Pemahaman,pengalaman,
dan keyakinan beragama itu mengalami perubahan, pertumbuhan, dan bisa juga
degradasi(kemorosotan). Ini bisa terjadi pada pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Dalam masyarakat yang kian
majemuk dan konsumtif, agama mestinya menjadi tuntutan hidup yang konstruktif(membangun), bukan larut
dan menjadi sumber persoalan sosial. Waktu itu umur
saya sekitar enam tahun, tinggal di Desa Pabelan, dekat Candi Borobudur,
Magelang. Selagi bermain-main dengan teman,saya dikagetkan suara teriakan
beberapa pemuda: “Anjing... anjing....” sambil membawa tongkat untuk
membunuh anjing yang masuk desa Maka orang-orang desa itu pun keluar ikut
membawa tongkat, dan akhirnya anjing itu tertangkap lalu digebuk rama-iramai
sampai mati.
Saya melihat dengan iba pada anjing
yang tak berdaya itu. Rintihan tangis anjing sebelum mati itu tetap tersimpan
di benak saya yang sekali-sekali muncul. Sore hari menjelang Magrib, para
pemuda yang ikut membunuh anjing itu menceritakan ulang di serambi masjid
dengan rasa bangga. Logika yang saya tangkap, anjing itu najis, tidak boleh
disentuh, karena akan membatalkan salat dan mengotori halaman rumah.
Karena najis, anjing mesti dibunuh.
Dengan membunuhnya, berarti telah menjaga kesucian agama dan itu berarti
berjuang di jalan Tuhan. Saya tidak tahu dari mana awal mula muncul paham
bahwa membunuh anjing itu berarti membela agama Allah. Namun, setelah
belajar di pesantren, saya baru tahu, anjing itu hewan yang mulia, bahkan
Alquran menceritakan tujuh pemuda yang tinggal di Gua Kahfi itu ditemani
anjing.
Nabi Muhammad SAW pun memuji
anjing yang memiliki sifat setia dan pintar diajak berburu hewan di hutan. Jika kita mencaci anjing atau babi yang tak berdosa, jangan-jangan
Penciptanya juga akan marah. Cerita di atas hanyalah salah satu bagian
saja dari metamorfosis pemahaman dan pengalaman keberagamaan yang sangat
mungkin para pembaca juga memiliki pengalaman serupa.
Dengan bertambahnya usia dan
bertemu beragam guru, saya semakin sadar dan sekaligus kadang dibuat bingung
oleh kenyataan, bumi ini dihuni oleh manusia dengan
ragam agama, dan di dalam satu agama pun terdapat beragam mazhab.
Jadi,pemahaman dan sikap keberagamaan itu mengalami metamorfosis, dipengaruhi
banyak faktor. Antara lain, buku yang dibaca, guru yang membimbing, perkembangan
usia dan pergaulan, pengalaman hidup, jenjang pendidikan, kondisi ekonomi,
mazhab yang diikuti, karakter seseorang, kondisi geografis, dan sistem politik
pemerintahan, di mana seseorang tinggal.
Semakin Plural
Ketika seseorang lahir dan
tumbuh dalam sebuah komunitas homogen dari segi bahasa, agama,dan adat,istilah
dan konsep kemajemukan agama itu tidak populer.
Namun, ketika penduduk Indonesia dan dunia kian bertambah, perjumpaan lintas
pemeluk agama yang berbeda semakin intens,masyarakat tidak bisa lagi mengelak
untuk menerima kenyataan, perbedaan mazhab dan agama itu suatu keniscayaan
sosial.
Universitas di kota besar khususnya
merupakan miniatur masyarakat Indonesia yang pada dasarnya sudah plural dan
kini semakin plural.Kenyataan ini bisa memperkaya wawasan beragama, namun bisa
juga membuat bingung. Di sini mulai terjadi konflik antara etika komunal dan
etika publik, antara ideologi agama dan ideologi negara. Semakin lemah etika
publik dan ideologi negara, semakin menguat etika komunal dan ideologi
keagamaan.
Gejala ini cukup fenomenal dengan
munculnya beragam partai dan ormas keagamaan yang dijadikan kendaraan mobilitas
politik dan senjata tawar-menawar dalam penyusunan kabinet. Kalau saja etika
publik dan etika bernegara sudah kokoh, kemunculan kelompok-kelompok keagamaan
merupakan kekayaandan warna-warni demokrasi.
Tetapi jika negara lemah,
kemajemukan komunitas agama, etnis, dan parpol justru akan merongrong bangunan
demokrasi dan kemajemukan bukan lagi sebuah mozaik yang indah, melainkan menjadi
hirukpikuk dan kekacauan. Proses perubahansosial, ekonomi, dan politik yang
berlangsung begitu cepat yang tidak disertai kemajuan pendidikan dan
kesejahteraan yang seimbang telah membuat identitas agama menjadi rumah-rumah
kecil yang kian eksklusif di tengah rumah Indonesia yang semakin samar-samar
sosoknya.
Negara digugat karena tidak
memberi rasa aman tenteram bagi warganya. Sosok negara semakin abstrak, yang
terlihat dan terasakan adalah hirukpikuk ormas dan
parpol yang ramai-ramai mencari dukungan massa rakyat sebagai penyangga dan
barter untuk merebut kekuasaan politik dan materi yang melekat pada negara.
Negara tak ubahnya sumber tambang berupa uang tunai melalui APBN, bukan lagi
bahan mentahseperti di Papua.
Jangan sampai parpol itu nantinya
dianalogikan dengan perusahaan tambang. Komunitas keagamaan ini akan selalu
mengemuka dalam berbagai format institusi dan gerakan mengingat agama telah
menyatu dengan karakter masyarakat Nusantara yang bahkan sekarang semakin
menguat karena memperoleh amunisi dan stimulasi dari para politisi untuk
dijadikan penyangganya
Tidak hanya di Indonesia, pada
tingkat global pun semarak dan konflik antarkomunitas agama semakin intens.
Terjadinya migrasi antarwarga negara sangat berpengaruh terhadap konflik
bernuansa etnis dan agama, khususnya di Eropa. Lemahnya negara dalam
memberantas korupsi dan dalam menciptakan pemerataan lapangan kerja serta
kesejahteraan bagi warga negara akan membuka peluang lebih besar bagi munculnya
konflik horizontal dengan dalih etnis dan agama.
Bagi pemerintah daerah yang
gigih dan bangga menerapkan perda syariah (Islam) harus lapang dada menerima
jika ada beberapa daerah lain yang juga ingin menerapkan perda syariah
berdasarkan keyakinan dan ajaran di luar Islam. Perlu
diingat, tidak semua kepala daerah adalah Muslim. Dan
di mata hukum, semua warga negara, apa pun etnis dan agamanya, memiliki hak dan
kedudukan yang sama.
Bayangkan saja, andaikan sentimen
agama dan etnis ini semakin menguat dan menjurus ke konflik, sangat mungkin
tragedi Balkanisasi akan juga terjadi di Indonesia. Alam Indonesia yang indah
ini akan berubah jadi medan perang atas nama Tuhan. Jadi, pemahaman agama –
terutama dalam konteks sosial dan bernegara – itu tumbuh mengalami perkembangan
dan penyesuaian dengan kondisi objektif setempat. Umat Islam yang tinggal di
AS, Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia pasti berbeda dalam mengembangkan etika
komunal dan etika publik, meski kitab suci dan ritual pokoknya tetap sama.
Komaruddin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar