KETIKA kecil,saya sering jalan-jalan
ke pasar. Pada hari-hari tertentu, pasar sangat ramai. Dari kejauhan sudah
terdengar suara riuh bagaikan suara gerombolan lebah.
Pengunjung berdesakan di tengah suara celoteh
sahut-menyahut, tawar-menawar harga. Di sudut pasar yang agak lapang, biasanya
ada tontonan komedi, sulap, dan akrobat sepeda. Setelah pengunjung berdatangan,
mulailah pemain tadi membuka dagangannya menawarkan obat yang, katanya, bisa
menyembuhkan seratus satu macam penyakit.Jadi,di balik penampilan sulap,
akrobat, dan cerita soal kehebatannya pernah berkeliling Indonesia dengan
sepeda, ujungnya ia menawarkan obat kuat dengan harga murah,terjangkau.
Meski pasar itu meriah dan hiruk-pikuk, cirinya yang
menonjol adalah setiap pengunjung hanya berpikir untuk memenuhi kepentingan
dirinya sendiri.Mereka berkumpul di satu tempat, tidak untuk berserikat, dan
kehadirannya tidak disatukan oleh visi dan misi.Berapa mereka hendak
membelanjakan uang, tergantung kemampuannya dan perhitungan untung ruginya,juga
seleranya.
Politik dan
Pemilu
Adapun politik dan kegiatan pemilu
sangat berbeda prinsipprinsip dasarnya. Ini penting dipahami bersama mengingat
sekarang ini Indonesia sah-sah saja disebut sebagai ”negara pilkada”. Hitung
saja berapa jumlah provinsi dan berapa jumlah kabupaten,maka praktis tiada hari
tanpa pilkada kalau saja diselenggarakan secara terpisah-pisah. Lucunya,
sekarang ini pemilu sudah mendekati seperti pasar.
Dalam politik, orang maju bukan mewakili dirinya
sendiri, tetapi ada komunitas yang dibela. Ada agenda yang diperjuangkan untuk
memenuhi hajat masyarakat banyak. Makanya di situ ada istilah keterwakilan,
bukannya setiap calon menjajakan dirinya. Yang terjadi sekarang ini, banyak
calon legislator (caleg) menjajakan diri dengan memasang baliho, di bawah
bayang-bayang foto tokoh yang dianggap berpengaruh, lalu didukung oleh logo
partai politik (parpol).
Pertanyaannya, apakah para caleg itu betul-betul paham
dan sejalan dengan visi dan misi parpol yang telah memberikan tiket untuk maju?
Agak nakal lagi, apakah parpol itu juga memiliki visi, misi, dan program yang
jelas untuk membela dan memperbaiki nasib masyarakat? Apakah parpol selama ini
melakukan pendidikan dan pembelaan pada nasib rakyat yang dibujuk untuk memilih
dirinya?
Kalau semua pertanyaan itu jawabannya negatif, politik
dan pemilu tak ubahnya dengan pasar karena yang dominan adalah agenda
kepentingan individu. Bahkan situasinya lebih buruk. Mengapa? Karena transaksi
dalam pasar ada unsur transparansi dan ekuivalensi antara uang dan barang,
keduanya saling menerima secara suka rela dan unsur bohong-membohongi sangat
kecil.Baik pembeli maupun penjual ketika pulang dari pasar tidak merasa ada
yang menipu dan ditipu.
Saya sendiri selalu berusaha berpikir positif dan
penuh harap bahwa politik kita akan semakin sehat meski butuh proses lama.
Namun mengamati mereka yang aktif di politik sebagian tidak begitu meyakinkan
kualitas intelektual dan integritasnya, yang kemudian mengemuka adalah perilaku
para elite bangsa ini yang terkesan semakin bodoh. Cara menarik simpati rakyat
tidak terlihat elegan. Tak ada gagasan cemerlang, yang magnetis dan memiliki
daya gravitasi sehingga gagasannya menjadi bahan pembicaraan dalam masyarakat.
Padahal suasana krisis Indonesia di penghujung era
Soeharto dan kondisi saat ini tak jauh beda.Bahkan dalam beberapa aspek justru
ke depan ini potensinya lebih gawat setelah perubahan UUD dan ekses euforia
demokrasi yang vibrasinya sulit distop. Belum lagi ekses krisis keuangan
global. Namun semua itu tenggelam oleh riuh-rendah dan hiruk-pikuk pasar
politik yang para aktor utamanya tengah saling menjajaki dan tawarmenawar untuk
merger.
Pasar politik diramaikan oleh para aktor lama yang
mengejar the last flight, bahkan kemudian merakit pesawat sendiri berupa parpol
baru, tetapi dikhawatirkan kandas begitu take off. Tidak cukup bahan bakar dan
cuaca tidak mendukung. Berpolitik tanpa agenda yang jelas untuk memperjuangkan
rakyat, dengan nurani dan nalar sehat, sama halnya mengkhianati demokrasi dan
jati diri sebuah parpol. Panggung politik lalu berubah menjadi opera sabun
dengan ongkos produksi yang amat mahal,alur cerita yang konyol,penonton semakin
berkurang, dan aktor-aktornya pun akan turun pamornya.
Proses politik yang tengah berlangsung ini menyiratkan
suatu hal bahwa negara itu begitu dominan perannya dalam kehidupan masyarakat.
Maka orang harus masuk dan mengendalikan pemerintahan melalui instrumen negara
kalau ingin membangun bangsanya.Kenyataan ini mestinya disadari oleh para
intelektual dan tokoh-tokoh agama. Jika mereka hanya sibuk membangun
institusinya sendiri tanpa memberikan kontribusi konstruktif pada penguatan dan
kemajuan negara, kohesi sosial kita sebagai sebuah bangsa akan rapuh dan
stagnan.
Salah satu pintu menyumbangkan gagasan dan
perwakilannya adalah melalui mekanisme pemilihan umum. Namun, lagi-lagi
disayangkan,instrumen peraturan dan perundang-undangan politik yang ada malah
menghambat putra-putra terbaik bangsa ini untuk masuk ke parlemen. Jika parpol
tidak sehat, bahkan berubah menjadi pasar yang dipenuhi calocalo, copet, dan
penjual obat yang senang membual, aset institusi sosial kita malah saling
bertabrakan, bukannya bersinergi.
Di sana ada lembaga parpol, lembaga perguruan tinggi,
lembaga agama, lembaga ekonomi, dan sekian lembaga lain yang merupakan aset
sosial yang lalu saling mengkritik dan menghujat dalam rumah yang sama:
Indonesia. Kita perlu belajar dari pengalaman bangsa Jerman yang dikenal sangat
maju, rasional, dan melahirkan pemikir besar dunia. Tapi justru di negara itu
pernah muncul Nazi sebagai antitesis kebebasan berpikir dan berserikat tanpa
saling berendah hati menciptakan sinergi dan simfoni kultur politik.
Maka terjadilah antiklimaks,from rationality into
irrationality. Dalam bahasa prokem, para elite itu menjadi pin-pin-bo,
pinterpinter bodo. Persis petinju yang sudah laku dan terkenal lalu bernafsu
untuk menggilas lawan secepatnya, maka nalar sehat, penampilan indah, dan
cerdas lalu hilang. Di situlah yang membedakan Muhammad Ali dari petinju
lain.Dia main dengan memadukan otak dan seni serta menghibur penontonnya. Dia
the real boxer, bukannya brutal fighter.(*)
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar