aA-Nahl [16]: 68).

Ibnu Hazm membedakan antara kenabian (nubuwwah/prophecy), keraguan (dzann), ilusi (tawaahum/illution), (kahana/divination), dan astrologi.

Wahyu yang turun kepada seseorang biasanya mempunyai cara atau proses. Pertama, wahyu melalui perantara malaikat Jibril dan yang kedua wahyu yang turun langsung kepada seseorang tanpa wasilah.

Wahyu yang turun kepada perempuan menurut Ibnu Hazm, antara lain Maryam diberi tahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam [19]: 17- 19, Al-Maaidah [5]: 75, dan Yusuf [12]: 46).

Selain Maryam, putra Imran juga dikemukakan ibunda Isa, serta Asiah, putri Muzahim yang juga menjadi istri Firaun diindikasikan pula sebagai nabi, mengingat intensifnya pemberitaan Alquran tentang figur ideal perempuan tersebut.

Istri Nabi Ibrahim diberi tahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud [11]: 71-73). Ibu Nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberi tahu bahwa anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS Al-Qashash [28]: 7 dan QS Thaha [20]: 38).
Nasarrudin Umar

Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (4)


Paruh kedua abad 4 H/10 M, Abu Bakar Muhammad bin Mawhab Al-Tujibi Al-Qabri (406 H/1015 M) seorang ulama besar di Andalusia, Spanyol, pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial: perempuan boleh menjadi seorang nabi. Bahkan, tak segan ia menunjuk sejumlah perempuan sebagai nabiyyah.

Adalah Maryam, satu dari sekian nabiyyah yang ia sebutkan. Pendapat Al-Tujibi ini mendapat respons ulama kala itu. Reaksi keras muncul dari Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al-Ashili (392 H/1001 M).

Menurut dia, Maryam bukanlah seorang nabi, melainkan hanya sebagai shiddiqah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Maidah [5]: 75.

Kontroversi ini berkembang luas di Kordoba. Akhirnya, diredam oleh Al-Mansur bin Abi Amir yang secara de facto adalah penguasa Andalusia di bawah kendali Bani Umayyah. Namun, ia tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung kenabian Maryam.

Tidak lama kemudian, muncul seorang pemuda cerdas, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm Al-Andalusy (456 H/ 1064 M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, “al-Fahslu fi al-Milal wa al-Ahwai wa an-Nihal”, Juz V dalam sebuah topik khusus, ‘Kenabian Perempuan’ (Nubuwwah al-Mar’ah).

Kontroversi tentang kenabian perempuan di kalangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama, kelompok ulama yang menolak kemungkinan adanya nabi perempuan. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama.

Argumentasi mereka, yaitu Surah Yusuf [12]: 109 dan dengan redaksi yang mirip di dalam An-Nahl [16]: 43. Dinyatakan, “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.”

Halaman Selanjutnya

Nasirrudin Umar

Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (3)



Maryam juga berjumpa dengan Jibril. Bahkan, bukan hanya mengisyaratkan kepadanya wahyu, tetapi meniupkan roh yang kemudian menjelma menjadi Nabi Isa, kemudian Nabi Isa menjadi kalimat Allah (al-Kalimah), sebagaimana dalam firman-Nya:

“(Ingatlah), ketika Malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS Ali Imran [3]: 45).

Kata kalimah dalam ayat ini memiliki banyak sekali interpretasi para ulama dan teolog, sebagaimana yang pernah dibahas dalam artikel terdahulu, terutama dalam: “Apa Makna Ayat menurut Para Sufi”.

Dalam ayat lain lebih tegas lagi menyebut Maryam “ayat”: “Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)-nya roh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam.” (QS al-Anbiya’ [21]:91).

“Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir. (QS al-Mu’minun [23]: 50).

Setelah kita melihat berbagai keutamaan yang dimiliki Maryam, maka pertanyaan yang mengusik ialah mengapa Maryam tidak disebut nabiyyah menurut mayoritas ulama? Bukankah semua kriteria kenabian telah dimilikinya?

Pertanyaan yang sama juga muncul kepada sejumlah perempuan utama lainnya seperti Ummi Musa, yang secara eksplisit disebutkan ia menerima wahyu dari Allah (wa auhaina ila Ummi Musa, QS al-Qashash [28]:7).

Apakah memang perempuan tidak bisa menjadi nabiyyah? Siapa yang mencekal perempuan menjadi nabiyyah, apakah ada dalil tekstual atau logika, atau budaya misoginis yang sangat kental di dalam tradisi Semit?
Nasirrudin Umar

Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (2)



Seorang Nabi atau Rasul biasanya disertakan kepadanya mukjizat. Mukjizat ialah suatu perbuatan luar biasa (amrun khariqun lil ‘adah) yang diberikan kepada para nabi untuk meyakinkan dirinya sebagai nabi.

Seperti perahu Nabi Nuh menantang tsunami, Ibrahim tidak terbakar oleh api, Sulaiman memerintah jin, angin, dan binatang buas, Musa diberikan tongkat ajaib yang bisa membelah lautan, dan Isa menghidupkan orang mati.

Mungkinkah perempuan menjadi nabiyyah?
Dalam beberapa artikel terdahulu dibahas misteri Maryam. Kali ini kita akan mengukur kapasitas yang dimiliki Maryam, apakah dia memenuhi unsur sebagai seorang ‘nabi perempuan’ (nabiyyah) atau tidak?.

Maryam memiliki berbagai kekhususan. Di antaranya Alquran sendiri memberikan pengakuan bahwa Maryam seorang yang shiddiqah yang diterjemahkan oleh Alquran terjemahan versi Kementerian Agama dengan “seorang yang sangat benar”:

“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar (shiddiqah), kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS al-Ma’idah [5]: 75).

Maryam juga memiliki keluarbiasaan, yaitu bisa mengandung dan melahirkan Nabi Isa dalam keadaan perawan suci tanpa pernah bersentuhan dengan laki-laki, seperti dilukiskan Alquran:

”Maryam berkata, ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!’. Jibril berkata, “Demikianlah. Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.’ Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (QS Maryam [19]: 20-22).

Nasarrudin Umar

Benarkah Maryam Seorang Nabiyyah? (1)



Kata nabi berasal dari bahasa Arab. Akar katanya naba’a berarti memberitakan atau memberitahukan, kemudian membentuk kata al-nabiy berarti orang yang mendapat berita dari Allah (man anba’a ‘anillah), nabi atau pembawa berita.

Kriteria seorang nabi dalam literatur Islam, antara lain, diturunkan kepadanya wahyu melalui perantara malaikat dan memiliki perbuatan luar biasa (mukjizat) yang bisa meyakinkan masyarakatnya.


Perbedaan antara nabi dan rasul ialah, nabi orang yang memperoleh wahyu dari Allah SWT hanya untuk dirinya sendiri, tidak wajib disampaikan kepada umat atau masyarakat.

Sedangkan rasul ialah seorang nabi yang memperoleh wahyu dari Allah dan wahyu itu wajib disampaikan kepada umat dan masyarakat. Dalam hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim dari Abu Dzar berkata, “Berapa nabi secara keseluruhan? Dijawab, “100.000 nabi”. Sedangkan rasul hanya diperkenalkan 25 orang dalam Alquran.

Istilah yang digunakan Alquran untuk mengidentifikasi seorang nabi atau rasul, antara lain, bisa dipahami secara eksplisit yaitu Allah menyampaikan wahyu kepada mereka, seperti kata wa auha … (saya wahyukan):

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS An-Nisaa’ [4]:163).

Biasa juga digunakan istilah “al-shiddiq” (orang yang amat dipercaya), seperti: ”(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru), “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya’ (al-shiddiq), terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS Yusuf [12] :46).

Halaman Selanjutnya

Nasarrudin Umar

Kreativitas Ramadhan



The power of Ramadhan betul-betul faktual bagi umat Islam. Dilihat dari sudut pandang dan dimensi kehidupan apa pun, Ramadhan memberikan arti penting bagi umat Islam. Puncak-puncak prestasi peradaban dan kebudayaan dunia Islam hampir semua terjadi di dalam bulan suci ini.

Bulan Ramadhan bagaikan memiliki kreativitas secara khusus bagi umat Islam. Pantas kalau seluruh umat Islam selalu mendambakan kehadiran Ramadhan di dalam menjalani perjalan hidupnya.

Nabi SAW pun mengajarkan doa, Allahumma balligh wa barik lana Ramadhan (Ya Allah sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan dan berkahilah kami di dalamnya).

Bulan Ramadhan menjadi penting bukan hanya karena di dalamnya ada rukun Islam berupa puasa dan zakat atau banyaknya ibadah-ibadah sunah yang amat istimewa yang hanya ada di dalamnya.

Tetapi juga, fenomena Ramadhan juga terasa di dalam dunia ekonomi seperti geliat dinamika perkembangan pasar, mobilitas vertikal masyarakat dengan segala dampaknya, seperti kemacetan di jalan raya, kepesatan di bandara dan pelabuhan.

Bulan Ramadhan betul-betul berjumpa antara kesemarakan (scope) dan pendalaman (force) agama. Aspek kesemarakan dapat disaksikan bagaimana misalnya media massa secara spektakuler mengoptimalkan acara-acaranya selama 24 jam. Seolah-olah tidak ada selebriti yang menganggur pada bulan Ramadhan.

Konon, media-media publik meraup keuntungan berlipat ganda melalui iklan di dalam bulan Ramadhan. Hotel-hotel dan mal-mal didekorasi secara islami.

Aspek pendalaman dapat disaksikan dengan maraknya iktikaf di berbagai mesjid, kajian-kajian intensif untuk mendalami ajaran Islam semakin tumbuh dan berkembang, bukan hanya di dalam kampus, masjid/mushala dengan pesantren kilatnya, tetapi juga kantor-kantor dan acara buka puasa yang diisi dengan pendalaman agama.

Ternyata peristiwa-peristiwa paling monumental dalam dunia Islam banyak sekali terjadi di dalam bulan suci Ramadhan. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut ialah pertama kali turunnya ayat suci Alquran sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi.

Kemenangan besar pasukan Rasulullah di dalam Perang Badr yang bersejarah itu, bertepatan pada 17 Maret 624 M atau 17 Ramadhan tahun ke-7 H.

Perebutan kembali kota Makkah (Fathu Makkah) juga berlangsung pada bulan Ramadhan 8 H, dan setahun kemudian berlangsung Perjanjian Tsaqif yang monumental itu. Peristiwa lainnya adalah Diplomasi Qadasiayah yang membawa keuntungan besar bagi umat Islam yang terjadi dalam Ramadhan 15 H.

Penaklukan Rodesia berlangung pada Ramadhan 53 H, Perang Andalusia Spanyol (Ramadhan 91 H), penaklukan kota Spanyol (Ramadhan 92 H), serta runtuhnya Daulat Bani Umayyah yang dinilai sudah banyak korup digantikan rezim baru Bani Abbasiyah (Ramadhan 132 H).

Kejadian lainnya adalah Pemisahan diri Mesir dari Dinasti Abbasiyah (Ramadhan 253 H), pendirian Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir, Universitas tertua di dunia (Ramadhan 361 H) oleh Dinasti Fatimiyah (Syi'ah).

Salahuddin al-Ayyubi juga menghalau pasukan Salib dan merebut Kota Surya pada Ramadhan 584 H, Pasukan Salib dikalahkan di Baibars (Ramadhan 675 H), dan beberapa negara Islam memperoleh kemerdekaan dari penjajah dalam bulan Ramadhan, termasuk Negara Republik Indonesia.

Sejumlah pusat kerajaan lokal di kepulauan nusantara menyerah kepada sistem pemerintahan yang bercorak Islam (Sulthan), termasuk di antaranya Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, kerajaan terakhir di kawasan Timur Indonesia menyerah ke pemerintahan baru bercorak yang Islam juga pada Ramadhan.

Peristiwa demi peristiwa yang menakjubkan di atas tentu bukan hanya terjadi pada masa lampau tetapi juga akan terjadi pada diri kita. Semoga kreativitas dan kualitas Ramadhan kita kali ini jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Nasarrudin Umar

DAUNI - Kyai Kanjeng (Lirik Lagu dan terjemahannya)

Lirik Lagu Dauni dan terjemahannya
دَعُوْنِي دَعُـوْنِي أُنَاجِي حَبِيْبِي
Tinggalkan diriku sendiri
Tinggalkan diriku sendiri untuk memanggil kekasihku
 وَلاَ تَعْذُ لُوْنِي فَعَذْلِي حَرَامْ
Jangan kau halangi diriku
Jangan kau halangi diriku dari sesuatu yang utama ini
تَعَلَّمْ بُكَايَ وَنُحْ يَاحَمَامْ
Kabarkan akan tangis dan ratapanku wahai kematian
 وَخُذْ عَنْ شُجُوْنِي
 وَخُذْ عَنْ شُجُوْنِي دُرُوْسَ الْغَرَامْ
matikan kesedihanku..
matikan kesedihanku.. sirnalah kerinduanku
لاَمُوْنِي لاَمُوْنِي بِحُبِّكْ رَمُوْنِي
Mengapa mereka mencelaku, mereka mencelaku karena aku mencintaimu
 يَاقُـرَّةْ عُيُوْنِي عَلَيْكَ السَّلامْ
Wahai penyejuk mataku bagimu segala keselamatan.
فُؤَادِي لِنَحْوِ الْمَدِ يْنَةِ هَامْ
Hatiku tertuju pada Kota Madinah,
 وَقَلْبِي تَوَلَّعْ بِخَيْرِا ْلأَ نَامْ
Hatiku berisi kecintaan pada lebih utamanya makhluk (Rasuulullah)



Witir, Bukan Sekadar Penutup Tarawih



Witir bukanlah semata-mata penutup shalat tarawih (qiyamul lail) di bulan Ramadhan, walaupun akhir tarawih selalu ditutup dengan witir. Witir merupakan shalat sunah muakkadah yang jumlahnya ganjil (1, 3, 6, 9 dan 11) dan menjadi penutup shalat sunah seseorang dalam waktu sehari semalam.

Sifat shalatnya yang ganjil sangat disukai oleh Allah SWT, sebab keganjilan merujuk pada ke-esa-annya. Oleh sebab itu, rangkaian shalat sunah seseorang dalam sehari semalam hendaknya ditutup dengan witir sebagai bukti pengesaan hamba kepada Tuhan.

Umumnya kaum Muslimin bermalas-malasan dan melupakan shalat witir di luar bulan Ramadhan. Padahal Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah SWT telah memberikan tambahan banyak karunia dengan shalat witir yang lebih baik bagimu daripada unta gemuk yang bagus." (HR. Tirmidzi).

Di dalam madzhab Hanafi, hukum shalat witir adalah wajib (di bawah fardu dan di atas sunnah muakkadah) serta wajib diganti (qadha) lain waktu jika tidak dilakukan atau terlupakan.

Hal tersebut karena madzhab Hanafi secara tekstual bersandar pada hadis yang sanadnya shahih dari Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat witir adalah hak, barang siapa tidak lakukan witir maka ia bukan golongan kita (diucapkan tiga kali)." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Witir yang dimaksud di sini bukanlah witir setelah shalat Isya, melainkan witir menjelang shalat Subuh, setelah seorang hamba habis-habisan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai shalat sunahnya. Sehingga saat terjadi pergantian jaga antara malaikat malam ke siang dan sore ke malam, mereka dapat menemui kita dalam keadaan bersujud kepada Allah SWT.

Walaupun diperbolehkan shalat witir satu rakaat, namun sebagian ulama memakruhkannya. Hal tersebut karena asal muasal rakaat shalat adalah dua atau yang dapat dibagi dua. Sehingga sempurnanya witir adalah tiga rakaat karena ia bilangan ganjil terkecil yang dapat dibagi dua dan utamanya dilakukan dengan dua rakaat plus satu, bukan tiga rakaat sekaligus.

Dari Abdullah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Aisyah RA berkata, "Rasulullah SAW melakukan shalat witir dengan tiga rakaat."

Adapun jumlah terbesar shalat witir sebelas rakaat tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya antara berbagai madzhab.

Semoga Allah SWT memberikan kemudahan kepada kita untuk melakukan shalat witir di luar Ramadhan sebagaimana Allah meringankan kita melaksanakannya di bulan Ramadhan. Apalagi setelah kita menyadari banyaknya tambahan karunia yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang melanggengkan penutupan shalat sunahnya dengan witir.

Muhammad Hariyadi

Tradisi Iktikaf Akhir Ramadhan




Sesungguhnya iktikaf bukan merupakan ibadah khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Iktikaf (berdiam diri di Masjid dengan menyibukkan beribadah kepada Allah SWT) dapat dilakukan setiap waktu dan kesempatan baik oleh seorang Muslim maupun Muslimah termasuk anak-anak yang telah mencapai umur baligh (dewasa).

iktikaf hukumnya sunah muakkadah dan wajib dilakukan di masjid, bukan di tempat lain seperti rumah atau semacamnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan sujud." (QS. Al-Baqarah: 125).

Adapun banyaknya orang yang melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan didasarkan pada sunah Rasulullah SAW yang senantiasa meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadahnya pada sepuluh hari terakhir tersebut.

Di sepuluh hari terakhir itu Rasulullah SAW menambah jumlah qiyamul lail-nya, memperbanyak shalawat, dzikir, istighfar, tahmid, takbir dan tahlil kepada Allah SWT serta membaca Alquran, disamping melakukan iktikaf di masjid sebanyak sepuluh hari dalam rangka mencari Lailatul Qadar dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT. Pada Ramadhan terakhir menjelang wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari.

Dari Abu Hurairah RA, "Adalah Rasulullah SAW yang senantiasa melakukan iktikaf sebanyak sepuluh hari pada setiap Ramadhan. Pada Ramadhan di mana beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari." (HR. Bukhari).

Iktikaf sendiri menurut para ulama dapat dilakukan dalam waktu sesaat seperti satu, dua jam atau lebih, baik pada waktu siang maupun malam. Yang terpenting dalam kegiatan iktikaf tersebut adalah seseorang berada di masjid dan tinggal di dalamnya karena hal itu merupakan rukun iktikaf; menyibukkan diri dengan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT; serta mulut maupun hatinya hanya disibukkan dengan kebaikan dan jauh dari kesibukan duniawi.

Namun, disunahkan iktikaf dilakukan paling sedikitnya sehari-semalam, karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan iktikaf kecuali sedikitnya dalam waktu sehari-semalam.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan iktikaf sebagaimana dikatakan oleh Aisyah dalam riwayat Abu Daud antara lain seseorang yang beriktikaf hendaknya tidak sakit, tidak melihat jenazah, tidak mencium suami/istrinya, dan tidak keluar dari masjid untuk kebutuhan yang tidak penting. Sedangkan utamanya, iktikaf dilakukan dalam keadaan berpuasa dan di tiga masjid utama Islam, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha.

Mereka yang berkesempatan melakukan umrah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan memiliki keutamaan tempat, waktu, situasi/kondisi, dan momentum karena dapat melakukan iktikaf di Masjidil Haram/Nabawi/Al Aqsha, pada bulan Ramadhan, dalam kondisi berpuasa, serta pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dapat kita bayangkan betapa mudah Allah SWT mengabulkan doa-doanya.

Namun, Rahmat Allah sangatlah luas dan tidak pernah memaksa di luar batas kemampuan kita masing-masing, sehingga kita yang belum dan tidak memiliki kesempatan untuk datang ke Masjidil Haram, pelaksanaan iktikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan tetap merupakan momentum yang baik sebab keutamaan ibadah dan dikabulkannya doa terletak pada detik-detik terakhir saat ibadah usai dilaksanakan. Wallahua'lam.

Muhammad HAriyadi

Tobat yang Tertolak



Allah SWT adalah Tuhan yang Mahapenyayang, sehingga menerima tobat orang-orang yang melakukan perbuatan keji (QS. An-Nisa': 17); kejahatan (QS. An-Nisa': 18); pembunuhan (QS. An-Nisa': 92); kesalahan (QS. Asy-Syura: 25); dan pelanggaran terhadap larangan-Nya.

Secara garis besar, semua bentuk pelanggaran tersebut akan diampuni oleh Allah SWT selama memenuhi tiga persyaratan, yaitu berhenti dari perbuatan jahat, menyesali sungguh-sungguh perbuatan yang dilakuka, dan tidak akan mengulanginya pada masa yang akan datang.

Di dalam Surah An-Nisa, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Mahamengetahui, Mahabijaksana.”

“Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertobat sekarang.’ Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih." (QS. An-Nisa': 18-19).

Ayat di atas paling tidak mengandung tiga perkara. Satu perkara berkaitan dengan diterimanya tobat dan dua perkara lainnya berkaitan dengan tobat yang ditolak. Pertama, mereka yang diterima tobatnya adalah yang melakukan kejahatan, lalu menyadari kejahatannya dan segera bertobat.

Mayoritas ahli tafsir menegaskan bahwa arti segera di dalam kalimat tersebut berarti secepatnya bertobat setelah melakukan kejahatan sebab orang yang cerdas adalah mereka yang segera bertobat setelah melakukan kejahatan, tidak mengakhirkannya karena dapat menyebabkan hatinya bertambah keruh, jiwa menjadi lemah, dan dipermainkan hawa nafsu, disamping setiap orang tidak mengetahui kapan ajalnya tiba.

Kedua, Allah SWT tidak menerima tobat seorang hamba yang dilakukan menjelang ajal tiba. Mereka yang terbiasa bergelimang dosa tanpa penyesalan dan kemauan bertobat selama hidupnya memanfaatkan kesempatan (bertobat) dalam kesempitan (datangnya ajal), namun Allah SWT menolaknya dengan alasan tobatnya dilakukan dalam kondisi darurat, bukan dalam kondisi normal dan banyak pilihan.

Allah SWT mengulang beberapa kali firman-Nya dalam kasus tersebut, salah satunya berkaitan dengan Fir'aun, "... ketika Fir'aun hampir tenggelam dia berkata, aku percaya bahwa tidak ada tuhan selain Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang muslim (berserah diri)." (QS. Yunus: 90).

Ketiga, mereka yang tidak diterima tobatnya adalah orang-orang yang telah mati dalam kekafiran atau tidak membawa keimanan. Hal tersebut karena kematian berarti penutupan pintu harapan perbaikan disamping kekafiran berarti peniadaan eksistensi Tuhan.

Dalam ayat tentang kekafiran (kemusyrikan), Allah SWT berfirman, "Sungguh, Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki... " (QS. An-Nisa': 116).

Maka sepanjang Allah SWT masih memberikan umur dan kesehatan, hendaknya seorang mukmin menyegerakan diri menuju ampunan Allah dengan bertobat dan meminta maaf kepada sesama sebelum pintu tobat benar-benar tertutup baginya. Hal tersebut karena mensegerakan tobat merupakan salah satu karakter orang-orang yang bertakwa.

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali Imran: 133). Dan tiadalah orang yang bertakwa, kecuali Allah akan membalasnya dengan surga. Wallahu a'lam.

Muhammad Hariyadi

Tiga Misi Risalah Kenabian



Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian selama 23 tahun, 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah.

Misi tersebut dijalankan Rasulullah dengan sukses disertai rida Allah SWT, sehingga pada penutup wahyu-Nya, Allah SWT berfirman: "Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maidah: 3).

Dr Muhammad Basam Al-Zein Dalam  karyanya "Muhammad Rasulullah" membagi misi kenabian Muhammad SAW dalam tiga bagian.

Pertama, pembacaan ayat-ayat Alquran. Pembacaan di sini berarti bahwa Allah SWT mengajarkan pembacaan dan makna Alquran kepada Muhammad melalui Jibril AS lengkap dengan pengucapan makhraj huruf, tajwid, urutan dan sistem aturan di dalamnya (QS. Ar-Rahman: 1-2).

Kemudian pengajaran di sini juga berarti bahwa Rasulullah SAW lalu mengajarkan Alquran kepada para sahabatnya, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, para tabiin mengajarkan kepada tabiit-tabiin, dan begitu seterusnya hingga pada generasi Alquran terakhir hari kiamat nanti.

Allah SWT berfirman, "Dan Alquran (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap." (QS. Al-Isra': 106).

Kedua, penyucian jiwa. Rasulullah SAW telah melakukan penyucian jiwa orang-orang terdekat dan para sahabatnya dengan cara menanamkan dan menumbuhkan keimanan di dalam hati mereka; mengalahkan hawa nafsu mereka; mendidiknya agar sesuai dengan petunjuk Alquran; konsisten dalam keimanan dan takwa; serta berlaku ihsan dalam setiap perbuatan, sehingga ciri khas keberhasilan dari proses penyucian jiwa tersebut adalah menemukan manisnya keimanan.

Rasulullah SAW bersabda, "Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; Kedua, cinta seseorang semata-mata karena Allah; Ketiga, benci kembali dalam kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke neraka." (HR. Bukhari).

Ketiga, pengajaran Alquran, as-sunnah dan al-hikmah. Rasulullah SAW telah mengajarkan ketiga ilmu tersebut kepada para sahabat dan mereka mengajarkan kepada generasi ke generasi hingga saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti.

Pengajaran ketiga ilmu tersebut merupakan warisan Rasulullah SAW sebagaimana komentar Abu Hurairah RA pada saat melihat sebagian kaum shalat di masjid, sebagian yang lain membaca Alquran, sebagian lagi belajar halal-haram, lalu Abu Hurairah berkata, semua itu adalah warisan Muhammad SAW." (HR. Tabrani dengan sanad hasan).

Ketiga misi kenabian tersebut tidak lain merupakan pengabulan Allah SWT atas doa Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Alquran), dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali-Imran: 164). Wallahu a'lam.

Muhammad Hariyadi

Tarawih, Bukan pada Hitungan Rakaat



Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal dari kata raahah yang berarti bersantai setelah empat rakaat.

Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat.

Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.

Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu, aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR. Bukhari).

Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat sendiri-sendiri.

Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, "Ini adalah bid'ah yang paling nikmat."

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman kita saat ini.

Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak adanya batasan rakaat, karena tarawih adalah shalat sunah. Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.”

Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.

Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia Muhammadiyah.

Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.

Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel, praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.

Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan banyak rakaat dan  banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun persatuan umat.

Muhammad Hariyadi

Taat kepada Pemimpin



Allah SWT menciptakan makhluk dan memberinya kecenderungan sosial dan fitrah dasar agar saling memiliki keterikatan di antara mereka.

Atas dasar kecenderungan dan fitrah tersebut, manusia tidak dapat "hidup" kecuali dengan berkelompok agar kebutuhan dan kepentingan mereka saling terlindungi, terselamatkan, saling bantu dalam kebaikan dan bekerjasama dalam menciptakan kepentingan bersama/umum.

Atas dasar itu pula, Allah SWT memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimpin yang telah dipilih di antara mereka.

Hal tersebut karena jika manusia tidak memiliki ikatan atau aturan (rabithah) kepemimpinan dalam suatu kelompok sebagai pedoman dan kesepakatan bersama, maka kepentingan umum tidak akan terealisasi dengan baik dan tidaklah ada bedanya sifat manusia dengan binatang.

Allah SWT menciptakan manusia, menangguhkan balasan dosa besar umat Muhammad SAW, dan memuliakannya di atas makhluk-makhluk lainnya. Pemuliaan tersebut nyata dengan penganugerahan akal yang berfungsi sebagai pembeda antara kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kesalahan serta manfaat dan bahaya.

Allah SWT bahkan menambah anugerah akal itu dengan luapan kasih sayang-Nya yang tak terbatas melalui pengutusan para rasul dan Alquran. Allah memerintahkan kepada manusia: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), serta Ulil Amri (pemimpin/pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. An-Nisa': 59).

Mengapa Allah memerintahkan kita taat kepada pemimpin? Kalau taat kepada Allah dan Rasul-Nya sudah jelas, karena Rasullah yang menyampaikan pesan-pesan (risalah) Allah. Adapun pemimpin, apa gerangan alasan kita untuk taat?

Tidak lain karena ketaatan kita kepada pemimpin memiliki arti kemanusiaan dan sekaligus ketuhanan; kebahagiaan dan persatuan; keselamatan dan kebersamaan; kerjasama dan persaudaraan, serta keteraturan dan ketaatan.

Sementara menentang pemimpin berarti perpecahan, penyempalan, pembolehan larangan, pertumpahan darah, penghalalan yang haram, bagaikan binatang ternak tanpa penggembala atau berjalan tanpa petunjuk.

Tentu ketaatan kepada pemimpin bukan berarti taat tanpa reserve dan sikap kritis karena Allah SWT melarang manusia taat kepada pemimpin dalam melanggar perintah-Nya. Pemimpin tidak lain merupakan representasi wakil Allah dalam urusan duniawi agar visi memakmurkan bumi dan penduduknya dapat dilakukan melalui sistem yang teratur, tertib, berkeadilan dan ketaatan.

Maka pemimpin dengan segala nilai kekurangan dan kelebihannya harus didukung karena sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan barang siapa taat (kepada) pimpinan, maka berarti telah taat kepadaku.” (HR. Muslim).

Pengaitan ketaatan kepada pemimpin dengan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya sebagaimana disebutkan di dalam hadis tersebut mengandung rahasia kepentingan dan kemaslahatan bersama. Lebih dari dari itu, Allah SWT memerintahkan manusia bersatu dan melarang bercerai berai.  (QS. Ali Imran: 103).

Bukankah srigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri? Demikianlah kiranya jika manusia tidak bersatu, maka akan mudah dihancurkan oleh lawan. Dan bukankah perselisihan di dalam sejarahnya telah banyak memakan korban dan mengakibatkan bencana yang menimpa umat manusia, disamping memperlambat laju kemajuan serta kemakmuran. Wallahu a'lam.

Muhammad Hariyadi

Suap Model Jahiliah




Jika diruntut berdasarkan pengalaman sejarah, dipastikan usia suap-menyuap (rasuwah) setua usia peradaban manusia. Secara alamiah manusia akan menggunakan berbagai kemampuan, pengaruh, pendekatan, dan cara yang dimilikinya.

Dalam konteks tersebut, hanya jiwa-jiwa yang terpelihara, menjaga kemuliaan, keadilan, dan membebaskan diri dari kepentingan duniawi yang akan mampu konsisten menghindari penyuapan apapun bentuk dan betapapun kecilnya.

Semakin besar jabatan seseorang, maka semakin besar pula nilai penyuapan yang dilakukan atau diterimanya. Demikian pula sebaliknya. Tidak mungkin menyuap pejabat tinggi dengan nilai suap pejabat rendah. Sedangkan menyuap pejabat rendah dengan nilai suap pejabat tinggi, hanya akan menjadi tertawaan logika. Nilai penyuapan dengan demikian berkaitan erat dengan status sosial, peringkat jabatan, besarnya wewenang, dan hebatnya pengaruh.

Di zaman jahiliah, penyuapan merupakan salah satu upaya pendekatan (lobi) dalam mencapai tujuan. Suap, zina, merampok, minuman keras, mengganggu tetangga, memutus silaturahim, memeras kelompok lemah merupakan beberapa tradisi dan pemandangan sehari-hari kaum jahiliah.

Penyuapan yang paling terkenal dilakukan oleh kaum Quraish terhadap Raja Al-Najasyi (Ashamah bin Abjar) dengan tujuan mengusir kaum Muslimin yang hijrah ke Habasyah (Etiopia).

Kala itu, kaum kafir Quraish mengutus Amr bin Al-Ash dan Abdullah bin Abu Rabi'ah untuk menemui Raja Najasyi, Pejabat Tinggi Habasyah, dan pemuka agamanya dengan membawa suap istimewa yang dibungkus dengan nama hadiah dari Makkah. Keduanya menghadap Al-Najasyi yang didampingi oleh para pejabat tinggi dan pemuka agama, seraya berkata:

"Wahai Paduka Yang Mulia! sungguh, sekelompok orang bodoh telah memasuki wilayahmu, mereka meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk agamamu. Mereka datang dengan agama baru, yang kami, Paduka dan kita semua tidak tahu asal-usulnya. Kami telah diutus oleh kaum kami yang mulia agar Paduka dapat mengusir mereka dan mengembalikannya kepada kaumnya. Kaumnya lah yang lebih tahu akan keadaan mereka."

Perkataan Amr bin Al-Ash didukung oleh para pejabat tinggi dan tokoh agama Kerajaan Habasyah, sebab mereka telah tergiur dengan suap yang dibawa dua utusan dari Makkah. Namun, Najasyi tidak serta-merta mempercayai perkataan Amr bin Al-Ash, tetapi memberi hak bicara kepada kaum Muslimin. Kaum Muslimin mempercayakan Ja'far bin Abu Thalib menjadi jubir mereka.

Ja'far berkata, "Wahai Paduka Raja. Dulu kami hidup dalam kejahilan, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perzinaan, memutuskan silaturahim, mengganggu tetangga, yang kuat memeras yang lemah. Kondisi ini terjadi hingga Allah mengutus Rasul dari golongan kami, yang kami kenal kemuliaan nasabnya, kejujurannya, keterpercayaannya, dan kesuciannya. Dia mengajak kami menyembah Allah, tidak mempersekutukannya, meninggalkan tradisi nenek moyang seperti menyembah berhala, batu, dan lain sebagainya."

Najasyi bertanya, "Apakah kalian memiliki sesuatu yang dapat diperdengarkan yang berasal dari Tuhan kalian?" Ja'far menjawab, "Tentu". Lalu, ia membaca permulaan dari surah Maryam.

Raja Najasyi menangis hingga air matanya membasahi janggutnya dan berkata, "Sungguh, ini dan apa yang dibawa Isa muncul dari tempat/sumber (misykah) yang sama. Pergilah kalian berdua dan aku tidak akan mengusir mereka."

Hari berikutnya, Amr bin Ash masih belum menyerah dan melobi Raja Najasyi dengan mempermasalahkan pandangan kaum Muslimin terhadap Isa bin Maryam. Lagi-lagi Najasyi memanggil Ja'far bin Abu Thalib dan meminta konfirmasinya.

Setelah dijelaskan sedemikian rupa, Najasyi menyuruh para pejabatnya mengembalikan suap yang diberikan kepada mereka, mengusir kedua utusan Quraish, dan memberi jaminan keamanan bagi kaum muhajirin Makkah. Wallahu A'lam.

Muhammad Hariyadi

Strategi Memerangi Kemunkaran



Islam menjadikan "amar makruf nahi munkar" sebagai kewajiban dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim sesuai dengan kadar kemampuannya masing-masing. Bahkan kedua spirit tersebut menjadi  asas keutamaan, sumber kebaikan dan ciri khusus umat Islam yang membedakannya dari umat manusia lainnya.

Allah SWT berfirman, "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).

Dalam kaitannya dengan amar makruf (menyuruh kepada kebaikan), hampir semua kalangan mengetahui strategi dan prinsip yang harus diterapkan. Diantaranya metode penyampaian yang baik, tidak menyakiti pihak lain, menjauhkan diri dari isu SARA, dan melakukan perdebatan dengan kepala dingin (QS. An-Nahl: 125).

Namun, dalam kaitannya dengan nahi munkar (mencegah kemunkaran) tidak semua kalangan memahami syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan. Padahal, pemenuhan syarat-syarat tersebut berkaitan erat dengan hasil yang akan di dapat, khususnya agar tindakan mencegah kemunkaran tidak melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar, tidak menimbulkan tindakan balas dendam, dan tidak dikecam pihak lain karena dipandang sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar kuat (illegal).

Dr Yusuf Al-Qardhawi mensyaratkan beberapa hal dalam pelaksanaan nahi munkar sebagaimana tersebut dalam hadis shahih riwayat Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaklah merubahnya dengan tangan (kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah merubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah merubahnya dengan hatinya. Yang terakhir itu adalah iman yang paling lemah."

Pertama, hendaknya kemunkaran tersebut disepakati kemunkarannya. Artinya kemunkaran yang diperangi masuk dalam kategori perbuatan haram, bukan makruh atau meninggalkan yang sunah atau mustahab.

Kedua, hendaknya kemunkaran tersebut nyata dan kasat mata. Adapun seandainya kemunkaran tersebut tersembunyi dari pandangan manusia, maka dilarang memata-matainya dengan berbagai alat dan perangkat apa pun, karena Islam hanya membolehkan pemberian sanksi terhadap munculnya kemunkaran yang nyata dan kasat mata, bukan yang tersembunyi.

Ketiga, memiliki kekuatan yang diyakini dapat membasmi kemunkaran dengan mudah dan elegan. Kekuatan di sini berarti fisik dan nonfisik serta berwenang atau memiliki otoritas dalam melakukan tindakan memerangi kemunkaran.

Keempat, tidak ada kekhawatiran bahwa kemunkaran yang diperangi akan melahirkan kemunkaran baru yang lebih besar sehingga menyebabkan fitnah, pertumpahan darah, merugikan pihak lain, makin tersebarnya kemunkaran, menimbulkan kekacauan dan kerusakan di bumi.

Ibnu Qayyim meriwayatkan bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah berkata, "Pada masa pendudukan pasukan Tartar (Mongolia), aku bersama para sahabatku berjalan melewati kumpulan masyarakat yang meneguk minuman keras dengan nyata. Sebagian sahabatku mencela tindakan tersebut dan hendak melarangnya, namun aku mecegahnya kukatakan kepada mereka, ‘Sungguh, Allah SWT mengharamkan minuman keras karena ia dapat membuat orang lupa kepada Allah dan lupa shalat. Adapun pasukan Tartar itu dengan meminum khamr justru membuat mereka lupa dari membunuh manusia, menawan orang dan merampas harta. Maka biarkanlah mereka’."

Demikian penting landasan ilmu pengetahuan dalam "amar makruf nahi munkar" sehingga tindakan mulia tersebut tidak semata-mata bertumpu pada hasil, melainkan juga bertumpu pada kemaslahatan yang lebih besar dan tidak munculnya kemunkaran baru yang lebih dahsyat. Wallahu a'lam.

Muhammad HAriyadi

Small Is Complicated



Salah satu karakter yang tetap identik dengan orang-orang bodoh adalah sikapnya yang gampang meremehkan segala sesuatu termasuk penemuan ilmiah baru. Sikap tersebut sama dengan sikap orang-orang kafir, karena kebodohan dan kekafiran pada hakekatnya serupa.

Kebodohan berkaitan dengan tidak sampainya akal pikiran pada hakekat ilmu penetahuan. Kekafiran tidak sampainya akal pikiran pada hakekat keimanan.

Ketika Allah yang Maha Agung menyampaikan bahwa sesungguhnya diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan  dengan seekor nyamuk atau bahkan yang lebih kecil dari nyamuk (QS. Al-Baqarah: 26), orang-orang kafir berkata:"Apa maksud Allah membuat perumpamaan sekecil itu?". Sementara orang-orang beriman dengan dasar keimanan dan  pemikirannya yang mendalam berkata: "Jika berasal dari Allah, maka tentu ada kebenaran dan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Dua sikap yang bertolak belakang ini pada satu sisi menggambarkan sikap meremehkan sesuatu yang kemudian berimplikasi negatif karena didasarkan pada cara berpikir negatif yang pada akhirnya memalukan diri sendiri sebab kebenaran ilmiahnya pada waktu tertentu menjadi nyata.

Sementara di sisi lain menggambarkan sikap hati-hati, sikap yang harus menghargai sebuah penemuan sekecil apapun, apalagi datangnya dari Dzat yang Maha Benar yang dipastikan memiliki makna kebenaran dan perlu diselidiki isyarat kebenaran yang ditunjukkan-Nya.

Nyatanya dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi trendnya menuju ke bentuk yang semakin mengecil. Dulu di awal kemunculannya, komputer hadir dengan bentuk body dan CPU yang serba besar, lalu berkembang menjadi sederhana, terus mengecil dan bahkan semakin kecil saat ini. Mobil, radio, jam, handphone dan semua alat-alat elektronik mengalami proses dan perkembangan serupa. Demikian pula yang terjadi dalam teknologi lain.

Berubahnya bentuk produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi ke arah yang lebih kecil dengan tanpa mengurangi kecanggilannya menunjukkan bahwa justru semakin kecil semakin complicated, semakin rumit, semakin canggih dan semakin simple. Bukan sebaliknya.

Pada saat yang sama perubahan tersebut menjungkirbalikkan sikap dan perilaku orang-orang bodoh yang dulu menertawakan perumpamaan yang dibuat Tuhan, maka sekaranglah giliran mereka ditertawakan oleh zaman, generasi karena keterbatas ilmu pengetahuan mereka.

Sesungguhnya secara alamiah, semakin banyaknya penduduk di bumi, ukuran manusia yang dulu tinggi dan besar telah berubah menjadi pendek dan kecil. Tidak mungkin manusia tidak berevolusi pada perubahan yang lebih kecil karena alam menuntut keseimbangan hukumnya. Maka demikian pula lah yang terjadi pada trend produk-produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia akan bergerak ke arah yang lebih canggih, lebih kecil, lebih simple, lebih complicated sejalan dengan hukum alam yang diberlakukan Tuhan.

Maka berhati-hatilah dalam semua sikap yang mengandung unsur meremehkan dan menertawakan pihak lain, jangan-jangan karena keterbatasan pengetahuan kita hari ini, pada suatu saat nanti giliran kita yang ditertawakan oleh zaman. Berhati-hatilah dalam ucapan, sikap dan perbuatan karena tidak ada kerugian sedikitpun bagi mereka yang senantiasa berhati-hati. Wallahu A'lam.

