DALAM pembicaraan sehari-hari kata “takdir” cenderung
difahami sebagai kepastian yang mesti disikapi dengan kepsrahan, tidak perlu
dinalar secara kritis. Namun kalau kita membaca Al-Qur’an, banyak ditemukan
kata takdir yang kalau dicermati maknanya menunjuk pada hukum alam yang
mengandung hukum kasulaitas, sebab-akibat.
Takdir adalah ketentuan, ukuran dan kapastian yang
telah ditetapkan Tuhan yang berlaku pada isi semesta ini. Contoh yang paling
mudah adalah bunyi ayat Al-Qur’an (36:38) yang menyatakan, matahari dan bulan
berputar pada garis edarnya, dan itu merupakan takdir Tuhan. Dalam ayat-ayat
yang lain, kata takdir memiliki makna sangat berdekatan, bahwa takdir berarti
ketentuan Tuhan yang berlaku pada perilaku alam. Karena adanya takdir atau
kepastian perilaku alam inilah maka ilmu pengetahuan alam menjadi berkembang
dan berdiri kokoh. Kalau saja perilaku alam tidak memiliki kepastian sehingga
sulit diprediksi, maka manusia sulit mengembangkan iptek moderen, karena iptek
berjalan berdasarkan adanya hukum atau sifat alam yang serba pasti. Kata pasti
tentu mesti dibedakan dari kata mutlak, absolut.
Ilmu falaq yang menghasilkan kalender sebagai pedoman
hari, bulan dan tahun dimungkinkan karena adanya ketetapan atau keajegan
peredaran bulan dan matahari yang semua itu merupakan takdir atau kepastian
dari Tuhan. Al-Qur’an menyebutkan, Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan
Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (QS al-Furqan : 2).
Misalnya, Allah menciptakan air dan menciptakan takdirnya, mencakup sifatnya
yang kalau dipanaskan menguap, kalau didinginkan menjadi beku. Juga takdir air
mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tuhan juga mentakdirkan
angin yang memiliki kekuatan daya dorong sehingga walaupun air berada di
tempat rendah jika dipompa secara keras maka akan naik ke atas. Semuanya
ini berlangsung mengikuti takdir Tuhan.
Contoh lain, manusia ditakdirkan tidak bisa terbang
seperti burung. Namun karena anak-anak Adam ditakdirkan memiliki kapasitas ilmu
maka manusia bisa menciptakan pesawat yang terbang bagaikan burung. Manusia
ditakdirkan tidak bisa hidup di air bagaikan ikan. Namun dengan kemampuan
takdir yang melekat pada manusia, manusia berhasil menciptakan kapal selam.
Demikianlah, jadi untuk melaksanakan mandat sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi manusia diberi kemampuan sebagai manager mengolah
takdir, terutama melalui perangkat ilmu pengetahuan untuk memahami hukum
sebab-akibat yang telah ditakdirkan Tuhan pada setiap ciptaaanNya. Dengan ilmu
pengetahuan manusia mengidentifikasi sifat dan perilaku alam, kemudian
mengaturnya. Misalnya, manusia mempertemukan bahan bakar dan api, maka muncul
tenaga sehingga bisa menggerakkan mesin mobil atau paberik. Atau mempertemukan
panas dan air dalam panci yang diisi beras, maka jadilah nasi. Inilah yang
dimaksud manusia sebagai manajer takdir.
Jadi di sinilah mengapa Tuhan berfirman “Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,” (QS
al-Baqarah : 31). Dengan mengenal sifat benda-benda di sekitarnya maka manusia
membuat klasifikasi dan identifikasi takdir yang melekat pada benda-benda itu
untuk didayagunakan demi memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian,
mengelola takdir ibarat main catur, pemain memiliki kebebasan untuk menggelola
dan menggerakkan pion-pionnya di atas papan catur, namun gerakan dan aturannya
sudah pasti, tidak bisa dirubah.
Begitulah halnya dengan kehidupan. Tuhan telah
menciptakan takdir yang serba pasti di atas papan semesta ini, namun manusia
dianugerahi nalar dan kebebasan untuk memahami takdir-takdir Tuhan lalu memilih
perbuatan atau karya apa yang akan dibuatnya. Kalau seseorang memilih loncat
dari bangunan tinggi, maka tubuh akan hancur, kepala akan pecah. Itulah hukum
alam, itulah takdir yang ditetapkan Tuhan. Yang menjadi persoalan, mengapa
seseorang mesti loncat bunuh diri, di situlah terletak ruang kebebasan yang
dimiliki manusia untuk membuat pilihan.
