Bagi
kritikus dan sekaligus pembela teori modernisasi seperti Jurgen Habermas,
kehadiran agama dalam wacana publik akan menghalangi diskursus yang diharapkan
berlangsung secara rasional, sejajar, dan masing-masing individu memiliki
kebebasan atau otonomi berekspresi.
Otonomi dan kebebasan serta
kesejajaran adalah mantra dalam masyarakat modern untuk menciptakan relasi
sosial yang egaliter dan saling menghargai hak asasi masing-masing warga negara
demi menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera. Dalam negara dan
masyarakat modern, agama dianggap tidak cocok masuk ke wilayah politik dan
publik. Salah satu alasan kemunculan negara modern di Eropa bahkan didorong
oleh konflik antarpemeluk agama yang berdarah-darah pada abad ke-17.
Negara modern dan sekuler lahir
untuk menyelesaikan konflik antarkomunitas pemeluk agama yang masing-masing
cenderung eksklusif, sulit melakukan dialog secara transparan dan sejajar.Yang
satu merasa lebih benar dan lebih dekat pada Tuhan ketimbang yang lain.
Paradigma modernisasi sebagai anak kandung abad pencerahan itu telah mengubah
wajah dunia, namun berbagai harapan, janji, dan prediksi yang ditawarkan
ternyata meleset. Secara teknis hidup memang menjadi jauh lebih nyaman dan
mudah.
Produk-produk teknologi modern
telah memanjakan hidup, namun juga merusak ekologi alam dan sosial.Tokoh-tokoh
pendukung negara modern mengutuk konflik dan perang antaragama yang berdarah-
darah yang diwariskan lintas generasi lalu ditawarkan sebuah solusi berupa
ideologi sekularisme-humanisme. Namun sangat ironis ternyata negara sekuler
sangat kritis terhadap perang agama, juga telah mengobarkan perang dunia
pertama dan kedua yang tak kalah sengitnya daripada perang agama sebelumnya.
Masuk abad-21 ini peran agama kembali menguat, masuk ke ranah publik dan
politik.
Agama memberikan nilai, makna, dan
arah kehidupan, lalu sistem pemerintahan mengatur relasi kehidupan warganya.
Problemnya adalah bagaimana agar keduanya tidak saling menindas dan
menegasikan. Negara memerlukan agama dan agama memerlukan negara. Pengalaman di
Barat, dunia Arab dan Indonesia sangat jelas, agama memiliki andil besar bagi
kelahiran negara dan peradaban. Dengan demikian sangat naif jika negara tidak
memberi apresiasi dan wadah agama sebagai kekuatan moral dan acuan hidup
warganya untuk meraih hidup bermakna.
Dengan banyaknya parpol yang
mengusung semangat keagamaan, para politisi yang ingin merebut kekuasaan puncak
tentu saja sangat berkepentingan untuk meraih dan memberi akomodasi tokoh-tokoh
agama dalam jabatan politik pemerintahan dan legislatif. Mengapa? Karena
tokoh-tokoh agama itu memiliki massa. Dalam era demokrasi, suara menjadi barang
komoditas politik yang diperebutkan. Makanya tokoh-tokoh agama memiliki posisi
tawar tinggi (bargaining power), sehingga para politisi tidak segan
membeli dengan uang maupun konsesi jabatan struktural bagi mereka.
Termasuk juga pada kalangan
selebritis. Praktik politik di atas membawa implikasi yang sangat jauh bagi
penegakan etika publik dan profesionalitas penyelenggaraan
pemerintahan.Pemerintah dalam membuat kebijakan lalu dipengaruhi dan dibayangi
oleh kepentingan komunal yang merasa telah diberi konsesi oleh pemenang pemilu.
Lebih jauh lagi,aspirasi dan tokoh komunal keagamaan tidak selalu sejalan
dengan prinsip dan rasionalitas penyelenggaraan negara modern.
Atau bahkan tokoh-tokoh agama itu
ketika duduk dalam jabatan publik tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan
standar yang diperlukan. Situasi demikian mesti dipecahkan agar agenda
pembangunan negara (state building) tidak terganjal dan aset bangsa
serta negara menguap tidak produktif. Secara teoritis Pancasila merupakan
ijtihad filosofis, teologis, dan politis sangat cemerlang yang diwariskan oleh
bapak-bapak pendiri bangsa. Dalam ideologi Pancasila aspirasi agama dan agenda
negara modern diintegrasikan.
Agama menyuplai nilai-nilai
transenden dan humanis sebagai acuan hidup setiap warga negara, lalu negara
yang memiliki kewajiban dan mandat untuk mengatur kehidupan publik. Sayangnya,
Pancasila belum dihayati dan dikawal sebagai paradigma peradaban yang
dijabarkan setiap silanya oleh UUD dan berbagai peraturan pemerintah menjadi
garis besar serta garis kecil haluan dan agenda pembangunan bangsa.
Dalam konteks ini peran polisi
menjadi sangat strategis mewakili negara untuk mengatur warganya serta member
rasa aman, jangan sampai diambil alih atau disaingi oleh kelompok-kelompok
komunal keagamaan maupun etnis-kedaerahan.
0 komentar:
Posting Komentar