Semakin
seseorang lanjut usia, daya dukung jiwa nabati (vegetative soul) dan
jiwa hewani (animal soul) semakin melemah. Puncak pertumbuhan organ
dan jiwa nabati mungkin mentok pada usia 25 tahun dan puncak kesegarannya
bertahan sampai usia 50- an.
Begitupun daya dukung jiwa hewani
semakin lanjut usia seseorang semakin melemah. Namun, mestinya yang terus bertahan
dan justru semakin berkembang adalah jiwa insani dan jiwa robbani-nya. Bagi
mereka yang meyakini dalam diri manusia terdapat ruh ilahi yang mesti kembali
ke asalnya, pada dasarnya hidup itu sebuah progres dan pertumbuhan untuk
menyempurnakan perkembangan jiwanya ke arah lebih religius (Alquran 91: 7,8,9).
Jika jiwa seseorang telah dipimpin
jiwa robbani dan kemudian menjalani hidupsesuai tuntunan ilahi,Allah
menjanjikan kehidupan barunya nanti penuh kedamaian dan kebahagiaan (Alquran
89: 27,28,29,30). Tema eskatologis ini bagian sentral dalam setiap agama.
Dengan ungkapan lain,agenda utama hidup adalah berusaha untuk menyempurnakan
dirinya dengan dukungan jiwa nabati, jiwa hewani agar kualitas jiwa insani dan
jiwa robbani senantiasa meningkat, sebagaimana secara serial telah diuraikan
sebelumnya. Istilah “jiwa”bisa saja diperdebatkan secara teoritis dan teologis,
namun semua itu diangkat berdasarkan pengamatan empiris terhadap wujud dan
orientasi perilaku manusia sehari-hari.
Dalam diri manusia terdapat empat
karakter dan daya hidup seperti tersebut di atas. Ketika usia seseorang semakin
lanjut, di mana kekuatan dan tuntutan daya nabati dan daya hewani sudah
melemah, potensi dan daya insani serta robbani yang mestinya semakin
berkembang. Semakin lanjut usia seseorang hendaknya semakin matang dan bijak
karena sesungguhnya proyek kehidupan tetap berlanjut, bahkan hidup tidak
berakhir dengan peristiwa kematian.
Ibarat membangun rumah, semakin
mendekati selesai (finishing touch) justru pekerjaan semakin lembut
dan memerlukan sentuhan kualitas seni yang tinggi.Tidak lagi terfokus pada
aspek material yang kasar. Begitulah tahapan proyek dan misi kehidupan. Semakin
lanjut usia mestinya lebih fokus pada peningkatan moral dan spiritual karena
pada tataran ini tidak dikenal istilah “antiklimaks”.
Siddhartha Gautama misalnya bahkan
nekat meninggalkan kemewahan istana untuk mencari hakikat hidup dan dia merasa
menemukan jati dirinya yang lebih sejati dan lebih tinggi setelah melakukan
inner journey, yaitu perjalanan ke dalam diri yang bersifat spiritual dengan
melakukan meditasi merenungkan hakikat dan makna hidup.Setelah menemukan
kebahagiaan batin, lalu Gautama membagi pengalaman dan kekayaan hidupnya untuk
sesama manusia sehingga dia dikenal sebagai salah seorang pencerah zaman yang
getarannya masih berlangsung sampai hari ini.
Pemuda Muhammad yang kemudian
menjadi Rasulullah pada awalnya juga melakukan meditasi ke Gua Hira untuk
merenungkan apa sesungguhnya makna dan tujuan hidup ini. Dia membaca ayat-ayat
semesta untuk mencari jejak Sang Penciptanya. Pada tahap itu sudah tentu yang
aktif bukan tataran jiwa hewani, melainkan daya refleksi insani yang dipandu
oleh daya robbani untuk masuk ke alam metafisika atau realitas gaib. Setelah
menjadi Rasulullah, perjalanan dan pendakian spiritualnya lebih jauh lagi
dengan bimbingan Jibril yang dikenal sebagai peristiwa mikraj.
Kendati begitu, Rasulullah tetap kembali atau turun ke bumi, bergaul dan menyapa masyarakat untuk membangun peradaban yang berakhlak mulia dengan panduan ruh dan kebenaran ilahi. Berbagai aktivitas ritual dalam agama mestinya memberikan cahaya dan energi ilahi sehingga aspek jasadi, nabati, dan hewani dalam diri manusia menyangga dan memfasilitasi perkembangan jiwa insani dan robbani.
Jika pemikiran ini diproyeksikan ke
dalam pembangunan bangsa dan masyarakat, saya khawatir bahwa yang menjadi
orientasi dan prioritas pembangunan kita masih terhenti pada dominasi dan
orientasi jiwa hewani yang selalu mengejar kesenangan jasadi (physical
pleasure). Potensi intelektualitas insani lepas dari kendali nilai-nilai
robbani, lalu terjatuh melayani dorongan nafsu hewani. Mereka yang gagal
menjadikan jiwa robbani-nya sebagai pemimpin bagi kehidupannya oleh Alquran
diposisikan derajatnya lebih rendah dari hewan (QS 7: 179).
Makanya yang muncul adalah
pertengkaran berebut jabatan dan materi untuk kepuasan diri, bukan berkompetisi
untuk melayani dan berbagi kasih untuk sesama manusia. Pusat-pusat pendidikan
dan kesenian sebagai simbol dan puncak peradaban dikalahkan oleh bangunan mal
sebagai pusat konsumerisme untuk memenuhi gelegak dahaga jiwa nabati dan
hewani. Ini persis yang disinyalir oleh Thomas Hobbes, sesungguhnya manusia
menyimpan watak homo homini lopus. Manusia adalah serigala bagi yang
lain.Ketika sama-sama lapar, akan saling terkam terhadap yang lain untuk
memperebutkan makanan.
Bedanya, jika harimau setelah
terpenuhi laparnya akan berhenti, sedangkan manusia semakin merasa kaya akan
semakin merasa dahaga, merasa miskin, dan merasa belum tercukupi kebutuhannya.Hewan
akan berhenti jika kebutuhannya (need) telah terpenuhi, sedangkan
manusia selalu didorong oleh nafsu dan keinginan (want and wish) yang
tidak kenal cukup. Kecuali mereka yang pandai mensyukuri dan dengan kekayaannya
akan semakin banyak amalnya karena yakin pada janji Tuhan bahwa apa yang
dimiliki adalah apa yang diberikan kepada sesama.
Apa yang akan dibawa menghadap
Tuhannya adalah apa yang dibelanjakan dan diwariskan kepada manusia.Jadi,mari
kita jaga momentum kehidupan ini sebagai proses pertumbuhan dan penyempurnaan
jiwa insani dan jiwa robbani yang tidak kenal henti.
0 komentar:
Posting Komentar