Agama di Ruang Publik



Banyak ilmuwan sosial Barat tertarik meneliti hubungan agama dan negara di Asia Tenggara.Topik agama di ruang publik tidak habis-habisnya dikaji mengingat modernisasi dan demokrasi model Barat tidak serta merta cocok ketika diterapkan di benua Timur.
Asia Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi dan semangat agama kental sehingga meletakkan agama ke dalam wilayah pribadi seperti di Barat pasti sulit diterapkan. Hubungan mayoritas-minoritas pemeluk agama di Filipina, Thailand, dan Indonesia selalu menimbulkan ketegangan politik dan isu pelanggaran hak asasi manusia. Persoalan di atas mengemuka dalam konferensi internasional Religion in Public Spaces in Contemporary South East Asia dalam rangka memperingati 35 tahun persahabatan Pemerintah Kanada dan organisasi ASEAN, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Hotel Sahid, 13–14 Maret 2012.
Filipina mayoritas penduduknya beragama Katolik, lalu Thailand mayoritas beragama Buddha, sementara Indonesia mayoritas Islam. Masing-masing memiliki problem hubungan mayoritas-minoritas, sehingga peran agama dalam wilayah publik selalu melahirkan perdebatan dan konflik antarpemeluk agama yang berbeda. Masyarakat Barat yang Nasrani memiliki tradisi agama dan sejarah yang sangat berbeda dengan dunia Islam.Merasa capai berkonflik antara tokoh gereja di satu pihak dan ilmuwan serta pejuang kebebasan di pihak lain yang berlangsung di Eropa pada abad pertengahan, Benua Amerika menawarkan kehidupan baru bagi pendukung paham liberalisme.
Di benua baru inilah paham liberalisme yang sangat menjunjung tinggi hak-hak individu diimplementasikan di bawah konstitusi negara sekuler dan sistem demokrasi. Di Amerika Serikat (AS) agama dan negara dipisah. Orang hendak beragama atau tidak beragama itu sepenuhnya urusan pribadi. Jika terjadi konflik antarwarga atau antarkomunitas,penyelesaiannya melalui meja pengadilan negara, bukan melalui tokoh dan lembaga agama.
Pengalaman di Barat, lembaga ilmu pengetahuan, industri, dan negara memiliki kepercayaan diri yang tinggi di hadapan tokoh dan lembaga agama dalam mengatur dan memajukan masyarakatnya. Agama sebatas berperan memberi layanan spiritual bagi warga negara yang berminat,tetapi semua itu merupakan hak dan pilihan pribadi. Secara teologis sikap ini memperoleh pembenaran dari Bibel yang membuat pemisahan tegas antara agama dan politik, urusan agama serahkan kepada pendeta,urusan politik serahkan kepada raja.
Doktrin, teori, dan pengalaman AS ini jelas sulit diterapkan di dunia Islam karena umat Islam memiliki ajaran, tradisi, dan pengalaman kolektif yang berbeda. Nabi Muhammad yang dijadikan model kepemimpinan agama, politik, dan sosial oleh umat Islam ketika wafat justru mewariskan kekuasaan politik yang dibangun di atas fondasi ajaran agama. Warisan tradisi ini dijaga dan bahkan dikembangkan lagi oleh khalifah berikutnya yang pada urutannya melahirkan peradaban agung yang diakui dunia.
Jadi, terdapat ingatan kolektif umat Islam yang sangat kuat bahwa agama dan negara itu tidak terpisahkan dan hubungan sinergis antara keduanya pernah melahirkan peradaban besar. Kenyataan ini jelas berbeda dari sejarah kristiani dan perkembangan modernisasi di Barat. Namun sekarang muncul persoalan baru yang mesti dipikirkan dan dipecahkan bersama, bagaimana me-mosisikan agama ketika muncul negara modern berdasarkan paham nasionalisme seperti halnya Indonesia?
Dalam konteks ini sungguh jenius ijtihad politik para pendiri bangsa yang menjembatani keduanya melalui ideologi Pancasila. Secara formal Indonesia adalah negara sekuler, dalam pengertian bukan negara teokrasi, tetapi negara memberikan proteksi dan fasilitas bagi perkembangan agama yang ada. Nilai-nilai dan norma agama boleh memasuki ruang publik, tetapi mesti melalui proses legalisasi terbuka sehingga menjadi bagian dari hukum positif. Maka muncullah produk undang-undang yang diinspirasi oleh nilai agama yang kemudian mengikat bagi warga negara.
Terdapat ruang akomodatif bagi agama untuk memperkaya hukum nasional dan etika publik sepanjang semua kelompok agama bersikap toleran, saling menghargai tradisi agama lain. Hanya saja yang tak kalah pentingnya adalah ketegasan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganya, apa pun agamanya, sehingga etika, spirit, dan norma komunal tidak menggeser dan mengalahkan hukum positif yang telah disepakati.
Tanpa ketegasan pemerintah menegakkan hukum secara adil, keragaman komunitas di Indonesia akan hilang keindahannya, lalu berubah menjadi sumber konflik dan mengancam ketenteraman dan keutuhan berbangsa serta bernegara.


Komaruddin Hidayat

Related Posts:

  • Terima Kasih Ramadan Bangsa yang besar dan maju selalu melihat ke depan dengan bekal pelajaran jatuh-bangun di masa lalu. Investasi demi meraih kemajuan masa depan adalah salah satu kunci negara maju. Logika ini memiliki titik singgung dan… Read More
  • The Culture of Fear Setiap anak manusia terlahir dengan membawa naluri rasa takut. Semakin besar pertumbuhan anak,akan semakin terlihat potensi rasa takut itu. Hanya saja, tingkat rasa takut seseorang berbeda-beda, begitu pun objek yang menim… Read More
  • Teror Lagi, Bom Lagi…. Kita lelah dan cemas mendengar berita terjadi teror bom yang berulangkali mencuat ke tengah masyarakat. Bagi otak dan pelakunya mungkin tertawa, merasa berhasil membuat masyarakat resah dan muncul debat publik bernada mar… Read More
  • Terlalu Berat Beban Anak Kita JANGAN membayangkan hidup tanpa problem. Bahkan sejak keluarga Nabi Adam pun percekcokan dan tragedi berdarah antarmanusia sudah dimulai. Kabil dan Habil bertikai memperebutkan pasangan hidup mereka—yang berakhir dengan … Read More
  • The Busy Generation Menurut kalender, dalam seminggu yang disebut hari kerja (workdays) ada lima hari, lalu hari libur (holidays) dua hari. Mengapa jumlah hari kerja lebih banyak ketimbang hari libur? Karena bekerja itu sehat, melegakan dan… Read More

0 komentar:

Posting Komentar