TIGA elemen yakni kebebasan, hukum, dan etika sangat vital dalam
kehidupan berdemokrasi kalau bangsa dan negara ini ingin tertib dan beradab.
Pertama, kebebasan.
Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi tak
ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, seorang yang beragama bahkan tidak akan bisa
tulus dalam melaksanakan ajaran agamanya. Bisakah
beriman dengan tulus jika seseorang beragama karena paksaan? Dalam hal
kebebasan ini, kondisi sosial politik Indonesia sudah menunjukkan kemajuan luar
biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol), yang kemudian nanti
masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya. Kedua, ketegasan hukum. Sebuah
masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum
yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya.
Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung
pada konflik dan pertempuran.
Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan
mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum. Lihat dan pelajari saja negara
demokrasi yang sudah tua dan mapan seperti di Inggris atau Amerika Serikat
(AS), hukum sangat wibawa di sana. Personifikasi hukum ini tampil dalam korps
kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek
penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi
destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali
jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi
agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan
rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.
Masyarakat semula sangat antusias terhadap peran KPK untuk membangun
optimisme masa depan. Tetapi, banyak pihak yang tidak menghendaki KPK ini
tumbuh besar, kokoh, dan menjaga ibu pertiwi dari maling-maling, koruptor, dan
garong yang menghancurkan ekonomi bangsa. Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan idealnya merupakan penjaga KPK yang paling setia untuk memberantas
korupsi dan menegakkan hukum di Indonesia. Tetapi, berbagai hambatan kerja KPK
tampaknya justru datang dari lembaga-lembaga yang mestinya menjadi suporter dan
penjaganya. Ini suatu ironi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ketiga,
etika berpolitik. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi
negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada
tahapan etika.
Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan
berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi
sila ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh
semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan
kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja
berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan
moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya
seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal
melaksanakan tugas, lalu mundur. Mereka lebih menghayati sila kemanusiaan. Ada
prinsip harga diri.
Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini juga memiliki standar
etika yang tinggi dalam berpolitik. Hubungan Natsir dan Kasimo misalnya meski
berbeda agama dan sering terlibat perdebatan seru dalam persidangan, keduanya
dikenal sangat baik dalam hubungan kekeluargaan. Begitu pun Hatta dan Mohamad
Roem, mereka sangat sederhana dan bersih dari korupsi. Mereka telah memberikan
teladan bagaimana menjunjung etika dalam berdemokrasi.
Mereka menghayati spirit sila ketuhanan dan kemanusiaan. Situasi dan
perkembangan politik saat ini sungguh semakin menyedihkan. Yang menonjol semua
orang ingin bebas. Bebas apa saja.
Bebas mendirikan partai. Bebas berekspresi. Kalau bisa juga ingin bebas
menggunakan kekuasaan yang tengah dimiliki untuk kepentingan diri dan
kelompoknya. Bahkan ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Para
ekstremis-radikalis dan teroris juga semakin bebas menentang negara dan
menghujat Pancasila. Salah satu jalan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah
adalah menegakkan hukum untuk mengawal pilar kebebasan dalam berdemokrasi.
Lembaga penegak hukum mesti diperkuat. Sekarang ini presiden memiliki peluang
historis untuk memilih jaksa agung, kapolri, dan ketua KPK baru agar ketiganya
membangun sinergi di bawah komando presiden untuk memberantas korupsi secara
kencang.
Kalau ini segera dilakukan, wibawa hukum secara perlahan akan membaik.
Kalau tidak, yang akan mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum
dilecehkan, etika semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Rakyat
semakin merasa letih. Bencana alam sambung-menyambung. Kecelakaan transportasi
susul-menyusul. Rakyat mulai bertanya, di mana negara? Apa yang dilakukan
pemerintah untuk melindungi rakyatnya? Lagi sibuk apa parpol yang katanya
dibentuk untuk memajukan demokrasi demi memajukan bangsa? (*)
PROF DR
KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN
Syarif Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar