Generasi Miskin Keteladanan



Semasih belajar di pesantren dulu, kyai sering mendatangkan tokoh-tokoh nasional untuk memberi ceramah dan dialog dengan para santri. Tujuannya untuk menstimulasi para santri agar punya mimpi dan cita-cita untuk menjadi orang sukses dan diperhitungkan dalam masyarakat luas. Keteladanan, role model, mimpi dan cita-cita sengaja ditanamkan agar para santri memandang dan menapaki masa depan dengan optimis dan bergairah.

Berkat pendidikan di pesantren dulu, ketika tahun 1974 saya masuk Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dahulu masih bernama IAIN, saya sudah mengagumi Buya Hamka melalui karya-karyanya, antara lain lewat novel Tenggelamnya Kapal van Derwik. Setelah menjadi mahasiswa dan merangkap sebagai wartawan, professi ini sangat membantu untuk berkenalan dan melakukan wawancara langsung dengan tokoh-tokoh yang saya kagumi, seperti Nurcholish Madjid, Mohtar Lubis, Rosihan Anwar, Ruslan Abdul Gani, Mukti Ali,  Adam Malik, BM Diah, Ali Sadikin, Taufik Abdullah, dan sekian toloh nasional lain.

Sebagai anak kampung dan mahasiswa yang tinggal di rumah kontrakan, sungguh suatu kebanggaan dapat berdialog dengan figur-figur nasional dan beberapa duta besar asing dengan modal bahasa Inggris yang sangat terbatas. Figur-figur role model yang pernah saya temui itu semuanya tanpa disadari telah menginspirasi dan menstimulasi karir saya sebagai wartawan. Sosok seperti  Buya Hamka, Adam Malik,  Mohtar Lubis dan Rosihan Anwar tidak saja  berhenti sebagai wartawan, melainkan juga pemikir dan kritikus sosial. Bahkan Adam Malik pernah menjadi ikon diplomat Indonesia yang kemudian menjadi Wakil Presiden. Tokoh-tokoh itu telah menginspirasi saya, sehingga suatu hari ini saya pernah berjanji pada diri sendiri: Hari ini saya mengejar narasumber minta wawancara. Tetapi suatu saat wartawan yang mesti mencari saya sebagai nara sumber untuk wawancara.

Setiap generasi memiliki tantangan, karakter serta role model yang berbeda. Semasa kuliah menjelang tamat, saya sudah merasa akrab dengan pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana, Andi Hakim Nasution. Emil Salim, Fuad Hasan, dan beberapa ilmuwan lain. Dunia pelajar dan mahasiswa hari ini sungguh lebih beruntung karena begitu mudahnya mendapatkan informasi dan literatur yang melimpah. Teknologi internet telah membuka akses untuk mencari bacaan apa saja. Mahasiswa sekarang dengan mudah mengenali tokoh-tokoh dunia. Jadi, sangat wajar kalau kualitas sarjana hari ini jauh lebih bermutu ketimbang di era 80-an.

Makanya sangat memprihatinkan ketika wacana dan obrolan yang mengemuka selalu saja bernada keluh kesah. Semakin bermuculan fakultas hukum dan semakin banyak pula ahli hukum. Ironisnya, setiap hari ada tontonan pelanggaran hukum. Semakin banyak sarjana ahli tata kota, tetapi kondisinya dan tata ruangnya tetap saja semrawut. Begitu banyak dijumpai mimbar-mimbar ceramah agama, namun korupsi dan perburuan barang haram malah meningkat.

Demikianlah, gambaran paradoks ini bisa diperpanjang. Ujungnya muncul kesan dan keluhan bahwa generasi muda dan pelajar hari ini miskin keteladanan. Kohesi keluarga kendor.  Kondisi  di jalanan tidak nyaman dan tidak aman. Politisi tidak memberikan contoh dan spirit perjuangan. Pelayanan birokrasi pemerintahpun mengecewakan. Dunia olah raga tidak juga membanggakan. Sosok ilmuwan seperti Habibie kurang dihargai ilmunya. Yang paling menyakitkan, penyelenggaraan ujian nasional pun kacau.

Situasi ini mesti disadari oleh semua putra bangsa, apapun afiliasi politik dan professinya. Enough is enough. Momentum menjelang pemilihan caleg dan pemilu mestilah dijadikan tonggak sejarah untuk memasuki babak baru, yaitu babak kebangkitan. Mari kita pilih dan dukung putra-putri terbaik bangsa untuk mengurus negeri ini. Berilah keteladanan pada generasi muda dan rakyat. Tanpa keteladanan, politik dan pemerintah tak akan punya wibawa. Tanpa wibawa intelektual, wibawa hukum dan wibawa moral, maka semakin mundurlah bangsa ini. Anak muda bingung, kehilangan panutan dan tokoh-tokoh sumber inspirasi serta motivasi.

Sekian banyak mantan aktivis organisasi mahasiswa dan organisasi sosial yang ternyata sangat rapuh daya tahannya ketika masuk politik praktis dan birokrasi pemerintahan. Mereka tidak tahan godaan korupsi. Pada hal dahulunya rajin demonstrasi mengritik pemerintah dengan penuh idealisme.  Bagaimana kita mesti bersikap menghadapi kenyataan ini?  Jadi, rupanya orang baik tanpa dikawal dengan sistem yang baik akan mudah terjatuh. Aktor dan sistem mesti berjalan bareng. Di atas semua itu diperlukanan figur-figur teladan yang mampu menginspirasi, menggerakkan dan memimpin perubahan sosial. Anak-anak muda sangat merindukan figur-figur teladan itu.


Komaruddin Hidayat

0 komentar:

Posting Komentar