KATA ”milik”, dugaan saya berasal dari bahasa Arab.
Malik artinya ‘penguasa’ atau ‘raja’. Umat Islam dalam salatnya selalu
mengucapkan maliki yaumiddin, yang menguasai atau merajai hari kemudian
nanti.
Jadi, pemilikan artinya penguasaan. Kalau kita
memiliki sesuatu, artinya kita menguasai sesuatu itu, sehingga bisa berbuat apa
saja dengan apa yang kita miliki itu sesuai dengan sifatnya. Kalau seseorang
memiliki mobil, dia memiliki kekuasaan untuk menggunakan mobil itu untuk
keperluan yang dia kehendaki. Umumnya untuk mengantarkan orang atau barang.
Kalau seseorang memiliki makanan, dia mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk
mengonsumsinya agar kenyang dan sehat.
Demikianlah, dalam kata ”memiliki” terkandung makna
seseorang menjadi ”malik”atau raja, dan barang atau orang yang dimiliki
merupakan ”budak” atau ”pesuruh” atau ”objek” yang bisa dimanfaatkan dan
diperintah sesuai kehendak majikannya.
Batas
Kepemilikan
Tanpa disadari, kita memiliki klaim terhadap anak,
harta, ilmu, teman, jabatan, dan entah apa lagi. Kesemuanya itu milik kita.
Kita menguasai kesemuanya. Padahal, benarkah kita mampu mengendalikan,
memerintah, dan menguasai terhadap klaim-klaim tadi?
Kita menyimpan uang di bank, maka sesungguhnya kita
tidak lagi memiliki sepenuhnya uang itu. Boleh saja mengaku memilikinya, tetapi
sesungguhnya kendali posisi uang tak lagi berada di tangan kita. Dan, inilah
yang sedang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan berulang kali terjadi di
Indonesia. Masyarakat menyetorkan uang ke bank, lalu ditukar dengan sertifikat
bukti penyetoran. Namun, ujungnya uang itu malah lenyap pergi tidak keruan.
Jadi, benarkah kita masih memiliki uang yang sudah
berada di tangan orang lain? Bagaimana dengan anak-anak? Semakin anak tumbuh
besar,maka pengetahuan dan penguasaan orangtua terhadap mereka semakin
mengecil. Terlebih ketika tingkat pendidikan dan kekayaan anak melebihi
orangtuanya,maka orangtua tak lagi mampu mengontrol. Itu yang kadang terjadi
pada keluarga artis. Ketika anaknya sudah populer,banyak duit,jadi selebriti,
orangtua tak lagi memiliki keberanian menasihati dan mencegah ketika anaknya
memasuki gaya hidup glamor dan bebas.
Hidup yang sesungguhnya sangat berseberangan dengan
kehendak dan nilai-nilai yang dijaga orangtuanya. Jadi, apa makna kepemilikan
anak dalam konteks demikian? Memiliki jabatan? Itu lebih pendek lagi durasinya.
Ibarat baju, jabatan bukannya milik yang melekat selamanya, tetapi sekadar
dipakai sepanjang berlakunya SK. Itu pun hanya valid selama jam-jam kantor.
Dalam relasi sosial, sesungguhnya setiap orang memiliki multijabatan dan
multiperan yang berubah-ubah.
Ketika di rumah, mungkin saja jabatan yang melekat dan memengaruhi perilakunya sebagai ”suami” atau ”istri”. Tetapi begitu berhadapan dengan anak, akan berubah menjadi ”ayah” dan ketika bertemu orangtua berubah lagi sebagai ”anak”, lalu bertemu mertua sebagai ”menantu”. Sewaktu sakit berjumpa dokter sebagai ”pasien”, dan seterusnya. Jadi berbagai jabatan, label, dan identitas tadi, ada yang sifatnya kontraktual, sosial, dan psikologis.
Ketika di rumah, mungkin saja jabatan yang melekat dan memengaruhi perilakunya sebagai ”suami” atau ”istri”. Tetapi begitu berhadapan dengan anak, akan berubah menjadi ”ayah” dan ketika bertemu orangtua berubah lagi sebagai ”anak”, lalu bertemu mertua sebagai ”menantu”. Sewaktu sakit berjumpa dokter sebagai ”pasien”, dan seterusnya. Jadi berbagai jabatan, label, dan identitas tadi, ada yang sifatnya kontraktual, sosial, dan psikologis.
