SEJAK masih belajar mengaji di masjid kampung dahulu,
saya sudah dengar dan bahkan hafal bahwa Nabi Muhammad mewajibkan umatnya untuk
senantiasa belajar sejak masih dalam gendongan sang ibu sampai mendekati liang
lahat.
Setelah jadi sarjana dan berkecimpung dalam dunia
pendidikan, saya bertemu dengan pesan serupa dalam bahasa Inggris, ”Be a
long life learner!” Jadilah pembelajar seumur hidup. Ketika usia semakin
bertambah dan secara formal-administratif sekarang berhak menyandang gelar
profesor, menginjak usia di atas angka lima ini pesan tadi justru terasa
semakin dalam dan mengena maknanya.
Bahwa hidup itu rangkaian pembelajaran.Belajar apa
saja, di mana saja, dari siapa saja, sepanjang mendatangkan kebaikan untuk
meningkatkan kualitas dan makna hidup. Coba bayangkan. Ketika kecil kita
belajar merangkak. Bahkan sebelum itu kita belajar beradaptasi dengan
lingkungan baru, begitu terlahir dari kandungan sang ibu.
Dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan tahun ke
tahun,kehidupan ini menuntut kita untuk selalu belajar.Panggung hidup itu
sendiri merupakan universitas, rangkaian pembelajaran dan ujian.Begitu
seseorang tamat perguruan tinggi, dia mesti belajar mencari kerja yang cocok.
Setelah diterima, mesti belajar dengan lingkungan baru dan pekerjaan baru.
Ketika seseorang memasuki rumah tangga, ada agenda
belajar yang sangat berat. Lebih berat ketimbang ujian di kampus.Ketika istri
hamil, suami-istri belajar bagaimana merawat kehamilan dengan segala perilaku
istri yang mungkin aneh-aneh. Setelah anak lahir, mereka belajar jadi orangtua.
Demikianlah proses ini tak akan pernah berhenti. Bahkan
ketika sakit di hari tua, kita mesti juga belajar bagaimana menyikapinya sampai
kita juga mesti belajar menghadapi saat-saat ajal akan tiba.
Belajar,
Mengajar, dan Beramal
Dalam bahasa Arab, kata alam, ilmu, dan amal terdiri
atas tiga huruf yang sama, hanya letak susunannya berbeda. Namun sesungguhnya
ketiganya memiliki korelasi fungsional yang berkaitan. Pertama, alam, adalah
sumber dan objek kajian untuk digali informasinya karena alam bekerja
berlandaskan hukum-hukumnya yang pasti.
Alam seisinya juga mengandung berbagai rahasia yang
masih terpendam untuk dimanfaatkan oleh manusia. Mereka yang berhasil menggali
dan menginterogasi rahasia alam akan memperoleh ilmudan orang yang berilmu
disebut alim. Jadi mereka yang pantas disebut sebagai orang alim adalah yang
menguasai ilmu tentang alam yang dalam istilah Inggris disebut scientist.
Dalam masyarakat kita,sebutan orang alim biasanya
ditujukan kepada mereka yang ahli dalam bidang keagamaan. Itu tidak sepenuhnya
salah, tapi kurang tepat mengingat sumber utama agama yang mereka pelajari
lebih banyak merujuk pada kitab suci,bukan kitab semesta. Kata kunci ketiga
adalah amal.
Bahwa hasil pengembaraan seseorang ilmuwan setelah
meneliti fenomena alam hendaknya dilanjutkan dengan karya nyata berupa amal.
Jadi, alam, ilmu, dan amal di dalam ajaran Islam merupakan tiga pilar dan tiga
serangkai untuk membangun peradaban. Dengan merenungkan keagungan alam, seorang
ilmuwan akan sampai pada pertanyaan, siapa desainer dan pencipta semua ini?
Maka di sinilah muncul peristiwa syahadat atau
kesaksian. Kesaksian atau syahadat yang benar terhadap Tuhan sebagai Sang
Pencipta yang pantas dikagumi dan disembah adalah kesaksian yang didasari ilmu
pengetahuan, bukan sekadar ucapan formal. Dengan demikian kalau saya sendiri ditanya,
syahadat yang manakah yang menandai iman saya dan yang diakui oleh Tuhan, saya
tidak bisa menjawabnya.
Tentu saja sejak kecil saya dan kita telah diajari
mengucapkan kalimat kesaksian. Namun itu tak ubahnya anak kecil menyanyikan
lagu Indonesia Raya atau hafal kalimat Sumpah Pemuda, tapi tidak paham dan
tidak menghayatinya. Berulang kali saya mengamati upacara peringatan
kemerdekaan 17 Agustus, di antara mereka ada yang kelihatannya menghayati
perjuangan kemerdekaan, tetapi ada pula yang tampaknya asal hadir ikut upacara.
Demikianlah kira-kira yang juga terjadi dalam sikap
keberagamaan. Ada yang menjalani dengan penghayatan dan pemahaman akan makna
yang dikandungnya, ada pula yang tidak. Jadi, ketika kita berhenti belajar,
sebuah kemandekan, stagnasi, kejumudan akan menutupi ruang pertumbuhan hidup
kita.
Hakikat belajar bukan sekadar tahu, melainkan dengan
belajar seseorang menjadi tumbuh dan berubah. To learn is to grow and change.
Tidak sekadar belajar lalu berubah, tetapi juga mengubah keadaan. Ketika ilmu
itu diamalkan, diharapkan seseorang berpartisipasi dalam mengubah diri dan
lingkungannya.
Oleh karenanya, dengan senantiasa belajar dan
mengajar, pertanyaannya adalah seberapa jauh kita turut serta membuat orang
lain pintar dan terdorong membuat perubahan? Inilah yang juga terkandung dalam
kalimat bijak, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan
gading, orang mati meninggalkan warisan ilmu dan amal saleh.
Korelasi dan keseimbangan antara belajar, mengajar,
dan beramal telah diajarkan oleh metabolisme dan kinerja tubuh kita sendiri.
Agar senantiasa sehat, tubuh memerlukan makanan, lalu keluar keringat dengan
cara beraktivitas. Kalau tidak, pasti akan terserang penyakit karena tidak
adanya keseimbangan antara input, aktivitas, dan output.
Di antara penyakit yang menghantui adalah kolesterol
dan stroke. Ini terjadi karena seseorang hanya senang mengonsumsi, tetapi
enggan berproduksi. Dalam ranah sosial ekonomi juga berlaku hukum ini.
Ketika banyak orang kaya senang menghimpun harta, tetapi
enggan membelanjakannya untuk mendukung sektor pertumbuhan ekonomi rakyat, maka
sebuah bangsa pasti akan terkena ”kolesterol dan stroke” sehingga lumpuh.
Masyarakat tidak memiliki kekuatan daya beli.
Fenomena ini sudah lama terjadi di Indonesia. Jadi
sunnatullah atau hukum alam itu berlaku pada ranah sosial, alam semesta, dan
diri manusia sendiri. Siapa yang melawan hukum alam pasti akan kalah dan
menghancurkan dirinya sendiri. Bahwa kita mesti dengan rendah hati harus selalu
belajar agar bisa bersahabat, berguru, dan berdamai dengan kehidupan.
Lalu berbagi pada sesama, baik dalam bentuk
pengetahuan maupun karya nyata sehingga gerak spiral umat manusia senantiasa
naik dan berkembang. Janganlah beperilaku seperti anak kecil yang asyik membuat
istana di atas pasir di tepian pantai, lalu bangunannya tiba-tiba hancur
terempas air ombak.
Lebih parah lagi kalau bangunan yang kita buat itu
hancur terbakar karena kebodohan kita sendiri. Atau jauh lebih parah lagi kalau
hancur karena kita memang senang saling menghancurkan. Kalau demikian, berarti
kita tidak lagi mau belajar, mengajar, dan beramal dan berarti pula kita
stagnan tidak mampu menerima mandat dan jabatan mulia sebagai mandataris Tuhan
di muka bumi. (*)
0 komentar:
Posting Komentar