Muhammad Hariyadi

Shalat Arbain di Masjid Nabawi



Shalat arbain (40 kali) di Masjid Nabawi merupakan salah satu kegiatan yang ditradisikan oleh sebagian besar umat Islam di dunia.

Dalam melaksanakan shalat arbain, jamaah praktis harus tinggal di Madinah minimal selama delapan hari.

Kegiatan tersebut didasarkan pada hadis riwayat Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Barang siapa shalat di masjidku (nabawi) empat puluh kali shalat yang tidak terputus, maka ia akan ditulis terbebas dari neraka, selamat dari siksa dan terbebas dari sifat munafik." (HR. Ahmad dan Tabrani).

Dalam hadis lain riwayat Anas, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa shalat empat puluh hari dengan berjamaan dan mendapati takbiratul ihramnya imam, maka ia akan ditulis terbebas dari dua perkara; bebas dari neraka dan sifat munafik." (HR. Tirmidzi).

Nasiruddin Al Al-Bani memasukkan hadis pertama dalam daftar hadis dhaif, karena hanya diriwayatkan oleh satu perawi (nabiith). Sedangkan hadis kedua dinilainya shahih.

Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz. Menurutnya, ziarah Masjid Nabawi tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apalagi adanya anggapan harus tinggal di Madinah selama delapan hari guna mengejar shalat Arbain.  Ziarah Masjid Nabawi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Ia boleh dilakukan sesaat, sehari, dua hari atau lebih dari itu.

Yang menarik adalah apa yang dilakukan oleh Dr Arif Syekh yang menggabungkan dua hadis tersebut. Ia memandang penggabungan dua hadis di atas memungkinkan karena hadis yang kedua bernilai shahih, yang substansinya menegaskan keutamaan pembiasaan diri shalat berjamaan fardu empat puluh hari di masjid manapun.

Jika masjid yang digunakan dalam shalat Arbain itu Masjid Nabawi, maka tentu keutamannya akan lebih besar, sebab dalam hadis shahih lain Rasulullah SAW bersabda, "Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama seribu kali shalat dibanding masjid lainnya, kecuali di Masjidil Haram. Adapun shalat di Masjidil Haram lebih utama seratus ribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid lainnya." (HR. Muslim).

Dari sini jelas bahwa keutamaan shalat di Masjid Nabawi sangatlah besar, namun tidak berarti lebih besar dari Masjidil Haram. Logikanya kemudian, harusnya shalat Arbain di Masjidil Haram lebih ditekankan dan ditradisikan sebab keutamaannya jauh lebih besar di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Namun kenyataannya tidak demikian, karena tidak ada bab shalat Arbain yang berkaitan dengan Masjidil Haram yang disepakati oleh ulama hadis di dalam enam kitab hadis utama (kutubus sittah).

Jika demikian adanya, maka kalau kita hendak meletakkan dan meraih keutamaan yang lebih besar, hendaknya peletakan strata prioritasnya tepat dan benar. Masjidil Haram dengan segala keutamaannya jauh lebih tepat dan benar untuk lebih banyak disinggahi dan shalat di dalamnya di banding Masjid Nabawi atau masjid manapun.

Maka, dengan tanpa menghilangkan kebiasaan kita memperbanyak shalat fardu di Masjid Nabawi, orientasi tempat ibadah kita seyogianya mulai dirubah untuk lebih banyak lagi dilakerjakan di Masjidil Haram.

Memang Masjid Nabawi memiliki kesyahduan tersendiri yang berbeda auranya dengan Masjidil Haram. Hal itu tidak kita mungkiri karena di Masjid Nabawi terdapat maqam Rasulullah SAW dan sahabat serta Raudah. Kota Madinah sendiri memiliki tekstur dan suasana kota yang terasa lebih "ramah" dan nyantai di banding Makkah.

Di dalamnya dengan puas dan lega, kita dapat menyampaikan salam kepada junjungan kita dan serasa kita berada di taman surga-Nya. Namun dalam kaitannya dengan keutamaan, harusnya kita tidak menyandarkan diri pada perasaan, melainkan pada dalil naqli Alquran dan as-Sunnah sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.

Muhammad Hariyadi

Serba-serbi Niat Puasa



Dari Umar bin Khathab RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya (sahnya) amal itu dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang (tergantung) pada apa yang diniatkannya." (HR. Bukhari-Muslim).

Hadis mengenai niat ini merupakan hadis utama di antara hadis-hadis lainnya karena pentingnya posisi niat dalam melakukan suatu perbuatan agar diterima oleh Allah SWT.

Oleh karenanya, para ulama hadis meletakkan hadis ini pada permulaan kitabnya dan sebagian dari mereka menyatakan hadis ini secara substansi mengandung bobot sepertiga dari bobot hadis secara keseluruhan.

Dalam puasa Ramadhan, berniat hukumnya wajib. Tidak sah puasa seseorang jika tidak didahului atau dibarengi dengan niat. Dari Hafsah binti Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak berniat puasa (Ramadhan) sebelum terbit fajar maka ia tidak berpuasa." (HR. Bukhari Muslim).

Jumhur ulama berpendapat bahwa niat puasa Ramadhan harus dilakukan setiap hari karena masing-masing hari di dalam bulan Ramadhan otonom dan berdiri sendiri-sendiri, tidak saling terkait dengan hari berikutnya. Hal tersebut karena batalnya puasa kita hari ini tidak berarti batalnya puasa esok hari atau sebelumnya.

Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat bahwa niat sekali untuk berpuasa satu bulan penuh sudah cukup, karena "setiap orang tergantung pada apa yang diniatkannya" (puasa sebulan penuh).

Di samping itu, karena satu bulan penuh di Ramadhan merupakan satu rangkaian ibadah puasa sehingga cukuplah satu niat yang mencakup keseluruhan sebagaimana niat haji dan shalat. Jika nanti di dalam pelaksanaannya terpaksa tidak puasa karena berhalangan, maka dengan memperbarui niat sudah dipandang cukup.

Namun demikian, Imam Malik mensunahkan pembaruan niat setiap hari, karena mempertimbangkan sunahnya mengikuti hadis dari Hafsah binti Umar bin Khathab tersebut.

Pelaksanaan niat menurut jumhur ulama harus dilakukan pada malam Ramadhan atau menjelang waktu terbitnya fajar (selesai sahur) sesuai dengan pemahaman tekstual terhadap hadis.

Hanya madzhab Hanafi yang membolehkan niat puasa Ramadhan sebelum matahari tergelincir (sebagaimana bolehnya niat puasa sunat menurut jumhur ulama) dengan mengqiaskan pada puasa sunah. Namun demikian mereka juga berpandangan bahwa penetapan niat puasa Ramadhan pada malam hari atau sebelum matahari terbit tetap lebih utama.

Kesimpulannya, niat puasa Ramadhan adalah wajib dan menjadi syarat sah puasa kita. Agar kita tidak lupa niat sehingga puasa kita menjadi tidak sah dalam pandangan hukum fikih, maka sebaiknya setiap orang berniat puasa penuh satu bulan, lalu memperbaruinya setiap hari.

Dengan begitu diharapkan jika dalam pelaksanaannya lupa niat, maka niat yang umum telah menutupi (mengcover) puasa Ramadhan secara keseluruhan. Sehingga berniat setiap hari hukumnya menjadi sunah (mandub) karena sudah berniat secara keseluruhan satu bulan di awal Ramadhan.

Niat tampaknya susah-susah mudah dalam puasa. Namun, tidak bisa dimudah-mudahkan (disepelekan) tanpa didasari ilmu pengetahuan, sebab berkaitan erat dengan syarat sahnya ibadah. Sehingga yang terpenting adalah memiliki pengetahuan seputar niat agar menjadikan kita mudah dan mantap dalam melaksanakan ibadah puasa.

Muhammad Hariyadi

Sebab-sebab Turunnya Keberkahan


Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT.

Di antara sebab-sebab turunnya keberkahan adalah: Pertama, mendasari keimanan dan ketakwaan dalam sebuah kegiatan atau usaha. Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).

Kedua, beramal saleh dan berikhtiar memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan semua makhluk-Nya. Allah SWT berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97).

Ketiga, memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah karena pada hakikatnya Dialah pemiliknya. Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian atas makanan dan sebutlah nama Allah, maka Allah akan memberikan keberkahan pada kalian di dalamnya." (HR. Abu Daud).

Keempat, menyegerakan diri dalam kebaikan dan membuang rasa malas di pagi hari. Rasulullah SAW mendoakan keberkahan bagi orang-orang yang menyegerakan diri dan bersemangat di pagi hari dalam meraih sukses melalui doanya, "Ya Allah, berkahilah umatku yang (bersemangat ) di pagi harinya." (HR. Abu Daud).

Kelima, berlaku jujur dan melayani pelanggan dengan baik dan ikhlas. Rasulullah SAW bersabda, “Penjual dan pembeli itu diberi pilihan selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barangnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Namun bila keduanya menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihilangkan keberkahan jual beli keduanya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Pada tingkat tertentu, keberkahan tidak selalu bersifat definitif dalam arti selamat, tetap, langgeng, baik, bertambah, dan tumbuh melainkan berati puas dan rela dengan pemberian dan pembagian yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam kategori ini orang-orang yang mendapatkan keberkahan juga merasakan hidup dengan perasaan nyaman dan bahagia.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menguji hamba dengan pemberian-Nya. Barang siapa rela dengan pembagian Allah terhadapnya, maka Allah akan memberikan keberkahan baginya dan akan memperluasnya. Dan barang siapa tidak rela, maka tidak akan mendapatkan keberkahan.” (HR. Ahmad).

Semoga Allah SWT memberikan keberkahan terhadap rezeki, kediaman, keturunan dan semua anugerah yang diamanahkan kepada kita serta memberi kekuatan untuk senantiasa taat menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan melimpahkan kepuasan kepada kita atas pemberian-Nya. Wallahu a'lam.

Muhammad Hariyadi

Sahur, Jamuan Ketuhanan yang Terabaikan



Sahur merupakan jamuan “ketuhanan” yang sering terabaikan oleh kaum Muslim. Padahal mengakhirkan sahur merupakan salah satu petunjuk kenabian dalam beribadah puasa.

Banyak orang bermalas-malasan malakukan sahur karena merasa kuat menahan lapar dan dahaga mulai terbit matahari hingga terbenamnya.

Padahal, di dalam ajuran pengakhiran sahur terkandung banyak urgensi dan manfaat, diantaranya:

Pertama, sahur mengandung keberkahan dunia dan akhirat. Keberkahan dunia di antaranya orang yang melakukan sahur menjadi lebih sehat dan mendapatkan cukup energi sebelum menjalankan puasa.

Sedangkan keberkahan akhirat antara lain orang yang bersahur memperoleh ridha Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Bersahurlah kalian, sesungguhnya di dalam sahur terdapat berkah." (HR. Bukhari-Muslim).

Kedua, sahur merupakan pelestarian tradisi (sunnah) Rasulullah SAW.  Mereka yang menjaga kelestarian tradisi tersebut mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa menghidupkan sunahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barang siapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga." (HR. Tirmidzi)."

Ketiga, sahur merupakan bentuk aktivitas yang membedakan antara model puasa kaum Muslim dengan Ahlul Kitab. Rasulullah SAW bersabda, "Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab terletak pada jamuan sahur." (HR. Muslim).

Keempat, orang yang melakukan sahur mendapatkan doa dari para malaikat dan ridha Allah SWT. Dari Abu Said Al-Khudri RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sahur mengandung keberkahan, maka janganlah ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air, karena Allah SWT dan malaikat-Nya mendoakan kepada orang-orang yang melakukan sahur." (HR. Ahmad).

Kelima, sahur menjadi pengingat niat bagi yang belum berniat puasa pada malam hari atau menjelang tidur. Niat puasa Ramadhan merupakan salah satu wajib puasa sehingga tidak sah puasa Ramadhan tanpa didahului niat. Dari Hafsah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka berarti ia tidak berpuasa." (HR. Abu Dawud).

Keenam, sahur menjadi pembuka kebaikan, penyebab ibadah sunah, zikir dan doa pada waktu sepertiga malam yang merupakan waktu dikabulkannya doa dan permintaan. Allah SWT berfirman, "Dan dari sebagian malam bertahajudlah kamu sebagai ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Isra': 79).

Ketujuh, sahur sekaligus berfungsi untuk mengusir setan karena orang yang sahur bangkit dari tidurnya dengan doa, berwudhu dan shalat sunah atau Subuh. Rangkaian kegiatan itu secara otomatis mengusir ikatan setan di kepala manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setan mengikat tengkuk (kuduk) salah seorang dari kalian saat tidur dengan tiga ikatan.”

“Pada setiap ikatan dia membisikkan kepadamu: “Malam  masih panjang (maka tidurlah).” Jika dia bangun lalu berzikir kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu, maka lepaslah dua ikatan. Dan jika dia shalat, maka lepaslah seluruh ikatan itu. Sehingga pagi harinya dia mulai kegiatan dengan penuh semangat dan jiwa bersih. Jika tidak, maka dia akan memasuki waktu pagi dengan jiwa yang sempit dan penuh kemalasan.” (HR. Bukhari ).

Kedelapan, sahur menjadikan seseorang lebih siap dalam menjalankan puasa dan menggairahkan semangat beraktivitas. Dengan bersahur seseorang berada tepat pada garis start puasa yang tepat disertai kesiapan bekal jasmani dan rohani yang mantap. Selesai sahur, berbagai aktifitas kebaikan menunggu sebagai bentuk kelanjutan dari permulaan kebaikan yang dikerjakan, sekaligus tanda diterimanya kebaikan di sisi Allah SWT. Wallahua’lam

Muhammad Hariyadi