Bahkan, nama pun bisa berganti-ganti kalau mau. Lalu
kalau ditanya ”siapa aku?”, ”Who am I?”,jawaban yang dimunculkan pasti
akan beragam dan semua itu pasti tidak mampu menjelaskan ”keakuan”secara utuh
dan tuntas. Yang namanya ilmu dan keterampilan pun tidak selamanya melekat dan
bisa dikuasai serta diperintahkan kapan saja,di mana saja untuk menolong
pemiliknya. Adakalanya kita lupa terhadap ilmu yang pernah kita ketahui.
Sewaktu sakit gigi atau perut, misalnya, nalar sulit berpikir jernih.
Ketika badan sakit, berbagai keterampilan fisik juga
ikut terganggu. Pikiran, emosi, dan keterampilan fisik tidak ada yang berjalan
konstan. Semuanya fluktuatif. Yang konstan dan tak pernah berjalan surut adalah
bertambahnya usia. Entah seseorang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh,
sadar ataukah tidak sadar,penguasa ataukah rakyat jelata,orang baik ataukah
jahat,usia seseorang terus berjalan sampai batas akhir habisnya jatah umur
seseorang, lalu dipangkas kematian.
Jadi, sesungguhnya apa yang permanen dan abadi
dimiliki seseorang? Lalu, siapa subjek yang memiliki itu? Bahkan,roh sumber
kehidupan pun suatu saat akan meninggalkan badan. Lagi-lagi, ”who am I?” kita
biasa mengatakan ”aku” ketika berbicara pada orang lain. Suatu saat kita semua
tidak lagi bisa mengatakan ”aku”lagi dan teman kita tidak juga bisa menyebut
”engkau” karena ”aku” dan ”engkau” juga akan hilang dari peredaran. Sebutan
”dia”juga hilang.
Dalam keyakinan agama, semuanya akan lenyap dan
menyatu pada ”Aku”, ”Engkau”, dan ”Dia” yang Maha Absolut. Kalau demikian
halnya, kepemilikan itu memiliki hierarki, memiliki tingkatan-tingkatan makna.Tak
ada kepemilikan abadi. Dalam konteks agama, hanya Tuhan Sang Pemilik
sejati.Manusia hanya dipinjami sesaat saja.Diberi hak guna selama hidupnya. Apa
pun yang ada ini bukan milik manusia. Umumnya kita semua bertingkah persis anak
kecil.Ketika anak kecil dipinjami mainan, dia akan menangis ketika diminta
kembali.
Dia merasa mainan itu miliknya.Ketika anak kecil
diajak jalan-jalan di mal, dia ingin mengambil semuanya apa yang dia suka. Dia
tidak tahu itu bukan miliknya. Ketika dicegah anak kecil akan menangis.
Begitulah, kita semua meski dari segi usia sudah dewasa bahkan lanjut usia,
dalam banyak hal tak ubahnya anak kecil. Senang ”meng-aku-aku”sebagai miliknya,
padahal bukan. Harta, jabatan, anak, umur, dan semua yang dirasakan melekat
tidak siap jika suatu saat lepas atau dilepas dari diri kita.
Berbahagialah mereka yang selalu sadar bahwa semua ini
pinjaman, anugerah, dan amanah untuk disyukuri dan difungsikan untuk
memperbanyak amal kebajikan. Ketika suatu saat diambil kembali oleh Sang
Pemiliknya, mereka merasa lega dan bersyukur karena telah memanfaatkan dengan
sebaik mungkin dan beban amanahnya sudah dikurangi atau ditarik kembali oleh
Yang Empunya.
Untuk melatih kesiapan mental, maka ketika memiliki
jabatan, mesti sadar bahwa itu amanah dan durasinya sesaat. Gunakanlah sebaik
mungkin untuk menyumbangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi sesamanya.Jabatan
itu digilir di antara manusia, sebagaimana juga umur,ibarat rumah yang digilir
dari generasi ke generasi untuk ditempati.*
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia,
3 April 2009
0 komentar:
Posting Komentar