Struktur dan mekanisme kejiwaan yang
senantiasa melekat dalam diri kita juga melahirkan arketipe yang disebut warrior
atau sosok prajurit-pejuang, yaitu naluri untuk membela diri dan mengalahkan
lawan.
Setiap saat seseorang senantiasa dihadang lawan. Hanya
saja apa dan siapa yang dianggap lawan yang mesti ditaklukkan, masing-masing
berbeda situasinya. Lawan atau musuh yang nyata tetapi sosoknya abstrak adalah
kemiskinan dan kebodohan.Yang lebih ganas lagi daya rusaknya kalau tidak segera
ditumpas adalah korupsi dan peredaran narkoba.
Dalam masyarakat tradisional, yang namanya musuh
adalah sosok orang sebagaimana dulu penduduk Nusantara dijajah oleh Belanda
sehingga objek yang hendak dihadapi juga jelas. Tapi pada zaman modern sosok
musuh mengalami transformasi bentuk menjadi sebuah sistem sehingga masyarakat
tidak mudah memahami yang pada urutannya juga sulit untuk melawan.
Seperti halnya korupsi yang merampas uang rakyat
hingga triliunan, sosoknya tidak mudah ditangkap dibandingkan pencuri sepeda
motor. Pada dasarnya yang diperjuangkan oleh sosok warrior dalam setiap diri
manusia adalah sesuatu yang amat mulia, yaitu harga diri (dignity,
selfesteem). Siapa pun orangnya kalau harga dirinya dihina pasti akan marah
dan melawan. Hal itu juga berlaku untuk harga diri sebuah kelompok dan bangsa
serta negara.
Oleh karena itu hampir semua negara memiliki prajurit
yang menjaga keamanan dan martabat bangsanya yang siap tempur menghadapi musuh.
Namun kesadaran akan harga diri ini yang paling utama mestinya tertanam kuat pada
setiap warganya. Meskipun sosok warrior tumbuh sejak kanak-kanak,hal itu
penting didampingi dengan kesadaran moral-spiritual agar naluri dan dorongan
berperang tersalur untuk tujuan yang lebih mulia.
Pada masa kanak-kanak sikap warriorship ini
kadang terlihat dalam hal berantem dengan temannya memperebutkan layang-layang
putus. Semakin besar, hal yang diperebutkan dan menggugah semangat warriorship
mungkin beralih seperti berebut jabatan, sejak dari jabatan direktur,bupati,
gubernur sampai presiden.
Ada pola yang sama apa yang dilakukan semasa
kanak-kanak dengan perilaku di usia dewasa, yaitu semangat berperang untuk
menunjukkan bahwa “aku yang lebih kuat, lebih pantas, dan lebih berhak menjadi
pemenang”. Baik polisi maupun penjahat kedua-duanya adalah warrior,tetapi
tujuan yang hendak diraih berbeda sehingga etikanya juga berbeda.
Begitu pun dalam peperangan memperebutkan jabatan
bupati, gubernur atau presiden, misalnya, ada prajurit-pejuang yang teguh
memegang etika dan prinsip fairness, ada pula yang tak segan menggunakan
caracara licik dan jahat demi sebuah kemenangan dan kekuasaan. Mereka yang
masuk tipe kedua ini kalaupun memenangi pertarungan sesungguhnya hanyalah
kemenangan semu karena justru membunuh prinsip harga diri (dignity,
selfesteem).
Semangat dan jiwa sportif ini sangat dijunjung tinggi
dalam pendidikan olahraga yang mestinya diajarkan kepada semua siswa sejak dini
sehingga sifat warriorship berkembang sehat mengingat hidup adalah panggung
kompetisi, pertempuran, dan peperangan. Tanpa semangat ini sebuah bangsa akan
kalah dalam persaingan global. Ini yang dirasakan di kalangan remaja.
Di Indonesia dengan kekayaan alam dan jumlah penduduk
yang melimpah,ternyata mental prajurit-pejuang yang setia mempertahankan harga
diri dan martabat bangsa-negara semakin menurun. Harga diri bangsa dilecehkan
oleh bangsa lain. Pejabat tinggi pengambil kebijakan mudah menyerah di hadapan
rayuan uang dan kekuasaan sekalipun diraih dengan cara tidak fair, tidak
sportif, dan tidak bermartabat.
Padahal republik ini terlahir berkat perjuangan dan
pengorbanan para warrior bangsa. Kembali pada pembahasan seputar arketipe,
sosok warrior itu selalu melekat menjadi pelindung dan pejuang bagi orphan yang
lemah dan merupakan ujung tombak bagi wanderer yang selalu berkelana mencari
jati diri dan prestasi. Setiap saat kita dihadapkan pada persoalan dan
tantangan hidup yang mesti ditaklukkan.
Kapan pun,di mana pun.Oleh karena itu salah satu
kriteria pemimpin yang diperlukan oleh sebuah bangsa adalah mereka yang
memiliki mental dan jiwa warriorship.Yang sadar akan harga diri bangsa dan
masyarakat, yang berani mengambil risiko, yang tidak gentar menghadapi lawan,
yang siap dan berambisi untuk memenangi pertarungan, tetapi juga bersikap
sportif ketika ternyata menemui kekalahan.
Dalam medan tempur itulah sosok warrior bangkit
jiwanya menerima tantangan, tetapi hatinya akan merasa hampa tanpa didasari
cita-cita mulia, yaitu arketipe berikutnya yang namanya sang altruis.
0 komentar:
Posting Komentar