Takdir perlu dibedakan dari musibah, meski terdapat
keterkaitan. Musibah artinya suatu kejadian yang tidak diinginkan menimpa
seseorang. Jika lempengan perut bumi patah lalu terjadi gempa, di situ berlaku
takdir Tuhan, bahwa daya tahan lempeng bumi ada batasnya. Batas atau ukuran itu
juga disebut takdir. Di situ berlaku hukum sebab akibat. Yang menjadi persoalan
adalah ketika seseorang berada dalam waktu dan tempat yang secara lahiriah
salah, sehingga terkena musibah. Gempanya sendiri merupakan fenomena alam,
berlaku hukum sebab-akibat mengapa terjadi gempa.
Tetapi jika manusia sudah tahu di situ dikenal sebagai
daerah gempa, namun tidak mau pindah, maka anugerah kebebasan yang dimiliki
tidak dimanfaatkan untuk menjauhi musibah gempa. Jika seseorang sama sekali
tidak tahu, atau sudah berusaha maksimal namun musibah terjadi, maka di situlah
kita mesti bersangka baik pada takdir dan musibah yang menimpa seseorang. Di situ
ada hukum sebab-akibat yang kita tidak tahu, dan sebaiknya kita sikapi dengan
pasrah dan ikhlas, semuanya dikembalikan pada Tuhan Pemilik kehidupan.
Orang Jepang mungkin merupakan contoh bagaimana mereka
berkompromi dan mengelola takdir, berkaitan dengan sifat alamnya yang sering
gempa. Karena di Jepang kerap terjadi gempa bumi, maka dibuatlah rumah-rumah
kayu tahan gempa agar tidak roboh. Artinya mereka sudah memahami dan bersahabat
dengan takdir alamnya yang seringkali gempa. Jadi, alamnya ditakdirkan sering
gempa, lalu dengan takdir Tuhan yang telah memberi akal maka mereka mensiasati
agar gempa tidak mendatangkan musibah.
Contoh lain adalah bangunan tinggi yang mudah terancam
petir. Maka langkah komprominya dengan memberi penangkal petir, entah itu bangunan
masjid, paberik atau bangunan lain. Demikian kalau ada musibah manusia tidak
dibenarkan terus menyerahkan atau menyalahkan Tuhan. Contoh lain, perut telah
ditakdirkan Tuhan kemampuan daya tampungnya. Kalau manusia tidak mentaati
takdir kapasitas perut lalu makan tanpa batas, maka musibah akan terjadi.
Demikianlah seterusnya, manusia tidak bisa keluar dari
takdir, karena semua ciptaan Tuhan telah ditentukan sifatnya sehingga manusia
diminta memahaminya agar tidak terjadi musibah. Kalau pun terjadi musibah, itu
pun ada hukum sebab-akibatnya, namun ada yang kita ketahui dan ada yang kita
tidak sanggup mengetahui penyebabnya.
Ada peristiwa yang jarak sebab dengan akibatnya begitu
pendek sehingga kita cepat memahami. Misalnya ketika tangan terkena duri, maka
jarak sebab dan akibatnya berupa sakit langsung kelihatan. Ada yang
jaraknya agak lama, jika semalam kurang tidur maka akibatnya di siang hari
kurang sehat. Ada lagi yang tahunan, jika sewaktu muda tidak belajar dan malas,
maka akibatnya di hari tua akan bodoh dan miskin.
Yang manusia sering lupa dan terlena adalah
sebab-akibat yang berlaku di dunia dan akhirat. Akibat dari aktivitas di
dunia baru akan dijumpai di akhirat nanti. Karena masih nanti, dan belum
dialami, maka manusia mudah meremehkan. Pada hal itu termasuk takdir, hukum
sebab-akibat yang pasti, namun kita sering meragukan bahkan menafikan. Di
situlah manusia memiliki kebebasan, apakah akan beriman ataukah akan
mengingkari, Tuhan memberi ruang kebebasan, namun seseorang tidak akan bisa lari
dari akibat pilihannya.
Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia,
22 Mei 2009
0 komentar:
Posting Komentar