Membaca
dan mendengarkan, lalu diimbangi dengan menulis dan berbicara, itu sehat,
melegakan, dan menghibur. Ibarat hubungan antara makan-minum yang harus
diimbangi dengan olahraga agar berkeringat serta membuang kotoran ke toilet.
Kalau ada pemasukan gizi dan kalori
namun tak ada pembakaran dan pengeluaran sisa kotoran, bisa memicu kolesterol.
Saluran darah tersumbat, kinerja jantung terganggu, lalu stroke.Ibarat tubuh,
secara sosial bangsa ini sudah mengalami stroke.Suplai kebutuhan pangan,
pendidikan, dan layanan sosial tidak merata. Beberapa bagian wilayah republik
mengalami kolesterol, sebagian lain defisit, jadi lumpuh. Ada bagian-bagian
dari tubuh bangsa ini mengalami stroke, lumpuh. Saya sendiri kadang ragu dan
bertanya, seberapa besar tulisantulisan saya memberi manfaat dan masukan gizi
moral-intelektual pada pembaca. Namun, sebelum jawaban itu didapat, yang pasti,
dengan menulis, sebagian beban emosi jadi berkurang. Menulis berfungsi bagaikan
ventilasi untuk menyalurkan kepengapan emosi dan pikiran.
Dengan berbagi kepada
pembaca,meskipun tidak melalui tatap muka, beban pikiran di kepala dan sesak di
dada sedikit berkurang. Pengalaman ini pasti dialami banyak orang meski tidak
dengan jalan menulis, melainkan curhat, yaitu mengeluarkan unek-unek kepada
teman dekat. Ada lagi orang yang mesti marah-marah untuk membuang stresnya.
Ketika orang menumpahkan emosi, sebaiknya lawan bicara tidak mesti menanggapi
dengan argumentasi kritis. Yang diperlukan adalah pendengar yang mau berbagi
telinga dengan cara simpatik. Dalam kehidupan berumah tangga, kita pasti semua
pernah mengalami adegan ini. Kalau orang sedang mau menumpahkan emosinya, lalu
yang lain malah mengajak berdebat, sama halnya ibarat ada api yang lain
menyodorkan minyak. Suasana tambah panas, ujungnya semua ikut terbakar.
Bayangkan saja,setiap hari kita
disuguhi berita yang membuat kepala pusing, dada sesak. Hanya oleh seorang
Gayus, lembaga dan para penegak hukum di negeri ini dipermainkan dan
dipermalukan. Dan di sana banyak Gayus-Gayus lain yang belum atau tidak
terungkap. Padahal tugas pemerintah tidak sekadar mengalahkan Gayus, tapi juga
mengalahkan kemiskinan, pengangguran, dan berbagai ketertinggalan di bidang
layanan sosial. Kalau terhadap Gayus saja kedodoran, bagaimana menyelesaikan
tantangan dan kewajiban lain yang lebih besar dan mendesak? Menghadapi luapan
informasi yang sebagian besar tidak menyenangkan, ada teman yang kemudian
enggan membaca surat kabar dan nonton televisi.Tidak mengikuti berita merasa
ketinggalan. Kalau terus mengikuti,kepala tambah butek.
Karena itu, jadi politisi dan
pejabat publik di negeri ini mesti kuat jantungnya, mesti lapang dada. Mesti
pandai-pandai menemukan hiburan sebagai outlet atau ventilasi menyalurkan beban
batin. Bagi saya, salah satunya melalui tulisan di media massa atau Twitter.
Karena keduanya merupakan media publik, sebaiknya etika tetap dijaga dan
senantiasa menebarkan semangat kritis konstruktif. Saya belajar menulis sejak
masih belajar di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Pernah dalam kurun waktu
setahun kami diwajibkan oleh kiai menulis buku harian, mencatat
peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan sehari-semalam.
Lalu setiap minggu ditugaskan
menulis esai satu halaman. Semua itu diperiksa oleh kiai dan diberi komentar
sehingga kami serius melakukannya. Dari situlah mulai tertanam kebiasaan untuk
menulis, yang ternyata sangat berguna, terutama setelah duduk di bangku kuliah.
Dengan membiasakan menulis, seseorang dipaksa untuk melakukan ekonomisasi kata
dan kalimat dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan serta menerapkan gramatika
yang benar karena akan dibaca oleh publik. Bayangkan saja, ketika menulis untuk
rubrik majalah atau surat kabar, ruangnya terbatas sehingga dituntut untuk
menyampaikan pikiran dengan singkat, benar, dan enak dibaca. Kebiasaan ini
sangat perlu dilatihkan kepada para siswa di SMP dan SMU agar nanti ketika
duduk di bangku kuliah menyenangi tugas riset dan menulis makalah ilmiah. Dari
hasil pengamatan sekilas, pendidikan menulis di SMU menurun karena soal ujian
terakhir yang akan dihadapi lebih banyak berupa pilihan ganda.
Di negara yang sudah maju seperti
Amerika atau Jepang, misalnya, tradisi baca-tulis para siswa sangat menonjol.
Mereka terbiasa membaca novel tebal-tebal karena memang dianjurkan oleh
sekolah. Ada pelajaran resensi buku untuk melatih daya kritis dan daya serap
siswa. Juga ada proses reproduksi pemikiran. Ini sangat penting agar sejak dini
para siswa terlatih berpikir kreatif-produktif, bukan hanya sebagai penerima
dan penghafal pasif.(*)
0 komentar:
Posting Komentar